Baixar aplicativo
66.66% Balada Tiga Malaikat / Chapter 18: Antara Kawan atau Lawan

Capítulo 18: Antara Kawan atau Lawan

BAB 18

Hujan deras masih mengguyur dengan bebas di luar. Angela datang ke apartemen Qomar Shia Putra naik taksi. Mendadak Kenny Herry ada sesuatu yang perlu dibahas dengan kedua sahabatnya di kereta api magis. Kenny Herry bilang padanya dia akan menyusul sesegera mungkin, dan akan langsung muncul di mana Angela berada apabila Angela menemui bahaya.

Angela tampak berdiri di depan pintu apartemen Qomar Shia Putra. Baru saja dia ingin menekan bel pintu, pintu lift sudah terbuka dan sosok lelaki itu sudah muncul sambil menenteng empat bungkus nasi padang.

"Angela…?" Qomar jelas terlihat kegirangan karena mendapat durian runtuh hari ini. pucuk dicita ulam tiba. Sosok yang begitu dirindukannya otomatis memunculkan diri di depan pintu apartemennya siang itu.

"Ada apa ke sini? Tumben banget kau bisa datang menengokku ke sini. Apa karena aku tidak datang ke kampus tadi pagi?" Qomar berusaha berkelakar di depan Angela.

"Masuk dulu… Kita bicara di dalam saja… Cindy ada di dalam kan?" tanya Angela singkat.

"Ada Cindy, ada Calista, ada Irene, dan sekarang kau juga datang ke sini. Apartemenku penuh dengan gadis-gadis cantik siang ini, Gel…"

Namun, senyuman kehangatan pada wajahnya kontan lenyap begitu dia melangkahkan kakinya ke dalam apartemen dan tercium bau amis yang begitu menyengat hidung. Qomar mulai curiga telah terjadi sesuatu di dalam apartemennya. Dia segera melangkahkan kakinya ke dalam. Namun, di dalam ia tidak melihat apa-apa yang mencurigakan.

Angela juga sempat mencium adanya bau yang tidak sedap. Dia mulai khawatir telah terjadi sesuatu pada Cindy di dalam. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada Cindy di dalam… Meninggalkan Cindy hanya bertiga barengan si Calista Sok Cantik dan Irene Ivy Munafik itu jelas bukanlah solusi yang baik… Apakah memang Qomar ini sengaja berbuat begitu atau benaran dia tidak tahu Calista dan Cindy sama-sama terpikat padanya?

Baru saja Angela hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen, Kenny Herry dan dua sahabatnya beserta pasangan masing-masing sudah muncul di tempat itu. Angela terperanjat kaget sejenak melihat banyak temannya juga yang datang ke apartemen Qomar siang ini. Angela semakin yakin telah terjadi sesuatu dalam apartemen tersebut.

"Jangan masuk, Gel… Di dalam telah terjadi sesuatu yang mengerikan… Biarkan mereka bertiga saja yang masuk… Kita manusia biasa takkan bisa menangani situasi yang ada di dalam," kata Carvany berusaha menahan Angela.

"Tapi temanku si Cindy Victoria itu masih ada di dalam. Aku harus menolongnya. Cindy sedang membutuhkan bantuanku." Angela hendak masuk ke dalam lagi.

"Sejak awal dia bukanlah temanmu, Gel… Dia mendekatimu di kampus dan berteman baik denganmu karena dia tahu betul Qomar Shia Putra sudah ada hati padamu. Dia sendiri juga ada hati pada si Qomar Shia Putra itu. Jadi dia mendekatimu supaya dia juga berkesempatan berteman dan mendekati lelaki itu. Begitulah… Sejak awal dia tidak memiliki niat tulus untuk berteman denganmu… Percayalah pada kami… Barusan saja dia telah membunuh Calista Permata Halim dan si Irene Ivy Juswan di dalam apartemen itu. Kau tidak boleh lagi masuk ke dalam, Gel… Di dalam sangat berbahaya…" kata Felisha Aurelia mencegat lengan Angela dan mencegahnya masuk ke dalam apartemen Qomar Shia Putra.

Angela menahan napasnya. Dia memandangi pintu apartemen tersebut. Pintu sudah dalam keadaan tertutup dan ketiga malaikat sudah tidak berada di koridor apartemen. Angela menebak, ketiga malaikat pasti sudah berada dalam apartemen itu.

Qomar Shia Putra meletakkan empat bungkus nasi padang di atas meja makan. Keadaan di dalam masih tertata rapi seperti semula. Dia berjalan ke arah dapur dan mengambil empat sendok makan dari lemari kabinet. Tampak sosok Calista Permata Halim, sosok Irene Ivy, sosok Cindy Victoria dan sosok Angela Thema sama-sama duduk mengelilingi meja makan. Keempatnya sama-sama membuka bungkusan nasi padang dan mulai menyantap nasi padang langsung dengan tangan mereka.

Qomar kembali ke meja makan membawa empat sendok makan. Langkah-langkahnya langsung terhenti tatkala dilihatnya keempat gadis sudah mulai melahap makanan masing-masing.

"Lho…? Aku tidak tahu Cindy dan Angela juga suka makan nasi padang dengan tangan. Bukankah kau dan Irene biasanya selalu makan nasi padang pakai sendok, Calista? Kenapa tumben kali ini kalian berdua juga makan pakai tangan?"

Qomar mencoba mencairkan kekakuan di meja makan tersebut. Akan tetapi, keempat gadis itu masih saja melahap nasi padang mereka dalam diam. Mereka membisu seribu bahasa. Petir terus menggelegar dan kilat terus sambar-menyambar. Qomar mulai merasakan ada yang tidak beres. Perasaannya mulai tidak enak. Petir menggelegar dan kilat yang menyambar menerangi bagian dada Calista Permata Halim. Qomar melihat semacam ada noda saus kecap yang menempel pada baju di bagian dadanya. Qomar mengambil tisu dan mengelap baju Calista Permata Halim.

"Makannya pelan-pelan… Sampai baju juga ikut terkena noda kecap, Calista… Bagaimana sih kau ini?" Qomar terdengar sedikit menggerutu.

Namun, noda yang menempel pada kertas tisu bukanlah noda kecap! Qomar terhenyak kaget! Itu noda darah! Dia sontak berdiri dan mundur beberapa langkah… Ada yang tidak beres dalam apartemennya. Tadi ada bau amis… Sekarang keempat gadis yang duduk semeja dengannya makan siang ini tampak bukan seperti manusia biasa. Dan pada baju si Calista Permata Halim itu ada darahnya.

"Calista… Calista… Apa yang terjadi padamu? Ada darah di bajumu?" suara Qomar mulai terdengar bergelugut.

"Tolong aku, Qomar! Tolong aku, Qomar! Tolong aku!" dari dada dan perut Calista Permata Halim tampak darah merah segar kembali bercucuran tiada henti laksana air mancur bertekanan tinggi.

