Baixar aplicativo
75% Blue Diamond Ring / Chapter 33: Suara Itu

Capítulo 33: Suara Itu

Airin berhenti, dan kami semua berhenti.

"Airin.. Tolong jalanlah, jangan berhenti!", pintaku.. Sedikit panik. Aku sangat hapal suara itu... Dan aku ga mau bertemu dengan pemilik suara itu..

"Apa?", Airin menoleh ke arahku, tapi masih berhenti.

"jalanlah Airin..", aku coba memperjelas

"Dokte.. Vivi? Ka..mu.. Vivi... Ww..what's going on with you? Y..your hair?", dan terlambat.. Lelaki itu sudah melihatku, aishhhh... Aku ga mau dia melihatku dengan kondisi seperti ini.. Sangat memalukan.. Hatiku sekarang semakin ga jelas.. Penampilan terburukku didepannya sejak dia mengenalku!!! Duh, bagaimana ini....

"kalian..." , Airin tidak menyelesaikan perkataannya.

"permisi! Hey, jangan berhenti, cepat jalan! Airin, ayo jalan!", Rangga menyuruh perawat didepanku jalan kembali..

"b..baik pak!"

"tunggu! Ada apa dengan tanganmu, kenapa penuh pecahan beling dan luka?", dia memegang tangan Rangga.

"bukan urusan kamu!", rangga menarik tangannya dari lelaki itu.

"aku ga akan biarkan kamu lewat! Jelaskan padaku, ada apa ini?", lelaki itu sama ngototnya dengan Rangga.. Owh.. Aku harus bagaimana ini.. Emosi Rangga juga belum stabil.

"Dia istriku, kamu ga ada hak untuk ikut campur! Minggir!"

"Tuan Rangga, ada yang bisa kami bantu?", enam bodyguard yang selalu berjaga dipintu ruang perawatanku meghampiri kami.. Owh apa yang harus kulakukan?

Kak Doni menatap para bodyguard itu.

"aku tak akan membiarkan kalian lewat! Jelaskan padaku!", kemudian kembali menatap Rangga. Masih sama ngototnya. Membuatku semakin panik..

"hey, kalian berdua, sudahlah! Pak Doni, saya harus mengantar ibu Vina ke ruangannya, saya akan menemui Anda di Ruang perawatan anak Anda, setelah ini. mohon jangan mempersulit!", pinta Airin mencoba melerai adiknya dan lelaki itu.. Supaya tidak ribut dirumah sakit.. Ya.. Namanya kak doni.. Dan Airin memanggiknya, seperti itu..

"ga bisa! Kali ini ga bisa! Jelaskan apa yang terjadi padaku!!", kak doni tetap memaksa dan menyanggah Airin.

"aku bilang pergi!!", tangan rangga sudah ada dikerah baju kak doni

"rangga, apa yang kau lakukan, lepaskan!", sekarang giliran Airin yang mulai panik

"kak doni!!! ka... chaebar.. kaseyo (pergi, aku mohon... Pergilah)!!!", aku coba berbicara sekarang.. Karena dia dan rangga, sepertinya sama-sama ga ada yang mau ngalah.. Aku harus mengatakan sesuatu..

"nan anka!!! (aku ga akan pergi)", dia menatapku, sama seperti aku yang menatapnya.

"marhae.. musun iriya??? (beritahu aku ada apa ini?)", tanyanya lagi.

"geunyang ka.. chaebar!!! (pergilah, aku mohon!)"

"naega ottohke kal suisso? nae maeumun.. no mu appa! irohke nor bomyeon, kasumi nomu appa!!! (bagaimana aku bisa pergi? Hatiku.. Hatiku sangat sakit! Melihatmu seperti ini hatiku sangat sakit)", kata-katanya, tatapannya.. Membuatku menangis saat ini.

"heh, daebak!!!!(wow)", aku tersenyum sinis.. "naneun ottohke???? chon nyon nae maeumi nomu appa! non oddie oddieissoyo? geu go arrasso? singyong sunassoyo? marhae!!!! (aku bagaimana? Sepuluh tahun hatiku terluka.. Kamu dimana? Apa kau tahu? Apa kau peduli? Katakan!!)", tanya ku padanya.. Dia tidak menjawab, hanya menaruh kedua tangannya diwajahnya dan menarik kedua tangannya ke arah belakang rambutnya. Ta..tapi.. Cincin .. Ya, cincin dijari manis tangan kirinya.. Adalah cincin pertunangan kami.. Dia.. Dia masih memakainya???? Tak ada cincin di tangan kanannya? A..ada apa ini? Hatiku berdegup kencang.. Aku ga bisa lagi melihatnya.. Pikiranku sangat kacau saat ini, dan aku mulai menangis..

