Ara POV.
Malam ini terasa begitu dingin karena ibukota diguyur hujan sejak tadi sore, hujan ini ngebuat gue harus terjebak lama di cafe "love milk" ini. Ya cafe love milk, cafe ini adalah tempat kerja baru gue sekarang. Setelah susah payah gue nyari kerjaan yang bisa fleksibel sama kuliah akhirnya gue bisa dapet juga kerjaan ini.
Gue udah lebih dari 2 jam terjebak di sini, terjebak dalam artian menunggu hujan reda sih sebenarnya. Tapi kok gue ngerasanya hujan malah semakin deres ya kalau ditungguin begini, padahal banyak yang harus gue lakuin besok.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya gue putuskan untuk pulang walau harus berbasah-basah ria di atas motor kesayangan gue.
"Tal, gue balik duluan ya?" ucap gue ke Talia, temen sekerjaan gue.
"Lu yakin, Ra?"
"Yakin, Tal. Besok ada kuliah pagi soalnya."
"Yaudah kalau gitu, ati-ati Ra. Bawa jas hujan gak? Kalau gak ada pinjem ke Bembi aja!".
"Bawa kok Tal, gue selalu taro di dalem bagasi motor, Tal. Yaudah gue duluan ya, bye."
"Oke Ra. Tiati pokoknya, Bye." balas Talia, sambil melambaikan tangan salam perpisahan.
Setelah lebih dari setengah jam gue terjang ini hujan, akhirnya gue memasuki area apartmen tempat gue tinggal. Bergegas gue menuju parkiran untuk segera menghentikan tetesan hujan yang tanpa permisi masuk ke dalam jas hujan untuk menyapa baju dan kulit gue. Sial nih, tadi make jas hujan buru-buru jadi gak tahu kalau jas hujannya sobek.
"Dingin euy," ucap gue dengan gerakan sedikit menggigil.
Karena sudah membayangkan akan segera bertemu dengan air hangat dan makanan hangat setelah sampai rumah, maka gue percepat langkah kaki gue menuju lift. Hanya menunggu berapa detik untuk sampai rasanya sangat lama.
Untung aja cuman gue yang ada di dalam lift, jadi lift gak banyak berhenti di setiap lantai. Mungkin karna udah malem juga, jadi aktifitas lift menguntungkan gue malam ini.
Ting... bunyi lift sampai tujuan.
Gue bergegas keluar dan disambut dengan angka yang seperti bersinar karna terkena pantulan sinar lampu. Angka tersebut tertulis dengan jelas '11', itu artinya gue udah sampe di lantai 11 yang mana di salah satu unit apartemen di lantai itu adalah unit yang gue tempati. Gue berbelok kearah kanan dan menuju unit 11c, membuka pintu dan menutupnya kembali sambil menekan saklar lampu yang ada di dekat pintu masuk.
Gue tinggal di unit apartemen tipe loft, tipe ini memilki ukuran plafon yang lebih tinggi dibandingkan tipe apartemen kebanyakan. Desain apartemen ini sebagian ruang dibuat dua tingkat tapi dengan tinggi yang tidak sama, tingkat atas gue gunain buat tempat tidur untuk bawah ada dapur, ruang tamu dan kamar mandi. Karna memiliki plafon yang tinggi, apartemen ini terkesan lebih luas dan gue suka itu.
Untuk biaya sewa gue dibantu penerbit, katanya itu kebijakan dari penerbit untuk penulisnya. Awalnya gue gak percaya, sampai sekarang pun gue masih gak percaya dengan semua kebijakan ini. Tapi, selagi ada tawaran baik kenapa harus ditolak? Iya kan? (hhhehehe)
Setelah melakukan apa yang gue bayangin selama perjalanan pulang tadi, akhirnya gue duduk ditemani segelas hot choco sambil membuka sebuah buku dan menuliskan sesuatu di buku tersebut. Baru beberapa baris menulis, sebuah bel berbunyi yang berasal dari pintu utama unit apartemen gue. Gue hentikan aktifitas menulis, lalu beranjak menuju pintu.
"Selamat malam, kak?" ucap seorang cowok muda.