"Tolong aku! Tolong aku! Tidak! Tolong aku!" juga terdengar jeritan Irene Ivy Juswan. Dari kepalanya juga tampak darah merah segar bercucuran tiada henti.

"Ada apa ini? Calista! Irene! Cindy! Angela! Apa yang terjadi?" teriak Qomar mulai panik. Ngeri dan takut mulai menyelisir di padang sanubari.

Sosok Angela Thema berubah menjadi sosok anak kecil. Dia tampak mandi di bawah pancuran darah yang bercucuran keluar dari tubuh Calista dan Irene Ivy. Kedua bola mata Qomar Shia Putra membelalak seketika. Tampak sosok Audina Ivander berdiri di belakang sosok Cindy Victoria yang kini masih duduk dengan sepasang matanya yang hampa.

"Au… Au… Audina…? Kenapa kau dan anak itu bisa muncul kembali di sini? Kalian sudah mati! Kalian sudah mati! Tidak! Tidak!"

Qomar hendak berlari ke pintu apartemennya. Namun, berkali-kali dia mencoba engsel pintu tersebut, pintu tersebut sama sekali tidak bergeming.

"Tolong! Tolong! Tolong!" Qomar menggedor-gedor pintu apartemennya sendiri dari dalam, namun pintu tersebut sama sekali tidak bergeming.

Sosok Audina Ivander masuk kembali ke tubuh Cindy Victoria.

"Aku bisa masuk ke tubuh gadis muda ini, karena dia juga sangat mencintaimu. Dia juga sangat mencintaimu, dan sudah mengharapkanmu sejak di hari pertama dia berkenalan denganmu. Kau tahu jelas hal itu bukan? Namun, berkali-kali kau menggantungkan harapan palsu padanya…" perlahan-lahan sosok Cindy Victoria berjalan mendekati Qomar Shia Putra yang gemetaran hebat di tempatnya.

"Penantian mulai berubah menjadi kebencian, Qomar… Sama seperti apa yang kualami… Kau hanya memperalatnya untuk mendekati dan mendapatkan si Angela Thema itu bukan? Cindy Victoria mengalami apa seperti yang kualami. Makanya, aku bisa masuk dan berdiam di tubuhnya. Aku dan Cindy Victoria Kosim ini akan sama-sama membalaskan dendam kami. Kau tahu kenapa Cindy Victoria ini bisa membunuh kedua perempuan itu?"

Qomar melirik sebentar ke sosok Calista Permata Halim dan Irene Ivy Juswan dengan darah mereka yang masih bercucuran keluar tiada henti.

"Mereka telah mem-bully Cindy Victoria ini. Mereka menuangkan air ke wajah dan tubuhnya, menuangkan saus cabai yang pedas itu ke wajahnya, dan kemudian mereka bahkan menuangkan air panas ke sekujur tubuhnya. Aku hanya memberinya sedikit kekuatan untuk membunuh kedua lawannya ini, Qomar. Memang pada dasarnya Cindy Victoria ini sudah memiliki kebencian yang teramat kuat. Dia sanggup menyingkirkan siapa pun yang menghalanginya dalam mendapatkan dirimu, Qomar. Aku merasa dia sangat senasib denganku, Qomar. Aku merasa aku bisa meminjam tubuhnya sebentar untuk membalaskan dendam kami berdua kepadamu. Bukankah itu bagus, Qomar?"

Dengan sekali mengayunkan tangannya, Audina Ivander berhasil mengirim tubuh Qomar Shia Putra dari satu sisi apartemen menghantam ke dinding apartemen sisi yang lainnya. Audina Ivander dengan kasar menjatuhkan tubuh Qomar Shia Putra ke lantai.

"Tolong aku! Tolong aku! Sakit, Audina… Dengan memandang cinta kita sebelumnya, aku mohon lepaskan aku. Aku akan mengurus pemakaman yang layak buatmu dan buat anak kita itu. Aku mohon lepaskan aku…" kali ini, tampak Qomar Shia Putra merangkak-rangkak di lantai dan tampak berlutut di hadapan sosok Cindy Victoria Kosim, memohon ampun pada sosok Audina Ivander Chianago yang berdiam di dalamnya.

"Sakit kan, Qomar…? Tapi, sakitmu ini masih belum seberapa… Sakit ini masih belum seberapa dibandingkan dengan sakit karena telah dicampakkan begitu saja setelah dinikmati… Sakit ini masih belum seberapa dibandingkan dengan harapan yang kauberikan padaku sampai ke langit ketujuh, dan kemudian kaucampakkan aku kembali ke lantai dasar. Bisa kaubayangkan betapa sakitnya itu? Di saat aku merasa masa depan dan kehidupan baru sudah menantiku di depan sana, lantas mendadak kau mengatakan anak itu bukanlah anakmu dan kau menghancurkan segala kebahagiaan dan masa depanku hanya dalam waktu beberapa detik! Sakit sekali rasanya! Sakit sekali!"

Teriakan Audina Ivander Chianago mulai memuncak. Dia mengayun-ayunkan tangannya lagi tanpa henti sekarang. Tubuh Qomar Shia Putra tercampak antara lantai dan langit-langit, antara dinding kiri dan dinding kanan, antara dinding depan dan dinding belakang. Tampak darah merah segar mulai muncrat dari mulut Qomar Shia Putra. Terakhir, Audina Ivander Chianago menghantamkan kepala lelaki itu ke jendela kaca apartemennya sendiri. Kaca tampak pecah berkeping-keping di lantai. Qomar Shia Putra kini terkulai tidak berdaya di atas pecahan-pecahan kaca jendela dengan genangan darah merah segar sebagai latar belakangnya.

Audina Ivander Chianago mengayunkan tangannya lagi. Tubuh Qomar Shia Putra naik lagi dan kini Audina Ivander memberdirikan tubuh Qomar Shia Putra di hadapannya.

"Bilang kau masih mencintaiku, Qomar… Bilang kau sebenarnya masih sangat mencintaiku, Qomar… Bilang sebenarnya kau tidak ingin mengkhianatiku dan mencampakkan aku… Bilang sebenarnya kau terpaksa berbuat sedemikian kejam terhadapku, dan terhadap anak kita… Bilang sekarang… Bilang sekarang…!" kini terdengar lolongan tangisan tidak berdaya dari arwah Audina Ivander Chianago.

"Aku… Aku… Sakit sekali… Tolong lepaskan aku, Audina… Tolong lepaskan aku…" masih terdengar rintihan ketidakberdayaan dari Qomar Shia Putra ketika ambang-ambang maut mulai menjemputnya.

"Dengan adanya cintamu padaku, aku yakin aku bisa bertahan kendati api neraka membakarku. Aku yakin aku bisa melewati segala macam api neraka. Namun, kini kau tidak mencintaiku lagi. Kau tidak menginginkanku lagi… Jadi, aku rasa lebih baik ke neraka bersama-sama denganmu daripada aku ke neraka sendirian. Iya nggak, Qomar? Iya tidak sih…?"

