Nathan langsung memandang Rendra dengan bengis, kemudian dia menutup bukunya dengan kasar.
"Bukan," jawab Nathan singkat dan dingin. Kemudian, ia merogoh sesuatu di dalam tas ranselnya. Mengeluarkan amplop cokelat dan menaruhnya di atas meja. "Sepuluh juta. Gue kalah dari elo," lanjutnya.
Semua anak yang ada di sana memekik kaget, bagaimana tidak. Seorang Nathan Alfaro bisa begitu mudahnya mengakui kekalahan. Seorang cowok yang biasanya akan selalu berhasil mendapatkan apa pun yang dia mau. Ini adalah hal mustahil jika dia sampai mengakui kekalahannya dengan semudah ini. Ini benar-benar bukan seperti seorang Nathan Alfaro.
"Nath, ini beneran elo, kan?" tanya Benny dengan nada terkejutnya.
"Berengsek. Gue merasa jadi pecundang sekarang," tambah Rendra.
"Elo kenapa sih, Nath? Elo itu pilar merah di SMA kita. Elo raja kita. Kenapa tiba-tiba lo bersikap seperti ini? Kalah? Sejak kapan lo kalah dari rivalmu, Nath?" kini Gisel bersuara, wajahnya tampak merah padam seolah benar jika dia sedang marah sekarang. "Gue kecewa ama elo, Nath."
Mendengar hal itu Dinda melirik ke arah Nathan. Dia benar-benar tak bisa melakukan apa pun sekarang. Dia tidak bisa bertindak seperti Nathan yang akan melindungi cowok itu sama sepertinya kemarin.
Dinda langsung berdiri, dia sama sekali tak tahu apa yang akan dilakukan ini adalah benar. Dengan cepat ia menarik tangan Nathan, sampai anak-anak di kelas memandang ke arahnya. Mengajak Nathan pergi keluar kelas dan membawanya ke taman belakang gedung kelasnya.
"Sorry, Nath. Gue malah ngebebanin elo karena masalah ini," kata Dinda setelah Nathan duduk di salah satu bangku di taman. Dinda masih berdiri, enggan duduk bergabung dengan Nathan. "Karena gue elo malah dimusuhin temen-temen elo."
"Biasa aja kali, Din. Entar juga mereka balik lagi kayak biasanya," jawab Nathan. Dia menyunggingkan seulas senyum, seolah benar jika yang terjadi tadi bukanlah masalah yang besar untuknya. Berbeda dengan Dinda, yang selalu menganggap apa pun adalah hal yang serius.
"Kenapa lo nggak jujur ama mereka, Nath?" tanya Dinda lagi.
"Untuk apa? Mempermalukan elo di depan semua orang?"
Dinda diam mendnegar ucapan itu dari Nathan. Dia sama sekali tak menyangka, jika apa yang menjadi ucapan Nathan benar-benar berbeda dari anggapannya tentang Nathan selama ini.
"Pantang bagi gue mempermalukan cewek di depan banyak orang, Din. Asal lo tahu itu. Gue emang cowok berengsek tapi gue punya hati nurani."
Dinda diam sesaat, kemudian dia memandang Nathan yang telah memunggunginya itu. Dinda berjalan, duduk di samping Nathan dan memandang ke arah cowok berambut cokelat itu.
"Gue beneran nggak ngerti elo, Nath. Elo aneh."
"Asal nggak kayak elo. Udah cebol, otak lo dangkal lagi," celetuk Nathan. "Traktir gue karena gue laper sekarang habis nyelametin harga diri lo yang setinggi tiang bendera itu."
"Heh?" kata Dinda. "Nanti sepulang sekolah deh. Gue traktir makan cilok di depan," imbuhnya.
Nathan berdecak. "Gue lapernya sekarang, elo ngajaknya nanti. Mati gue entar."
"Kan masih ada kelas, Nath. Ulangan."
"Gimana kalau kita bolos. Elo berani nggak?" tantang Nathan yang berhasil membuat Dinda mendelik.
Biar bagaimana pun, menurut anak-anak Nathan itu termasuk salah satu siswa yang paling rajin. Hampir tidak pernah namanya bolos sekolah, atau pun pulang di tengah-tengah jam pelajaran kalau bukan dalam situasi genting. Tapi sekrang?
"Cemen lo, Din, nggak berani bolos."