"vivi.. nan...",

"ka.... ", belum sempat kak doni melanjutkan kata-katanya, aku berteriak kali ini...

"Airin, aku mohon bawa aku pergi.. Aku mohon...", aku sudah menangis..

Airin tahu apa yang harus dilakukan, dia menyuruh perawat didepanku untuk jalan, dan meninggalkan kak doni yang masih berdiri disana, tapi sudah ga mengejar kami lagi. Airin membawa kami masuk ke ruang perawatanku yang baru. Aku yakin kak doni melihat aku dibawa keruangan ini.. Tapi untuk sekarang aku ga ada pilihan.. Lebih baik menjauh darinya dengan dinding pemisah ini.

"Rangga, tolong geser kasur itu!", pinta Airin

Oh no.. Rangga.. Aku hampir melupakan kalau Rangga masih ada disini.. A..aku ingat, aku berbicara bahasa asing dengan kak doni, supaya rangga ga tahu apa yang aku bilang ke kak doni.. Ta..tapi.. Waktu aku menangis karena cincin itu, aku benar-benar lupa dia disana.. Hatiku sekarang cemas.. Apa Rangga tahu apa yang kukatakan? Bagaimana kalau dia tahu?? Tapi aku sudah berusaha ga pakai bahasa Inggris.. Owh... Hatiku sangat takut sekarang.. Bagaimana ini.. Aku bahkan ga berani menatap wajahnya sekarang.. Hanya berharap dia ga akan marah.. Hufff... Hatiku semakin kacau..

"tolong bawa kasur itu ke kamar sebelah, dan kamu bisa kembali ke meja jaga! Ambilkan aku perban, cairan infus, pinset, kapas, dan antiseptik!", Airin kini memberi instruksi ke perawat wanita itu, setelah Rangga memindahkan kasur.

"baik, dokter..! Permisi!"

"hmm..terima kasih!!", Airin tersenyum pada perawat itu.

"Dek, bantu aku, posisikan kasur ini ditempatnya!", Rangga berjalan kearahku, dan membantu Airin ke posisi kasur sebelumnya.

"Tolong tutup pintunya!", pinta Airin pada Rangga.

Dan tanpa mengatakan apapun, Rangga menutup pintu, lalu hendak masuk ke dalam kamar mandi.

"tunggu!! Duduklah di sofa itu! Jangan sembarangan membersihkan, nanti tanganmu infeksi!", pinta Airin yang masih membenarkan posisi infusku. Rangga menurut, dan duduk di sofa. Tanpa mengatakan apapun.

Aku juga tak berani mengatakan apapun. Bahkan aku juga ga berani menatapnya.. Hanya menunduk, dengan tangan kananku memainkan ujung selimut yang menutup tubuhku sampai ke pinggang.

Airin berjalan kearah kulkas, dan kembali duduk disebalahku, sudah membawa air mineral dalam botol enam ratus mililiter, membuka shield-nya, dan memasukkan pipet.

"Minumlah dulu, vina.. Tenangkan dirimu!", pinta Airin sembari memegang botol minum dan aku mematuhinya. Tiga teguk aku meminum air tersebut dan melepaskan pipetnya dari bibirku.

TOK TOK TOK

Klek

"Dokter Airin, ini saya taruh dimana?"

"letakkan saja disitu!", Airin menunjuk ke meja ruang tamu.

"baik dokter!", perawat itu menaruh diatas meja.

"apa ada lagi yang bisa saya bantu, dokter?", tanyanya lagi menatap Airin.

"sudah cukup, terima kasih!"

"baik, saya permisi, dokter!"

Airin mengangguk

Klek

Perawat itu keluar dan menutup pintunya.

"Vina, coba beristirahatlah, tenagkan pikiranmu.. "

"Airin.. Aku.. Mau pulang..", pintaku.

"tapi.. Kami masih harus memantaumu disini!", tegasnya.