Jari-jemari Cindy Victoria mulai naik dan membelai-belai wajah Qomar Shia Putra yang tampan.

"Diam berarti kau setuju ya, Qomar… Oke… Neraka sudah menunggu kita… Ayo kita sama-sama ke sana menerima penghakiman atas kehidupan kita yang kejam. Oke kan…? Semuanya akan baik-baik saja… Semuanya akan berakhir dengan baik, Qomar… Jika ada kehidupan yang selanjutnya, aku memilih untuk tidak bertemu denganmu lagi, aku memutuskan untuk tidak jatuh cinta kepadamu lagi. Aku memutuskan lebih baik aku sendiri…"

Hujan deras mulai berhenti. Hanya tersisa hujan gerimis pada pukul dua siang itu. Tampak kaca jendela apartemen Qomar Shia Putra pecah semuanya dan dua sosok tubuh terjun bebas ke pelataran parkir yang ada di bawah. Tubuh Cindy Victoria mencapai atap sebuah mobil hitam. Tubuh Qomar Shia Putra langsung mencapai tanah. Darah merah segar kembali menggenangi pelataran parkir yang ada di bawah. Tampak dua pasang mata kedua orang itu membelalak hampa ketika ambang-ambang maut datang menjemput.

Tiga arwah berguling keluar dari dua tubuh yang sudah terbujur kaku di bawah guyuran hujan gerimis pada siang kelabu. Angela, Felisha Aurelia, dan Carvany berlari ke pelataran parkir guna melihat apa yang terjadi. Ketiganya memekik tertahan memandangi kondisi mengenaskan dua tubuh tersebut dengan mata mereka yang terbelalak lebar.

"Aku sudah bilang lepaskan aku kan! Kenapa kau tidak mau melepaskanku, Audina? Kenapa kau bersikukuh ingin membalas dendam? Kenapa?" arwah Qomar Shia Putra dengan segala noda darah yang menempel pada tubuhnya mulai mencekik arwah Audina Ivander Chianago dengan kuat.

"Kita akan ke neraka bersama-sama sebentar lagi. Di sana kau bisa mencekikku sampai kau puas. Hahaha…" tawa Audina Ivander Chianago meledak dan berkumandang ke segala arah.

Mulai muncul dua lubang hitam di belakang Qomar Shia Putra dan Audina Ivander Chianago. Keduanya mulai tersedot ke dalamnya. Jeritan mereka berakhir dan lenyap tertelan ke dalam lubang hitam tersebut. Tinggallah arwah Cindy Victoria Kosim yang menangis tersedu-sedu di samping jenazahnya.

"Cin… Cin… Cindy…" panggil Angela dengan takut-takut.

Cindy Victoria Kosim mengangkat kepalanya dan memandangi Angela dengan tatapan nanar.

"Jangan panggil aku! Aku tak perlu berpura-pura baik di hadapanmu lagi, Angela Thema! Kini aku bisa menjadi diriku sendiri!" Cindy Victoria Kosim perlahan-lahan berdiri. Angela perlahan-lahan mundur ke kedua temannya yang terlihat berdiri di belakangnya.

"Aku sangat membencimu, Angela Thema! Sangat membencimu… Sangat tidak menyukaimu… Kenapa hidupmu begitu beruntung? Kenapa kau selalu mendapatkan apa yang kauinginkan? Kau mendapatkan perhatian dan cinta dari Qomar Shia Putra, laki-laki yang teramat kuharapkan dan kudambakan… Aku harus berjuang sedemikian susah payah, dan sampai detik-detik terakhir hidupnya dia juga tidak berpaling sedikit pun ke arahku… Apa bedanya aku denganmu? Kau tidak lebih baik daripada aku! Kau tidak lebih istimewa daripada aku! Kenapa Qomar Shia Putra begitu mendambakanmu? Kenapa…? Kenapa…?"

Angela membisu seribu bahasa. Segala macam perasaan bergelitar nan berkecamuk dalam pucuk pikirannya. Dia tidak tahu mesti berkata apa.

"Kenapa kau membunuhku, Gadis Tolol! Gadis kurang ajar…! Akan kubalaskan dendamku padamu! Akan kubalaskan dendamku padamu!" teriak Calista Permata Halim menerjang ke arah Cindy Victoria dengan sebilah pisau di tangannya.

"Kita habisi dia, Calista! Kita buat dia menyesal telah berani berurusan dengan kita!" teriak Irene Ivy Juswan kembali memanas-manasi di belakang Calista Permata Halim.

Akan tetapi, lubang hitam mulai terbuka di belakang Cindy Victoria Kosim. Perlahan-lahan partikel pembentuk dirinya mulai tersedot ke dalam lubang satu per satu. Calista Permata Halim dan Irene Ivy Juswan terhenyak kaget. Mereka berhenti menerjang ke arah Cindy Victoria Kosim.

Cindy Victoria Kosim kini berpaling ke arah Angela dengan sepasang matanya yang mendelik tajam.

"Kini kau juga memiliki seorang malaikat biru yang super tampan dan begitu sempurna di sampingmu, sementara aku harus menderita dibakar oleh api neraka. Apa hakmu berbahagia di atas penderitaanku, Angela Thema! Apa hakmu merenggut semua sumber kebahagiaanku! Hidup ini begitu tidak adil padaku! Aku sangat membencimu! Aku benci hidup ini! Aku benci…!"

Tangan Cindy Victoria Kosim sudah hampir mencapai leher Angela Thema ketika sosok Kenny Herry muncul di samping Angela Thema. Dengan sekali mengibaskan tangannya, kedua tangan itu juga tercampak dan tersedot ke dalam lubang hitam. Teriakan Cindy Victoria Kosim juga habis tertelan ke dalam lubang hitam. Angela menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang malaikat biru dan membiarkan tangisannya bertumpah ruah di sana.

"Ayo kita pergi dari sini, Irene! Aku tidak ingin tersedot ke dalam lubang itu dan dibakar oleh api neraka!"

"Aku juga tidak mau…"

Keduanya melarikan diri. Malaikat hijau dan malaikat merah juga muncul di samping Felisha Aurelia dan Carvany.

"Mereka melarikan diri, Boy…" celetuk Felisha Aurelia.

"Apakah mereka tidak dijemput saja dengan kereta api pengantar sehingga mereka berdua tidak perlu menderita siksaan pembakaran api neraka, Jack?" tanya Carvany dengan nada iba.

"Masing-masing memiliki energi karma masing-masing, Felisha…" tukas Boy Eddy.

"Mereka memiliki aura kebencian dan ketidakpuasan yang begitu kuat. Mereka takkan bisa naik ke kereta api pengantar." Jacky Fernandi menggelengkan kepalanya dengan lembut nan santai.

"Apa yang akan terjadi dengan arwah Calista Permata Halim dan Irene Ivy Juswan itu, Ken?" tanya Angela dengan nada iba.