"Iya, selamat malam. Ada apa ya dek?" tanya gue.
"Saya baru saja pindah ke unit samping kakak, 11d. Jadi saya mau memberikan ini," ucap si anak sambil menyerahkan apa yang ia bawa.
"Buat saya? Oh, terima kasih. Semoga kita bisa bertetangga dengan baik ya?"
"Iya, ini buat kakak. Sama-sama kak, semoga kita bisa akrab."
"O iya, nama kamu siapa?" tanya gue lagi.
"Sammy kak."
"Oke Sammy, makasih ya sekali lagi. Salam kenal."
"Iya ka, permisi kak." ucap dia sambil menggerakkan tubuh ingin pergi.
"Oke Sam."
Baru kali ini ada tetangga yang datang menyapa langsung, biasanya kita cuman saling sapa kalau berpapasan di lorong unit atau pas bareng satu lift.
"Pah mah, Ara dapet bingkisan nih." ucap gue.
Tak ada jawaban dari kalimat gue barusan, karna emang gue tinggal di sini sendirian. Tapi gue selalu seperti itu, entah pulang atau pergi dari rumah, entah abis makan enak atau enggak, entah melalui hari bahagia atau tidak gue selalu melaporkan pada mereka. Jadi ini semacam kebiasaan yang baik kan? (hhhehe)
Bingkisan yang gue terima berisi macaron, yaitu sejenis dessert yang berasal dari italia. Gue suka banget sama makanan manis, entah kenapa mereka mampu menyerap energi buruk dan negative di diri gue.
Mungkin kebanyakan orang akan melampiaskan hari buruk mereka pada segelas minuman beralkohol atau berteriak sekencang-kencangnya. Tapi bagi gue, memakan makanan manis sudah sangat membantu gue dalam mengatasi hari buruk itu.
Tapi, memang ada moment saat hidup gue yang benar-benar gak bisa dibantu oleh makanan manis. Salah satunya saat Juna pergi ninggalin gue tanpa pamit dan aba-aba 4 tahun lalu.
Gue gak habis pikir kenapa dia bisa setega itu sama gue. Dia memutuskan segala jenis komunikasi, dari pindah rumah, dan mengganti nomer hp. Yang ada hanya alamat email, itupun dia gak pernah membalas semua email gue. Padahal gue yakin, dia pasti baca semua email gue.
Dan di situ gue bener-bener berpikir, mungkin Juna emang mau melepaskan semuanya tentang gue. Toh, gue ini siapa sih? Cuman mantan pacar boongan aja, gak lebih.
Dering ponsel berbunyi.
"Hallo, maaf siapa ya?" tanya gue.
"Gue Dewa, Ra."
"Oh, Dewa. Ada apa, Wa?"
"Besok jangan lupa ngumpul di rumah gue ya, ngebahas tugas yang waktu itu." pinta Dewa.
"Gak jadi di rumah Dito?"
"Kagak, rumah dia lagi direnovasi."
"O gitu, yaudah besok gue bawa materi tugasnya. Kenapa gak info di group chat aja?"
"Yang lain udah gue chat kok barusan, kalau ke elu gue pengen nelfon aja ngasih tahunya."
"Kenapa?"
"Pengen denger suara lu soalnya, hhhhehehe."
"Hhehe, bisa aja lu. Yaudah gue tidur dulu ya, biar gak telat besok ke kampusnya.".
"Oke Ra. Night yaa," ucap Dewa.
"Night too, Wa." ucap gue sambil menunggu sambungan telfon diputus Dewa.
Ini pertama kalinya gue melakukan sambungan telfon dengan Dewa. Walau gue terlihat ketus saat menjawab, tapi hati gue bergejolak bahagia bisa berbincang dengan lelaki yang telah membuat gue berdebar sejak pertama kali berbincang.
Hayoo, makanan terenak apa yang pernah kalian dapatkan dari tetangga kalian?
Pagi ini gue bangun lebih awal, mendahului set alarm yang gue pasang semalam. Sebenarnya ingin lanjut tidur lagi, tapi takut malah bangun kesiangan nantinya. Pikir gue sekali-kali lah gue berangkat ke kampus tanpa harus terburu-buru dan berlarian menuju kelas.