"Aku bersedia membayar semua kebutuhanku, asal aku bisa mendapatkan perawatan dirumah, aku mohon..", kini aku hampir menangis lagi.. Aku ga bisa berada diruangan ini. Kak Doni sudah tahu aku ada dimana.. Aku.. Aku ga bisa disini.. Aku harus pergi dari rumah sakit ini!! Melihat cincin itu.. Sudah mampu membuat hatiku sangat sakit. Aku ga mau bicara ataupun bertemu lagi dengannya.

"Baiklah, tenangkan pikiranmu, asal kau tenang, aku akan mengizinkanmu pulang! Aku akan bertemu dengan Dokter Lucas, dan aku juga akan mempersiapkan terapi kelasi untukmu!", Airin mencoba menjelaskan kondisinya supaya aku bisa bekerjasama.

Aku mengangguk.

Airin lalu meraih remote tempat tidur, mengatur posisi kepalaku, hingga kemiringan hanya sekitar sepuluh derajat, menaruh remotenya kembali, membetulkan selimutku.

"beristirahatlah, Vina!", Airin tersenyum padaku, sebelum melangkah pergi menuju ke arah sofa. Ya, menemui Rangga yang masih duduk terdiam disana.

"Rangga, berikan tanganmu padaku!", aku hanya mendengar suara Airin.. Karena Airin memposisikan tempat tidurku hampir datar. Terlalu sulit untukku melihat Rangga dan Airin.. Tapi aku bersyukur juga, karena hatiku belum siap melihat Rangga setelah peristiwa tadi.

"Apa tadi yang kamu katakan padanya? Kenapa harus menggunakan bahasa yang aku ga mengerti! Kenapa kamu buat aku seperti ini???", Rangga berdiri dan aku bisa melihatnya, dia cukup tinggi dan cukup jelas untuk dilihat walau dengan posisiku seperti ini.

"Rangga, sudah! Jangan mulai lagi, aku bersihkan tanganmu dulu!"

"lepaskan, aku ha.."

"Rangga!!! Kerjaanku masih banyak, jangan mempersulit keadaanku, duduk!!!", Airin membentaknya.. Dan itu berhasil. Rangga selalu menurut setelah melihat Airin sedikit marah. Aku sudah tidak melihatnya lagi, saat ini pasti dia sudah dalam posisi duduk.

"Berikan tanganmu!", suara terakhir yang kudengar.. Tak ada percakapan lagi diantara mereka. Hanya suara pecahan beling yang ditaruh di atas piring stainless yang aku dengar. Suara plastik dibuka, hanya itu. Mereka berdua tidak bicara apapun. Apa Rangga tidak merasakan sakit? Gak ada kata aduh, aw, atau apapun yang kudengar. Ringisan menahan sakitpun tak kudengar. Padahal, dengan cubitanku Rangga selalu bilang sakit.. Tapi luka seperti itu, dia ga meringis sama sekali.

Tapi, biarlah.. Itu justru membuat Aku sedikit lega, dengan kondisi sunyi diruangan ini. Aku bisa sedikit mengistirahatkan badanku dan pikiranku. Tapi, hatiku belum baik. Rasanya masih sesak sekali. Seperti teriris pisau dan perih. Pikiranku masih pada cincin di jari manis tangan kiri kak doni. Mengapa dia masih memakainya? Apa dia masih menyimpan memori tentang kami? Apa selama ini kami saling tersakiti dengan perpisahan ini? Tapi mengapa dia tidak mencariku dan membiarkan kami sama-sama terluka? Kenapa setelah sepuluh tahun, dia baru kembali dan berusaha menjelaskan semuanya? Kemana saja dia selama ini? Apa alasannya menyakitiku dan menyakiti dirinya sendiri? Apa.. Dia masih mencintaiku?

Huffff... Kata cinta membuat hatiku makin sakit sekarang. Air mataku mengalir dari sudut mataku, walaupun hanya mengalir, tanpa ada suara tangisanku. Aku mencoba menahannya untuk keluar, tapi terlalu sulit. Karena hatiku terlalu sakit.. Aku hanya berusaha membiarkan air mata ini jatuh, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Aku ga mau membuat Rangga dan Airin melihatku menangis meraung-raung setelah melihat cincin itu.

Aku.. Ingin tetap menyembunyikan rahasia ini.. Ya, maafkan aku Rangga.. Aku ga akan jujur untuk yang satu ini. Aku ingin menyimpannya sendiri. Karena untuk kenangan ini, aku belum tahu apa yang harus kuperbuat. Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku.. Kenapa cincin itu masih disana? Vido.. Kenapa kak doni menamai anak itu vido? Dan kenapa dia masih berusaha menyimpan kenangan kami.. Martabak bang saleh? Ada apa ini semua?