"Mereka akan terus berdiam di apartemen yang menjadi tempat kematian mereka itu. Ketika tiba pada karma mereka habis, mereka pasti akan terjatuh ke salah satu dari dimensi kegelapan," tukas Kenny Herry dengan sebersit senyuman kecut.

"Dimensi kegelapan?"

"Setahuku ada empat dimensi kegelapan. Neraka salah satunya… Habis itu, ada dunia binatang… Ada dunia semua setan… Dan ada dunia raksasa: jin, siluman, dan makhluk-makhluk lainnya dengan emosi kemarahan dan temperamental yang begitu kuat… Begitulah, Gel… Tugasku hanya mengantar sekaligus menyeberangkan para manusia yang sudah meninggal di dimensi manusia kita ini. Sisanya sudah di luar kendaliku dan menjadi bagian dari hukum alam semesta ini. Kau mengerti bukan?"

Kembali Angela merebahkan kepalanya ke dada bidang sang malaikat biru.

"Aku tidak tahu Cindy begitu membenciku, Ken… Apakah aku salah selama ini? Mendadak saja, aku merasa aku menjadi manusia yang paling berdosa terhadap temanku sendiri selama ini… Aku merasa kasihan pada Cindy. Jika saja ia tidak berkenalan dan berteman denganku, ia tidak perlu menderita dan tersiksa oleh kebenciannya sendiri."

"Nah, kau sendiri sudah mengatakannya. Kau sudah melakukan yang terbaik dalam perananmu, Gel… Sisanya menjadi urusan orang itu sendiri apakah dia akan menyukaimu atau membencimu. Kita hanya bisa mengatur tingkah laku, perasaan dan pencerapan kita sendiri. Kita sama sekali tidak ada kuasa terhadap pola pikir, pandangan, dan pencerapan orang lain terhadap kita. Percayalah padaku, Gel… Dalam hal ini, kau sudah melakukan dan memberikan yang terbaik dari dirimu…"

Angela menenggelamkan diri dalam pelukan sang malaikat biru. Dalam kata-katanya, Angela menemukan setitik ketenangan. Dalam pelukannya, Angela mendapatkan sekelumit kehangatan di balik balutan api asmara yang terus membara. Angela memutuskan dia akan terus berpegang erat dalam pelukan kehangatan Kenny Herry.

Anak kecil laki-laki mulai berjalan menghampiri mereka. Felisha Aurelia berpaling ke anak tersebut.

"Kak… Kak… Apakah kau melihat ada di mana ayah ibuku?" raut wajah si anak mulai ketakutan karena dia tidak bisa menemukan di mana ayah ibunya.

"Ayah dan ibumu sudah naik ke kereta api pengantar dan mereka sudah berangkat duluan tadi…" senyum Felisha Aurelia. Dia terpaksa berbohong untuk menenangkan si anak yang mulai ketakutan.

Terpancar senyuman kehangatan dari sudut bibir Felisha Aurelia. Boy Eddy merasa jiwanya kembali hangat melihat senyuman itu.

"Kok kau bisa ketinggalan, Adik Kecil?" senyuman Boy Eddy juga memancarkan kehangatan ke diri Felisha Aurelia yang melihatnya.

"Aku mungkin nakal dan suka bermain-main. Aku bermain di air pancuran tadi. Mungkin Ayah & Ibu tidak menungguku dan mereka berangkat duluan ya…" si anak menunjukkan sedikit muka cemberutnya.

"Kalau Adik Kecil mau berangkat lagi, masih ada kereta api pengantar yang berikutnya kok… Mau?" tanya Boy Eddy masih dengan senyuman hangatnya.

"Akan membawaku ke mana sih kereta api pengantar itu, Bang Malaikat? Ada makanan dan minuman di sana tidak? Ada mainan-mainan yang menyenangkan tidak?"

"Semuanya tergantung pada apa yang kaupikirkan, Adik Kecil. Jika kau berpikir ada, ya ada… Jika kau berpikir tidak ada, semuanya menjadi tidak ada… Oleh sebab itu, kau harus terus berpikir di sana itu ada makanan yang sangat lezat dan menggugah selera. Di sana itu ada juga kedua orang tua baru yang begitu menyayangimu. Mereka setiap hari menghujanimu dengan sejuta kasih sayang dan cinta. Setiap kali kau ujian dapat nilai tinggi, ayah ibu barumu itu akan membelikanmu mainan-mainan baru…"

"Wah…! Sungguh menyenangkan sekali, Kak… Aku ingin ke sana… Aku ingin ke sana…"

Felisha Aurelia menganggukkan kepalanya kepada Boy, kepada Jacky Fernandi, dan kepada Kenny Herry. Jacky Fernandi dan Boy Eddy menganggukkan kepala mereka kepada Kenny Herry. Kenny Herry sendiri juga mengangguk. Kemudian ia menjentikkan jarinya dan sejurus kemudian, tibalah kereta api pengantar di depan si anak kecil laki-laki. Kali ini, kereta api pengantar yang datang tampak berwarna pelangi.

"Lihat itu… Kereta api warna pelangi sudah datang…" senyum Carvany di samping si anak kecil laki-laki.

"Wah…! Kenapa kereta apinya bisa ada tujuh warna pelangi, Kak?" senyuman kegirangan merekah di bibir si anak kecil laki-laki.

Kali ini, Angela mendekati si anak kecil laki-laki dan berujar, "Merah untuk cinta kasih dan kebahagiaan. Jingga untuk semangat. Kuning untuk kepintaranmu kelak, Adik Kecil… Hijau tentu saja untuk kehidupan barumu nanti. Biru untuk ketenangan. Nila untuk kejujuranmu. Dan ungu untuk cita-citamu di kehidupan barumu nanti. Kau mau kan ke sana, Adik Kecil?"

Si anak kecil laki-laki menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat. Dia naik ke kereta api pengantar warna pelangi. Kereta api pengantar mulai bergerak meninggalkan tempat dan akhirnya menghilang dari pandangan mata.

Hujan gerimis pun berhenti. Muncul pelangi di cakrawala yang mulai cerah. Ketiga malaikat dan pasangan masing-masing terlihat memandangi langit siang dengan sebentuk pelangi yang menghiasinya.

"Apa sih yang mereka lihat? Langit tampak gelap dan sama sekali tidak ada apa-apanya!" gerutu Calista yang masih berdiam di dalam apartemen Qomar Shia Putra yang menjadi tempat kematiannya.

"Iya… Tidak ada apa-apa di langit. Langit masih gelap dan awan kelabu masih berarak. Ada-ada saja…" celetuk Irene Ivy di belakangnya.

Sejurus kemudian, pihak kepolisian, rumah sakit, dan Labkrim mulai berdatangan. Ketiga malaikat dan pasangan masing-masing meninggalkan lokasi apartemen. Terjadilah kehebohan besar di antara seluruh penghuni apartemen tersebut.