Gue menuruni anak tangga dan menuju meja dapur sambil menuangkan air putih ke dalam sebuah gelas. Mencuci muka di keran zink dapur dan menyalakan kompor untuk memasak air dan menyeduh hot choco di sebuah mug kesayangan bergambar karaktek baymax.
Sembari menunggu air mendidih, gue membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa macaron dari dalam kulkas.
Hot choco udah tersaji nikmat disebuah mug, harumnya bikin gue makin fresh dan rileks. Tangan kiri memegang hot choco dan tangan kanan memegang piring kecil berisi beberapa macaron. Bagi gue, makan dan minuman manis tuh penghilang energy negative dalam diri gue.
Gue akan merasa lebih baik setelah mengkonsumsi makanan manis tersebut, asal masih dalam batas wajar makanan tersebut tidak akan membahayakan gue. Sambil berjalan keluar dari dapur, gue menuju meja dan kursi yang menghadap ke view perkotaan apartemen, gue letakkan semua makanan yang gue bawa dan mengambil sebuah buku untuk menuliskan sesuatu di sana.
Sebelum tidur dan sesudah tidur, gue pasti nulis sesuatu di buku tersebut sambil dengan menyesap makanan dan minuman manis. Terkadang pagi-pagi gue ngerasa nemuin bahan cerita untuk project novel gue, seperti pagi ini contohnya.
Maka setelah menulis di buku tersebut gue langsung beralih ke sebuah laptop yang selalu ada di atas meja ini lalu menuangkan ide cerita yang udah ada di otak. Setelah selesai menuangkan ide cerita, gue akan membaca lagi apa yang gue tulis dan mengecek jika ada typo-typo bertebaran, baru deh gue kirim bahan cerita itu ke editor.
Tanpa sadar adzan subuh telah berkumandang, gue rapikan segala hal yang gue lakuin tadi dan bergegas memasuki kamar mandi untuk mensucikan diri lalu mendirikan sholat.
Selesai sholat, gue memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 2x3 meter. Ruangan ini gue desain sendiri, walau tidak menggunakan dinding solid setidaknya ruangan ini mampu menampung segala hal yang tidak ingin gue bagi ke orang lain. Ini adalah secret room gue di apartemen ini, saat di rumah pun gue memiliki secret room tapi lebih besar dari ini.
"Oh, ternyata gue punya orang baru lagi semalem, thanks macaronnya." ucap gue tersenyum sambil memperhatikan sesuatu.
Setelah gue selesai dengan kegiatan di ruangan ini, gue bergegas keluar merapikan buku yang harus gue bawa ke kampus pagi ini.
Dering ponsel berbunyi
Tertera dengan jelas nama "Dewita Kampus" di ponsel gue.
"Iya, Wit. Ada apa?"
"Wah, tumben lu udah bangun. Padahal niatnya gue mau bangunin elu tadi."
"Udah dong, sekali-kali jadi anak rajin juga Wit. Kasihan pintu kelas gue tabrakin mulu kalau gue ngampus, hahaha."
"Iya deh, tapi emang kasian pintunya sih Ra. Lu tabrakin mulu, padahal kan mereka gak salah. O iya, nanti jangan lupa kita ke rumah Dewa buat ngerjain tugas. Jadi, lu gak usah bawa motor ya! Dititipin kayak biasa aja, nanti gue anterin lagi buat ambil motor." ucap Dewita.
"Okey, nanti gue titipin motornya ke rumah ibu kantin kalau gitu."
"Yaudah yuk jalan! Ada kelas pagi kan? Nanti kita ketemu di parkiran ya!"
"Okey siap Wit, see you."
"See you too, Ra." ucap Dewita sambil memutuskan telfon.
Sebelum berangkat ke kampus gue mengecek lagi isi dalam tas gue, karna dirasa udah gak ada yang tertinggal gue pun melangkah menuju pintu utama. Betapa kagetnya gue setelah membuka pintu utama, ada punggung lebar berdiri membelakangi pintu apartemen gue.
"Astaqfirullah," ucap gue reflek beristiqfar.