Aku ingin tahu semuanya.. Aku ingin kejelasan.. Tapi mungkin nanti, suatu saat, ketika hatiku sudah siap. Dan kata-kata kak Doni sudah ga akan meluluhkan perasaanku pada Rangga. Karena.. Rangga sudah memberikanku cincin yang mengikatku dengannya untuk seumur hidup lebih dulu. Aku ga akan pernah mengkhianatinya. Apapun yang terjadi, sebesar apapun cintaku pada kak Doni dulu.. Tak akan pernah membuatku rela meninggalkan Rangga

Rangga dan aku sudah terikat janji suci, dan aku akan berusaha menjaganya.. Sampai maut memisahkan kami..

Hufff... Kutarik napasku dalam-dalam, dan kuhembuskan perlahan. Pikiranku sudah sedikit lebih tenang setelah memikirkan pernikahan kami.. Pernikahanku dengan Rangga..

"sudah selesai!!", Airin berdiri dan membuka kamar mandi, ada suara air didalam, tak berapa lama Airin keluar kembali."

"Aku harus pergi sekarang, anak itu membutuhkanku, ayahnya tadi mencariku,, aku permisi!"

"tunggu!!", aku berteriak ke Airin.

"Ada apa Vina?"

"Anak... Vi.. Vido?", tanyaku. aku cukup pintar untuk menebak siapa pasien yang Airin maksud. tentu saja, bapak pasien itu adalah kak doni dan anak itu, vido.. anak yang membantuku merapihkan semua file yang berhamburan di lobby apartemen.

"ehm.. Iya.. Kau mengenalnya?"

"di..a sakit?", aku tak menjawab pertanyaan Airin. Dan justru memberikan pertanyaan balik.

"thallasemia! Dia pasien dokter Andreas, aku menggantikan karena beliau sedang diluar kota. Kita bicara lagi nanti, aku permisi!"

Klek

Airin keluar dari ruang perawatanku, tapi meninggalkan kekhawatiran dihatiku. Anak itu.. Anak yang pintar dengan mata yang sangat teduh.. Dia.. Sakit separah itu????

(satu jam kemudian)

Yah, sudah satu jam.. Aku sibuk dengan semua spekulasi dalam otakku. Banyak sekali yang kupikirikan, berbagai prasangka.. Dan.. Hatiku menjadi semakin ga karuan.. Lebih kearah gelisah... Atau apalah, aku ga paham apa yang aku rasakan.

Rangga.. Masih diam disana, ditempat Airin mengobati lukanya.sedangkan aku.. masih diam ditempat tidurku. Satu jam kami tidak saling bicara.

Jam dinding tepat di tembok seberang tempat tidurku, menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh menit. Airin keluar dari ruangan ini pukul sembilan lewat dua puluh menit. Sudah satu jam kami saling diam. Bahkan aku bisa mendengar suara detik jam didinding. Kamar ini hening. Tak ada suara apapun.

Rangga tidak mencoba untuk mendekatiku dan berbicara. Hah... Kenapa begini.. Padahal tadi pagi semua begitu manis.. Kenapa aku membahas masalah source minning company?? Kini aku menyesalinya.. Tapi apa yang terjadi padaku kalau kami tak membahas itu? Aku cukup ngeri kalau yang dikatakan Rangga itu benar. Apa racun itu berbahaya?

"Bicaralah.. Jangan kamu diamkan aku seperti ini!", suara Rangga.. Memecah kesunyian ruangan ini..

Akhirnya Rangga bicara.. Tapi.. Kenapa aku justru merasa sesak didadaku? Tak ada kata yang keluar dari bibirku.. Justru aku menangis!! Ada apa dengan diriku?? Apa ada yang salah dengan operasiku? Atau sarafku tergeser? Kenapa aku ga bisa jawab dan malahan menangis????

Rangga berjalan cepat ke arahku, saat mendengar tangisanku. Menopang kepalaku dengan tangan kirinya dan menyangga pinggangku dengan tangan kanannya. Membangunkan posisiku menjadi posisi duduk dan memelukku.

"Berhentilah menangis.. Bicaralah kepadaku.. Katakan semuanya yang ingin kamu katakan.. Tolonglah, perasaanku saat ini cukup tersiksa!"


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C33
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login