***

Tanah Deli, awal September 1932

Siang ini, Belinda membantu Valencia dengan murid-murid lesnya di rumah Jacky Fernandi. Tampak juga Boy Eddy yang sedang berkonsentrasi pada cerita terbarunya yang akan segera diterbitkannya di koran edisi yang esok paginya. Selain itu, dia masih harus menyelesaikan beberapa artikel mengenai situasi terkini dan apa-apa saja yang terjadi di Tanah Deli selama dua tiga hari belakangan. Tampak juga Ivana Pangdani yang membantu sang suami menangani beberapa murid lesnya yang berusia antara sembilan sampai dua belas tahun.

"Nah… Sehabis pertanyaan, biasanya kita harus memakai tanda tanya ya…" terdengar cara mengajar Jacky Fernandi dan sang istri yang lemah lembut dan penuh kesabaran.

"Nah… Bahasa Inggris dari keledai adalah apa…?" suara sang istri juga tidak kalah lembutnya dari sang suami. "Donkey… Ya, benar sekali… Arfandy pintar sekali… Alfian sudah siap menulis huruf P- nya…? Kalau siap, kasih ke Kak Ivana sebentar untuk diperiksa ya…"

"Baik, Kak Ivana…" jawab si Alfian sembari meneruskan tulisannya lagi.

"Nah, tulisan tegak bersambungnya sudah tepat. 'Ani membawa teh, kopi dan gula ke ruang tamu.' Pintar sekali si Rismah ya… Nanti Abang Jacky belikan cokelat ya…" terdengar nada suara dan cara mengajar Jacky Fernandi yang sabar dan lemah lembut.

"Aku suka cokelat cap ayam jago itu, Bang Jacky…" sahut si Rismah kegirangan.

"Ya… Rismah selesaikan dulu PR menulisnya. Jika tulisan Rismah rapi dan cantik, Abang Jacky akan kasih cokelatnya. Oke ya…?" celetuk Jacky Fernandi dengan sebersit senyuman menawan.

Mendadak, Melva Cendana muncul di rumah Jacky Fernandi siang itu. Tampak dia membawa rantangan berisi makan siang. Valencia memberi isyarat kepada Belinda untuk melihat siapa yang datang. Belinda meninggalkan murid-muridnya sebentar dan segera bergegas ke ruang tamu di bagian depan rumah untuk menemui Melva Cendana.

"Sorry mengganggu Kak Belinda," kata Melva dengan sebersit senyuman menawan dan kemudian ia menyerahkan rantangannya kepada Belinda. Belinda tampak sedikit bingung dan dilematis antara mau menerima rantangan itu atau tidak.

"Ini… Ini…"

"Ibu loh… Dia tahu usia kandunganmu sudah memasuki bulan pertama. Dia sendiri tidak sempat ke sini membawakan rantangan makan siangmu, Kak Belinda. Jadi, Ibu meminta tolong kepadaku untuk membawakan rantangan makan siangmu. Ibu bilang sudah mengandung begini, kau seharusnya tidak boleh terlalu capek. Kenapa masih bantu mengajar, Kak Belinda? Seharusnya kau banyak-banyak beristirahat di rumah, Kak Belinda."

"Ibu?" Belinda merasa sedikit bingung dan heran. Tadi pagi aku sudah berpesan pada Ibu siang ini aku membantu mengajar beberapa murid les Jacky dan Ivana di rumah mereka. Ibu sendiri sudah bilang dia takkan memasakkan makan siang dan berpesan padaku untuk makan makanan yang bergizi. Kok bisa sekarang Ibu jadi memasakkan makan siang dan meminta tolong kepada si Melva ini membawakan makanan ini kepadaku?

Boy Eddy yang terus memperhatikan kejadian itu dari ruangan belakang, memberi isyarat siulan kepada Jacky, Ivana dan kekasihnya sendiri. Otomatis dua pasang sejoli itu kini memperhatikan apa yang terjadi pada Belinda di ruangan bagian depan.

"Iya loh… Kata Ibu, habis makan siang ini, kau harus banyak-banyak beristirahat, Kak Belinda. Jangan terlalu lelah. Kau di sini hanya bantu-bantu kan?" celetuk Melva Cendana sembari tersenyum cerah.

"Jadi tidak enak hati aku harus merepotkanmu yang mengantarkan makan siang ini ke sini, Mel… Thanks very much ya, Mel…" kata Belinda menerima makan siang itu. Mendadak, dari ruangan bagian belakang, Valencia dan Ivana memunculkan diri di ruangan depan.

"Karena kau sudah ke sini, kenapa nggak sekalian saja makan siang bersama kami?" tanya Valencia dengan sebersit senyuman misteriusnya. Belinda sedikit keheranan mendengar tawaran Valencia kepada Melva Cendana.

"Tidak usah… Aku sudah berpesan pada para pembantu untuk memasakkan makan siangku. Nanti makanannya mubazir jika tidak ada yang makan," kata Melva Cendana menolaknya dengan halus.

"Jatah makan siangmu kan bisa kaumintai tolong pada para pembantumu untuk disimpan ke kulkas terlebih dahulu, dan nanti malam kau bisa meminta tolong pada mereka untuk memanaskannya kembali dan kau bisa jadikan menu makan siangmu ini sebagai menu makan malam. Karena kau sudah sampai di sini, sekalian saja makan siang bersama-sama dengan kami," kata Ivana, tapi dengan nada yang sedikit ketus. Seperti biasa, dia memiliki segudang argumentasi dan perdebatan rasional yang jarang bisa dipatahkan dan dibelokkan.

"Iya… Valencia dan Ivana benar, Mel… Kau bisa makan siang bersama-sama dengan kami dulu baru pulang. Kan ini sudah mau jam 12 siang juga… Tinggal memulangkan 10 murid ini dan habis itu makan siang…" senyuman cerah Belinda tampak menghiasi bibirnya.

"Oke… Baiklah…" akhirnya Melva Cendana mengangguk meski jelas tampak dia berat hati dan sedikit gelisah.

Melva Cendana mengikuti mereka bertiga ke ruangan belakang. Melva Cendana menganggukkan kepala memberi salam kepada Jacky Fernandi dan Boy Eddy. Dia tahu Kenny Herry sedang berkunjung ke Tanah Aceh dan menginap selama tiga hari tiga malam. Dia tahu jelas Kenny Herry besok pagi baru akan sampai ke Tanah Deli dan hari ini dia bisa melancarkan serangannya terhadap Belinda Yapardi. Dia sungguh tidak menyangka selain Kenny Herry, Belinda masih memiliki empat orang teman yang selalu siaga dalam melindunginya.