"Kak Ara, maaf. Aku ngagetin ya?" ucapnya sambil berbalik menghadapku.
"Ah, ternyata elu." ucap gue terbata, lebih tepatnya berusaha mengingat sesuatu sih.
"Boleh minta tolong gak kak?"
"Tolong apa, Sam?" ucap gue lebih santai karna akhirnya gue ingat sesuatu.
"Aku boleh nebeng gak kak?"
"Nebeng? Maksudnya?" ucap gue bingung.
"Nebeng ke sekolah kak, aku udah telat banget kak soalnya." pinta dia .
''Wah, ini anak aneh nih." batin gue.
"Oke oke. Tapi gue naik motor, gak papa?"
"Itu lebih baik kak, jadi kita bisa lebih cepet di jam sibuk kayak gini."
"Yaudah yuk, jalan!" ajak gue.
Kita berdua berjalan beriringan menuju pintu lift, lalu melaju menuju tempat parkir apartemen.
"Lu sekolah di mana?" tanya gue.
"SMA tunas harapan kak."
"Wah, keren lu. Pasti lu pinter ya?"
"Hehehe, enggak juga kak. Kak Ara biasa berangkat kerja jam segini?"
"Enggak juga sih, hari ini gue libur kerja. Karna ada kuliah pagi aja makannya jam segini gue udah di luar."
"Oh, gitu. Untung hari ini kak Ara keluar, jadi aku bisa nebeng deh." ucap Sammy senang.
"Rejeki lu berarti."
Akhirnya kita sampai di parkiran, bergegas gue menuju motor kesayangan gue dan membuka jok untuk mengambil helm untuk Sammy. Untung sekolah ini anak searah sama kampus gue, jadi gue bisa tetep aman walaupun harus nganterin dia dulu ke depan sekolahnya.
"Kak, aku yang bawa aja ya motornya?" tawar Sammy.
"Ehh, gak boleh. Lu kan gak punya SIM, nanti malah ketilang polisi lagi. Udah, lu percaya aja sama gue."
"Aku udah punya SIM kak, kan aku udah 17 tahun."
"Ohh, tapi tetep gue aja yang bawa motornya. Okey?"
"Okey deh kak."
Gue melajukan motor untuk meninggalkan area apartemen lalu menuju ke sekolah Sammy dan berakhir di kampus gue. Aneh sih pagi ini, gue kayak seorang ibu yang lagi nganterin anaknya sekolah. Kalau anaknya masih SD mah mending, lah ini anak SMA. Bisa dikira gue lagi jalan sama berondong ini mah.
Gak begitu lama, gue udah sampai di gerbang sekolah Sammy, menepikan motor dan memberikan kode ke dia supaya turun. Terlihat masih banyak murid-murid yang berada di luar gerbang sekolah, berarti Sammy gak telat hari ini.
"Thanks ya kak. Aku jadi gak telat," ucapnya.
"Iya sama-sama, belajar yang baik ya."
"Oke kak."
"Yaudah gue jalan dulu ya."
"Tiati kak, sekali lagi makasih."
"Oke." ucap gue sambil mengangkat jempol tangan.
Dari sekolah Sammy ke kampus hanya butuh 10 menit, jadi gue masih ada waktu cukup buat masuk ke ruang kuliah tanpa telat. Dari pintu masuk parkir, gue udah ngeliat sosok wanita cantik berdiri di tempat parkiran motor siapa lagi kalau bukan Dewita temen terdekat gue.
Dia cuman geleng-geleng ke arah gue, mungkin dia udah nunggu lama di sana. Gue memakirkan motor di tempat dia berdiri, seolah dia udah booking tempat parkir itu buat gue.
"Sorry-sorry, gue lama ya?" ucap gue.
"Gila lu, Ra. Gue sampe lumutan di sini. Bukannya tadi kita berangkatnya barengan ya setelah selesai telfonan? Jangan-jangan tadi pas gue telfon lu baru bangun ya?" tanyanya.
Hayooo, siapa yang pernah dideketin sama berondong? Atau dideketin sama seseorang yang jauh lebih muda dari kalian.
Você também pode gostar
Comentário de parágrafo
O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.
Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.
Entendi