Baixar aplicativo
1.44% SPACE (Nathan Love Story) / Chapter 6: BAB 6

Capítulo 6: BAB 6

"Gue rasa elo salah paham ama gue...," kata Nathan lagi. Dinda yang mendengar pun hanya diam. "Soal kejadian tadi pagi, di dua tempat itu. Kayaknya elo salah paham. Dan gue minta maaf kalau udah buat elo nggak nyaman karena itu," lanjutnya.

"Kenapa lo nandain gue?" kata Dinda pada akhirnya.

Suaranya yang serak tampak begitu lemah, bahkan di telinga Nathan pun lebih terdengar seperti rayuan yang ingin ia terkam hidup-hidup. Nathan menarik sebelah alisnya, menurunkan buku yang sedari tadi ada di tangannya, kemudian memandang ke mata Dinda. Meski begitu ia hanya memandangnya sesaat, dia lalu menundukkan kepalanya lagi, sebelum ia benar-benar memandang Dinda dengan mantap.

"Elo kan yang ngasih dua kartu merah ama gue?" tanya Dinda lagi.

Nathan mengerutkan keningnya, dia melihat selembar kartu merah, dan selembar lain sudah tak utuh.

"Dua?" tanyanya. "Yang di kelas itu milik gue," dia jawab.

"Yang di loker punya elo juga, kan? Karena kartu merah itu milik elo. Kenapa lo nandain gue? Gue nggak mau berurusan ama siapa pun di sini. Termasuk elo!" ketus Dinda. Amarahnya membuncah setiap kali ada cowok model Nathan mulai membuat perkara. Dia sudah cukup mengenal si berengsek Panji. Dia tak mau mengenal si berengsek mana pun lagi.

"Elo cukup jelas ama apa yang ditulisan itu, kan?" kata Nathan.

Dinda memandang cowok itu yang masih tampak santai. Bertopang dagu sambil memandangnya lekat-lekat. Mata abu-abu itu, alis hitam itu, benar-benar menganggu Dinda.

Ia pun memilih untuk beranjak dari sana, sambil membawa buku yang sedari tadi dia bawa. Hendak meminjam dari perpustakaan untuk besok ia kembalikan.

Dinda langsung menuju ke arah petugas perpustakaan, seorang cowok berumur sekitar 25 tahunan. Cowok itu mengambil buku itu dari Dinda.

"Kamu mau pinjam ini, Dik?" tanyanya. Sambil mengecek nomor seri buku itu di sebuah komputer.

"Iya, Mas."

"Udah punya kartu perpus?" tanya cowok bernama Edo itu.

Dinda terdiam untuk sesaat. Dia benar-benar lupa, jika untuk meminjam sebuah buku dari perpustakaan ia harus menjadi anggota di sana, dan memiliki kartu perpustakaan.

"Pinjemin atas nama gue aja, Kak," Nathan bersuara. Berdiri di samping Dinda dengan senyum lebarnya. "Ngurus kartu perpustakaan di sini itu rumit. Elo harus datengin TU dulu, dan itu butuh waktu nyaris setengah jam. Keburu kelas masuk. Jadi, pakek kartu gue aja dulu," tawarnya.

Dinda memandang Nathan semakin jenggah. Dia benar-benar tidak menyukai cowok tipikal Nathan. Cowok sok kecakepan, cowok sok kenal, dan cowok sok segalanya.

"Mas, aku nggak jadi pinjem, deh. Makasih," kata Dinda. Kemudian pergi keluar meninggalkan Nathan, dan Edo.

*****

Sepulang sekolah Dinda langsung masuk ke dalam kamarnya. Membaca beberapa buku untuk kemudian mengisi beberapa soal-soal yang ada di LKS. Dinda melirik saat Nadya baru saja pulang dari rumah, tepatnya hampir dua jam setelah kepulangannya. Namun begitu Dinda tak lantas menyapa. Dia cukup tahu apa yang telah dikatakan oleh Nadya tadi pagi.

"Gimana sekolah lo hari ini?" tanya Nadya. Duduk di samping Dinda, dan menawari Dinda snack yang baru saja ia bawa pulang dari sekolah.

"Elo beda kelas ama gue?" tanya Dinda sebelum ia menjawab pertanyaan Nadya.