Tampak Ivana mengambil rantangan itu dari tangan Belinda dan langsung ke dapur. Di dapur, Ivana membuka rantangannya dan memindahkan semua lauk-pauk dan sayur-mayur ke empat piring makan. Sementara itu, Melva Cendana membantu Valencia menata meja makan dan menyiapkan segala peralatan makan. Jacky Fernandi dan Belinda kembali ke pelajaran mereka yang tinggal sedikit siang itu. Boy Eddy meneruskan ketikannya. Sesekali Boy Eddy dan Jacky Fernandi akan saling bertukar pandang dengan penuh arti.

Jam akhirnya menunjukkan pukul 12 siang. Pas sekali, ketikan Boy Eddy juga selesai. Dia merapikan kertas-kertasnya dan meninggalkan mesin tiknya sebentar. Jacky Fernandi memulangkan semua muridnya dan kemudian membantu istrinya menyiapkan makan siang di dapur. Mendadak saja, Jacky Fernandi membuka pintu belakang rumah, sehingga dua tiga ekor kucing yang ada di jalanan belakang rumah mulai mengeong keras tatkala mereka mencium aroma gulai ikan dan ikan goreng yang wangi nan menggugah selera.

Meja makan sudah siap. Ivana yang menyendok nasi untuk mereka semua. Ivana yang juga mengambil lauk-pauknya yang dia masak sendiri untuk mereka semua. Entah sengaja atau tidak, Ivana menjatuhkan satu potong kakap goreng yang dibawa oleh Melva Cendana ke lantai. Otomatis kucing yang sudah menunggu di bawah meja itu langsung menyantap potongan kakap goreng tersebut dengan lahap.

Tubuh Melva Cendana semakin bergelugut. Tampak jelas kucing itu sudah jinak, sehingga dia tetap menyantap potongan kakap goreng tersebut di bawah meja dengan santai. Mendadak saja, tubuh kucing itu mulai mengejang. Seluruh otot perut dan punggungnya berguncang hebat. Dia mulai mengeong keras lagi, sebelum akhirnya mulutnya mengeluarkan banyak sekali darah. Dua tiga menit kemudian, tampak tubuh kucing itu sudah meregang nyawa, dengan bercak-bercak darahnya di lantai. Boy Eddy, Jacky Fernandi, Valencia dan Ivana hanya bisa menatap Melva Cendana dengan pandangan mereka yang mendelik tajam. Belinda Yapardi terhenyak bukan main dan menahan napas di tempat duduknya karena ternyata kakap goreng itu beracun!

"Aku… Aku tidak tahu… Aku tidak tahu… Ibu yang memasak makan siang itu! Aku hanya membawakannya ke sini! Aku tidak tahu apa-apa!" teriak Melva Cendana bangkit dari duduknya dan mundur beberapa langkah sembari terus menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mungkin ini salah paham, Teman-teman… Mungkin ini…"

"Kau bisa menjelaskan kenapa kucing itu langsung mati begitu ia menelan potongan kakap goreng yang kaubawakan ke sini, Melva?" Valencia memandangi Melva Cendana dengan sorot mata tajam.

"Kau memasukkan racun yang mematikan ke dalam semua makanan yang kaubawakan ke sini kan?" teriak Ivana menuding Melva Cendana. "Oleh sebab itu, kau tidak ingin berada di dekat Belinda jika akhirnya ia menelan racunmu dan tewas di rumah kami. Aku dan Jacky yang akan dicurigai sebagai pembunuh Belinda, bukan kau!"

Belinda menahan napas. Dia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.

"Jika memang makanan yang kaubawa ke sini itu normal-normal saja semuanya, kenapa tadi kau bersikukuh menolak makan siang bersama-sama dengan kami?" sembur Valencia tak memberi ampun.

Boy Eddy dan Jacky Fernandi tetap menatap Melva Cendana lurus-lurus. Melva Cendana telah terjebak ke dalam permainannya sendiri. Kali ini, ia tampak seperti seorang tahanan yang menunggu vonis hakim dan hukuman mati.

"Aku… Aku takut merepotkan kalian… Aku saja tidak tahu menu-menu apa saja yang ada dalam rantangan itu. Bagaimana mungkin aku bisa menaruh racun ke dalam makanan itu dan meracuni Kak Belinda? Kak Belinda! Kau harus percaya padaku! Kau harus percaya padaku! Aku hanya membawa makanan itu ke sini sesuai dengan yang dipesankan oleh Ibu! Aku tidak tahu apa-apa saja yang ada dalam rantangan itu!"

Belinda terdiam dan memandangi Melva Cendana dengan sorot mata nanar. Dia mulai ragu apakah ia bisa 100% mempercayai istri muda suaminya ini atau tidak.

"Sudah kau sendiri yang menaruh racun ke dalam makanan itu, masih berani menuduh Bu Eugine Nerissa yang telah menaruh racun ya! Kami akan bertanya langsung pada Bu Eugine Nerissa ya! Bagaimana nanti kalau terbukti bukan Bu Eugine Nerissa yang menyuruhmu membawa makan siang itu ke sini? Bagaimana kau bisa bertanggung jawab terhadap kebohongan dan percobaan pembunuhanmu terhadap Belinda, Melva Cendana?" terdengar nada mengancam dalam suara Valencia.

"Jelas dengan adanya kucing yang mati ini dan sisa potongan kakap goreng di lantai itu, polisi dengan mudah akan menaruh kecurigaan kepadamu, Melva Cendana. Kami takkan memperpanjang masalah ini dengan syarat kau tak boleh berhubungan dengan keluarga Kenny dan Belinda lagi, dan tidak boleh menampakkan dirimu lagi di rumah besar keluarga Wangdinata. Atau kalau tidak, kami akan membuatmu menyesal karena telah berani berurusan dengan kami. Jelas kan?" hardik Boy Eddy dengan sinar matanya yang menyala-nyala.

"Oke… Tak ada yang mesti kita bicarakan lagi di sini… Pergilah dari sini! Pergi sekarang juga dari kehidupan Kenny dan Belinda! Sesampainya di Tanah Deli ini besok pagi, kami akan jelaskan pada Kenny kenapa mendadak kau minggat dari rumah. Kenny pasti akan bisa mengerti kok… Tuh, pintu belakang sudah terbuka lebar, jadi kau tidak usah susah-susah keluar dari pintu depan. Repot sekali masih harus membukakan pintu untukmu…" terdengar nada sinis dalam suara Jacky Fernandi sembari mengindikasikan pintu belakang yang memang masih dibiarkan menganga lebar.

Perlahan-lahan tubuh Melva Cendana mundur dan terus mundur sampai akhirnya ia mencapai pintu belakang. Ia akhirnya keluar dari rumah Jacky Fernandi dan mengambil langkah seribu.

"Aku tidak percaya… Aku masih tidak bisa mempercayainya bahwasanya… bahwasanya… bahwasanya Melva itu berniat meracuniku dan anakku! Dia ingin membunuh kami berdua supaya Kenny bisa memperhatikannya seorang saja, Teman-teman… Mengerikan sekali… Dia lebih mengerikan daripada monster! Dia begitu mengerikan…!"

