Bryana memasuki kamarnya dan langsung duduk di tepi ranjang. Dalam tangis, dia menunduk meraba ranjang di mana dia bersama Dean memadu kasih beberapa jam yang lalu begitu panas, manis dan bayangan itu masih melekat kuat di ingatannya. Kini, semua berlalu begitu saja dengan menyisakan luka teramat dalam hanya karena mulut seorang pria yang mengatakan sebuah fitnah. Perlahan, wanita hamil itu meremas kain sprei itu dan menyandarkan tubuhnya pada tumpukan bantal dengan posisi menyamping.
"Kenapa kamu pergi secepat ini tanpa mau mendengarkan penjelasan dari kak Raymond? Aku tau ini memang menyakitkan untukmu, tapi apa rasa cintamu padaku terlalu kecil hingga kamu pergi tanpa memikirkan bagaimana perasaanku?" Bryana terus menangis dengan ingatannya yang hanya terpaku pada Dean yang bahkan tidak pernah marah padanya, selalu memberinya perhatian, sikap manis dan lembut. Semua itu melekat pada ingatannya dan dia tidak ingin kehilangan sosok itu dari hidupnya.
Ceklek ....