"Terus ulangannya gimana?"
"Halah, kan bisa besok-besok. Gue yang urus. Gimana?" tawar Nathan keras kepala. Dia membuka telapak tangannya, seolah berharap jika Dinda akan menggenggam tangannya tersebut.
"Oke," jawab Dinda. Tersenyum simpul dan menggenggam tangan Nathan. Senyum Nathan mengembang, kemudian dia segera bangkit untuk menarik Dinda pergi dari sana. "Tapi, tas kita ada di kelas. Uang gue ada di tas."
"Udah urus entaran, gue udah laper. Gue ada jalan di samping yang kita bisa keluar masuk kelas kita dengan aman."
Nathan langsung mengajak Dinda menuju samping gedung olahraga. Di sana ada semak-semak yang cukup rimbun. Setelah mereka dekat, Nathan pun menyibak semak-semak itu. Sebuah lorong kecil yang ditutup pintu dari kayu itu pun tampak nyata. Seolah seperti jalan rahasia yang disembunyikan di sebuah film-film.
"Biasanya kalau telat atau kalau gue nggak mood sekolah. Gue masuk lewat sini," jelas Nathan.
Dinda pun tersenyum dibuatnya. Meski ia tak menampik, jika jantungnya terpacu karena hal seperti ini. Ini adalah kali pertama ia membolos sekolah, terlebih di saat ulangan berlangsung.
Bagaimana jika ia dipergoki guru piket? Atau, bagaimana nasibnya nanti kalau tahu dia membolos? Ah, tapi Dinda tak ingin peduli. Yang Dinda inginkan sekarang adalah, dia ingin merasa benar-benar bebas!
"Waow! Gue ngerasa masuk ke dalam dunia lain!" pekik Dinda semangat. Dia melompat kegirangan dengan senyuman yang terus mengembang dari kedua sudut bibirnya.
Sementara Nathan, memandang Dinda dalam diam. Dia baru tahu sekarang, jika ada cewek yang bisa segembira ini hanya sekadar bolos sekolah. Nathan sama sekali tak bisa membayangkan, bagaimana tekanan batin yang dirasakan Dinda. Hingga melakukan hal sepele seperti ini saja seolah ia telah merdeka.
"Jadi sarapan di mana?" tanya Nathan.
Dinda langsung menoleh, dia ingat jika Nathan minta ditraktir. "Kan gue udah bilang, uang gue ada di dalem tas."
"Gue pinjemi dulu deh, laper nih. Yok!" ajaknya.
Menggandeng tangan Dinda untuk segera pergi dari sana. Dinda memandang tangannya yang digandeng oleh Nathan sedari tadi. Dia sendiri bingung, bagaimana ceritanya Nathan dan dia sekarang gemar saling menggandeng tangan. Sejak kapan mereka bisa sedekat ini? Padahal, baru kemarin mereka menjadi seorang teman.
"Elo kenapa sih?" tanya Nathan. Yang sadar jika Dinda menghentikan langkahnya. Sadar jika Dinda memerhatikan genggaman tangannya kepada Dinda, Nathan pun melepaskannya pelan-pelan. "Sorry, kebablasan," jelas Nathan. Menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal.
"Din, kamu di sini?"
Dinda, dan Nathan langsung menoleh saat mendengar suara yang tak asing itu. Panji sudah berdiri tak jauh dari mereka, dengan wajah penuh harapnya.
Napas Dinda kembali sesak, bahkan secara spontan dia memundurkan langkahnya ke belakang. Namun, sebelum Dinda luruh, tangan Nathan menggenggam pundaknya seolah menguatkan.
"Ini kesempatan buat elo, Din. Lakukan apa aja yang ingin lo lakukan buat ngelampiasin emosi lo ama cowok tengil kayak dia. Lo ingat, dia nggak seganteng gue, dia nggak sekaya gue. Kalau ama gue aja lo bisa ketus, seharusnya lo bisa juga ama cowok buluk itu. Jangan buat harga diri gue hancur, Din," bisik Nathan.
Mendapati ucapan panjang lebar Nathan, Dinda benar-benar tak fokus. Tapi dia cukup kaget saat tangan besar Panji menepuk pundaknya. Seperti sengatan listrik yang langsung mengaliri tubuhnya secara berkala.
"Din."
PLAK!!!