Shocked jelas terpancar dari wajah Belinda. Valencia dan Ivana meraihnya ke dalam pelukan. Boy Eddy dan Jacky Fernandi hanya bisa menatap Belinda dengan sorot mata iba. Belinda memang gampang sekali percaya pada orang lain. Oleh sebab itulah, Kenny Herry sudah berpesan pada dua sahabatnya dan pasangan mereka masing-masing untuk senantiasa menjaga dan melindungi Belinda sampai ia kembali ke Tanah Deli. Sekarang sudah terbukti kekhawatiran Kenny Herry memang beralasan.

"Aku tidak bisa menampakkan diri lagi di rumah besar Wangdinata… Oke… Rencanaku gagal kali ini. Namun, sebelum aku meninggalkan rumah besar Wangdinata, aku juga mau kau meninggalkan rumah besar Wangdinata sekaligus meninggalkan dunia ini, Belinda Yapardi! Jika aku tidak bisa mendapatkan Kenny, wanita mana pun di dunia ini juga tidak boleh mendapatkannya! Atas dasar apa kau bersaing denganku, Belinda Yapardi! Punya kelebihan apa sih kau sehingga kau bisa memenangkan hatinya dan merebutnya dari sisiku! Aku tidak rela! Aku benar-benar tidak rela! Sebelum aku meninggalkan rumah besar Wangdinata, aku ingin kau mati dulu!"

Dari kejauhan, Melva Cendana bersenandika dengan dirinya sendiri dan terus memandangi bangunan rumah Jacky Fernandi dengan sepasang matanya yang mendelik tajam.

Melva Cendana berpaling dan terus berjalan ke depan.

***

Melva Cendana sampai di sebuah rumah bordil yang terletak di pinggiran Tanah Deli. Gadis-gadis penghibur yang ada dalam rumah bordil tersebut sedikit terkejut dan terheran-heran melihat kehadirannya. Muncullah seorang wanita yang agak senioran, kira-kira berada di pertengahan lima puluhannya, memandangi Melva Cendana dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dengan senyuman sinis, si wanita senioran bertanya pada Melva Cendana,

"Siang bolong begini, ada seorang nona besar datang ke tempatku… Mohon tanya dulu sebentar… Tempat ini hanya untuk para tuan muda dan tuan besar yang ingin mencari kesenangan surgawi. Apakah Nona Besar ke sini ingin mencari kesenangan surgawi dengan sesama jenis atau ingin menjual sejenis kesenangan surgawi?"

Melva Cendana mengeluarkan beberapa lembaran uang kertasnya. Dengan uang kertas tersebut, satu tamparan didaratkan ke wajah si wanita senioran. Si wanita senioran terhuyung-huyung mundur ke belakang.

"Ada apa dengan kau ini!" teriak si wanita senioran yang belum pulih benar dari kekagetannya. Walau begitu, dia tetap mengambil uang itu. "Mentang-mentang kau punya banyak uang, seenaknya kau memukul orang ya!"

"Jangan banyak bicara! Apakah Tuan Bruce hari ini ada datang ke sini tidak?" tampak sepasang mata Melva Cendana yang masih menyala-nyala dan mendelik tajam.

Si wanita senioran hanya merapatkan bibirnya. Melva Cendana tersenyum sinis. Dia tahu orang yang ingin dicarinya selalu mencari gadis-gadis penghibur yang ada di rumah bordil ini jika dia sedang merasa tertekan atau kesepian.

"Bruce yang mana ya?"

"Bruce Julian Tango… Aku yakin dia ada datang ke sini. Karena aku tidak bisa menemukannya di rumah dan kantornya. Dia pasti ada di sini! Bawa aku ke kamarnya sekarang juga!"

"Tapi… Tapi…" si wanita senioran tampak merasa serba salah sekarang.

"Bawa aku ke kamarnya sekarang juga! Aku punya uang untuk menamparmu tadi. Tentunya aku juga punya uang untuk menghancurkan tempat kesenangan surgawimu ini bukan? Kau mau mencobanya?" ancam Melva Cendana.

Mau tidak mau si wanita senioran mengangguk mengiyakan. Dia mengatakan kepada Melva Cendana ada di tingkat berapa dan kamar nomor berapa Bruce Julian Tango sedang bersenang-senang.

Melva Cendana mendobrak pintu kamar Bruce Julian Tango. Tiga wanita penghibur dan Bruce Julian yang dalam kondisi setengah telanjang terhenyak bukan main melihat sosok Melva Cendana yang berdiri di ambang pintu. Akan tetapi, kekagetan mereka tidaklah lama. Sejurus kemudian, senyuman sinis nan menggoda nan menjijikkan dari ketiga wanita penghibur tersebut kembali menghiasi bibir mereka.

"Aduh! Bagaimana sih ini! Masa istrimu ini bisa memergoki kita di saat kita mau start, Bruce… Mana seru lagi nih…" kata salah satu dari ketiga wanita penghibur itu.

"Aduh! Padahal aku sudah berada di puncak gairah tadi. Turun lagi deh ke kaki gunung gara-gara ada seorang tamu tak diundang muncul di sini…" jelas terdengar nada sindiran menyebalkan di sini.

"Jadi harus kita teruskan dan biarkan saja si tamu tak diundang ini menonton kenikmatan kita atau kita tunda dulu nih permainan kita, Bruce?" tanya satu wanita penghibur yang ketiga.

"Tunda saja dulu… Dia bukan istriku. Bisa jadi dia datang ke sini karena memang ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakannya denganku…" tangan Bruce naik dan mengelus-elus wajah ketiga wanita penghibur yang melayaninya sore itu. Sambil mengelus wajah mereka, Bruce terus menatap ke Melva Cendana dengan penuh arti. Terlihat Melva Cendana membuang muka ke arah lain dan tidak ingin melihat adegan di mana Bruce mengelus-elus wajah ketiga budak nafsunya itu.

Tiga wanita penghibur merapatkan kembali pakaian mereka. Mereka keluar dari kamar Bruce dan melewati tempat di mana Melva Cendana sedang berdiri. Melva Cendana menjulurkan kakinya untuk menyandung kaki ketiga wanita penghibur itu. Namun, sungguh di luar dugaannya… Wanita penghibur itu tahu apa yang sedang diperbuatnya. Dia menginjak kaki Melva Cendana dengan kuat. Melva Cendana langsung menjerit seketika bagai dicapit kepiting.

"Oh, maaf… Maaf sekali, Bu Melva… Aku tidak tahu ada kakimu di sana… Makanya lain kali kalau berdiri itu, berdiri yang benar supaya kakimu tidak terinjak orang. Simple kan?" sinisme menghiasi sudut bibir si wanita penghibur.

"Kau wanita jalang! Berani-beraninya kau mempermainkan aku ya!" tangan Melva Cendana naik dan hendak mendarat di wajah si wanita penghibur. Namun, dengan sigap si wanita penghibur menahan tangan Melva Cendana sembari tersenyum sinis ke arahnya.