Nadya mengangguk. "Kelas sebelah kelas elo," dia jawab. "Gimana sekolah lo tadi?" tanya Nadya lagi.

Dinda akhirnya mengambil posisi duduk, kemudian meraih salah satu snack milik Nadya. "Kacau, buruk, nggak jelas...," ucapnya panjang lebar. "Sepagi hari gue udah mergokin cowok ciuman ama dua cewek berbeda. Abis itu gue ketemu ama cowok bernama Rendra, dan mengatakan hal-hal nggak jelas. Di kelas gue disindir ama yang mamanya Sasa ama Gisel. Dan yang lebih nyebelin dari itu, cowok bernama Nathan ngintilin gue kemana-mana," dengusnya.

Nadya terkekeh mendengar ucapan Dinda. Rupanya, Dinda tak sependiam yang ia pikirkan. Cewek itu rupanya cerewet juga. Apalagi, ketika bercerita dengan mimik wajah sok serius itu. Rupanya, wajah kalem Dinda menyimpan banyak cerita.

"Kan elo udah ditandai Nathan, ya pantes aja tuh cowok ngintilin elo kemana-mana sebelum apa yang dia incar didapet,"

"Ngincar apa?" tanya Dinda serius. "Kata Selly, siapa pun anak yang telah ditandai Nathan bakal keluar dari sekolah paling lama seminggu. Bener kayak gitu?" tanyanya lagi.

Nadya mengangguk. "Mayoritas gitu. Tapi bukan karena dibully, kok. Tenang aja,"

"Terus?"

"Dibuat patah hati...," jawab Nadya. "Anak-anak yang ditandai Nathan itu dipilih secara acak. Entah dari tanggal lahir, nomor absen, atau bahkan sekadar... taruhan," Nadya berdiri, setelah melirik sekilas ke arah Dinda, dia menanggalkan seragamnya untuk kemudian ia mengambil pakaian ganti. "Dan elo tahu lah ya, tipe playboy kayak Nathan. Kalau nggak mainin hati cewek mana tahan. Setelah dirayu-rayu ampek si cewek bertekuk lutut di depannya, terus ditinggalin gitu aja. Dan belum ada satu cewek pun yang lepas dari rayuannya,"

Tepat sesuai apa yang diduga Dinda. Nathan adalah Panji. Tipikal cowok yang senang menyakiti hati cewek. Cowok yang bermodalkan kekayaan orangtuanya, dan wajah cakepnya. Dinda diam beberapa saat, bukan karena ia takut akan terjerat oleh pesona Nathan. Yang lebih ia takutkan adalah, jika cowok itu terus saja sok kenal dengannya sampai mengikutinya kemana-mana.

"Eh, Nad. Elo ada kenalan nggak di sini? Kayak anak-anak yang butuh les gitu," kata Dinda tiba-tiba.

Nadya menarik sebelah alisnya, bingung. Karena baru kali ini ada teman sekolahnya bertanya hal semacam itu.

"Buat apa?"

"Buat tambahan jajan, Nad. Uang dari Ibu gue abis nih buat beli buku paket tadi," jawab Dinda. Yang berhasil membuat Nadya semakin bingung.

Bukan tidak apa-apa. Nadya cukup paham dengan sekolahnya. Di mana aturan beasiswa tidak berlaku di sana. Jadi, yang sekolah di sana adalah anak-anak dari keluarga kaya dan berprestasi. Bahkan untuk seleksi pun sangat ketat. Terlebih, tidak sembarang anak bisa masuk ke sana. Lagi pula, uang dari hasil jadi guru les bukan seberapa jika memang benar Dinda berasal dari anak kaya, kan? Ataukah cewek ini benar-benar low profile yang tipikal tak merepoti orangtuanya?

"Ada, di komplek seberang. Gue lihat ada beberapa orangtua yang memasang pengumuman di sana. Elo coba aja ke sana kalau ingin," jawab Nadya. Mengabaikan lagi pikirannya tentang Dinda, kemudian ia mengambil posisi tidur. Lebih baik dia tidur dulu, sebelum nanti sore dia keluar lagi bersama dengan teman-temannya.


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C6
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login