"Kuakui aku memang jalang… Ya… Ya… Ya… Kau benar sekali… Tapi, lebih baik nakal terang-terangan di depan daripada munafik dan menghancurkan dari belakang bukan? Iya nggak?"

Mata Melva Cendana membesar. Si wanita penghibur menepiskan tangannya ke samping. Melva Cendana bergerak dua langkah ke samping. Si wanita penghibur dan dua temannya langsung keluar dari kamar Bruce Julian Tango.

Melva Cendana menutup pintu kamar dan menghampiri Bruce Julian Tango yang masih dalam kondisi setengah telanjang. Bruce Julian Tango meneguk alkohol yang dihidangkan di atas meja.

"Hebat kau ya… Bisa main kuartet dengan tiga wanita jalang sekaligus ya…" Melva Cendana tersenyum sinis.

"Apa kau mau mengeluarkan aku dari sini? Apa kau cemburu dengan adegan yang kausaksikan tadi?" tangan Bruce Julian hendak naik dan membelai-belai wajah Melva Cendana.

Melva Cendana menepiskan tangan Bruce Julian ke samping. "Siapa bilang aku cemburu?"

"Ya… Ya… Ya… Aku bisa main kuartet dengan tiga wanita sekaligus. Tambah kau satu lagi juga takkan menjadi masalah, Melva. Setidaknya, aku lebih hebat daripada Kenny Herry itu kalau soal urusan ranjang kan?"

"Karena dia hanya main tunggal?" senyuman sinis Melva Cendana kembali merekah. "Main tunggal sih main tunggal, tapi dia sudah punya anak, asal kau tahu saja! Belinda Yapardi itu sudah mengandung anak Kenny! Jadi, siapa yang lebih hebat di sini?"

Bruce Julian meledak dalam tawa renyahnya.

"Aku juga bisa memberimu anak jika sejak awal kau mengizinkannya. Aku bahkan bisa memberimu anak kembar." Tangan yang nakal mulai melingkar di perut dan pinggang Melva Cendana.

"Sayangnya… Aku tidak bisa mencintaimu sama seperti aku mencintai Kenny, Bruce. I'm sorry…" kata-kata Melva Cendana ini menghentikan tangan Bruce yang nakal. Emosi Bruce mulai naik dan menguasai rangkup pikirannya.

"Apa kekuranganku sampai-sampai kau begitu mendambakannya! Apa kekuranganku sampai-sampai kau begitu mengharapkannya, bahkan di saat-saat sudah ada wanita lain yang mengandung anaknya dan jelas-jelas kau tahu dia sama sekali tidak pernah menempatkanmu di satu posisi pun dalam hatinya! Sampai kapan kau baru bisa sadar bahwa aku lebih mencintaimu daripada Kenny Herry, Melva!" terdengar suara Bruce Julian Tango yang berdentum.

"Aku harus mendapatkan Kenny apa pun caranya, Bruce! Aku harus mendapatkannya… Aku harus mendapatkannya… Dia adalah temanku, sahabatku, abangku, lelaki yang sangat kucintai dan segalanya bagiku… Kami sudah dekat sejak kecil. Bahkan kedua orang tua kami sudah mengatur perjodohan kami sejak kami masih kecil. Kenapa dia bisa dijodohkan dengan wanita lain dan sangat mencintai wanita itu! Kenapa! Kenapa! Aku tidak rela! Aku tidak rela! Jika aku tidak bisa mendapatkannya, wanita mana pun di dunia ini juga tidak boleh mendapatkannya! Tidak boleh! Tidak boleh!" terdengar tangisan melolong Melva Cendana di tempat tidur di samping Bruce.

Bruce sungguh trenyuh melihat apa yang terjadi pada Melva Cendana. Semarah-marahnya dia pada Melva Cendana, dia takkan sanggup membenci wanita itu. Dia mencintai Melva Cendana dengan segenap jiwa dan raganya. Tangan kembali naik dan membelai-belai kepala dan rambut Melva Cendana dengan lemah lembut, dengan penuh cinta, dengan kasih sayang nan sejuta perhatian.

Melva Cendana sekonyong-konyong berpaling dan memandang ke Bruce Julian dengan penuh harap. "Bantu aku, Bruce… Bantu aku, Bruce… Kau harus membantuku lagi kali ini… Kau harus membantuku… Aku ingin minta tolong padamu lagi… Kau harus membantuku… Aku mohon… Aku mohon…"

"Aku sudah memberimu obat penggugur kandungan yang ditambah dengan sedikit racun itu bukan? Sudah kaumasukkan obat penggugur kandungan dan racunnya itu ke dalam makanan Belinda Yapardi?"

"Menggugurkan kandungannya saja takkan cukup bagiku. Karena suatu hari nanti, dia masih bisa hamil anak kedua, ketiga dan seterusnya. Aku ingin dia mati, Bruce… Aku ingin kau membantuku menghabisi nyawa wanita itu… Aku ingin kau membantuku kali ini… Ini adalah permintaan tolong yang terakhir dariku. Selanjutnya aku takkan mengganggu dan mengusik hidupmu lagi, Bruce. Bisakah…? Bisakah…? Aku mohon… Aku mohon…"

"Belinda Yapardi selalu ada di rumahnya kan? Bagaimana aku bisa membunuhnya? Si Kenny Herry itu bisa memergoki perbuatanku setiap saat dan aku bisa kena hajar habis-habisan olehnya. Apalagi dia itu kaya, banyak pengawalnya dan banyak kenalan advokat di mana-mana. Aku bisa dijebloskan ke penjara dengan usaha percobaan pembunuhan terhadap istrinya jika aku gagal dalam rencanaku nanti…"

"Kenny tidak ada di Tanah Deli, Bruce… Dia besok pagi baru akan sampai di Tanah Deli ini. Malam ini Belinda Yapardi sendirian di rumah besar itu. Kau harus membantuku membunuhnya. Takkan ada yang tahu… Oke kan…? Oke kan…? Aku mohon… Aku mohon, Bruce…"

Pepatah zaman dulu mengatakan, sang pahlawan susah melewati rintangan wanita cantik. Itulah dia… Mau tidak mau Bruce mengangguk mengiyakan. Memang sejak dulu dia tidak pernah bisa menolak segala permintaan dan permohonan Melva Cendana.

Senyuman kepuasan mulai merekah di bibir Melva Cendana. Dia tidak sadar telah tersenyum di depan Bruce Julian Tango dan kemudian menenggelamkan diri ke dalam pelukan lelaki itu.

"Aku akan mengingat jasa dan bantuanmu ini sampai seumur hidupku, Bruce… Aku akan mengingatnya selalu…"

Bruce Julian Tango sedikit tertegun. Tangannya naik lagi membalas pelukan Melva Cendana. Tangan mulai bergerak mengelus-elus dan membelai-belai kepala Melva Cendana.


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C18
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login