Setelah puas melihat-lihat postingan Randi dengan Eka yang semakin hari terlihat semakin romastis, aku kemudian menutup ponselku. Aku merasa hari ini sangat lelah. Apa lagi ketika tadi aku bertemu dengan cowok yang super duper nyebelin di kampus.
*****
Tidak terasa, kini aku sudah memasuki semstee 2. Di semester 2 kali ini, persaingan masih sangat terlihat. Kecantikan, ketampanan, kecerdasan, bahkan kekayaan juga di perlihatkan di kampus ini. Apa lagi dengan kampusku yang kebanyakan adalah isinya orang-orang berada. Namun aku tetap santai saja, yang penting aku menjadi mahasiswi yang baik dan lulus tepat waktu juga sudah membuatku merasa puas dan senang.
Hiruk pikuk kegiatan di kampusku kali ini berbeda. Suara kumat kamit kini terdengar di sana sini. Yap, kali ini UAS untuk kesekian kalinya dalam perkuliahan akan kami hadapi.
Tegang. Begitulah suasana kelas ketika sedang melangsungkan sebuah ujian. Mahasiswa duduk di kursi sesuai keinginannya masing-masing. Tidak heran jika kursi yang berada di dekat dosen tidak ada yang mau menempatinya. Semuanya saling dorong-dorongan untuk mendapatkan kursi yang paling pojok dan paling belakang.
Namun berbeda dengan aku. Aku duduk di kursi depan dosen. Sangat dekat jarak antara aku dan dosen. Aku sengaja memilih kursi tersebut karena aku termasuk tipe mahasiswi yang alhamdulillah jujur. Aku tidak pernah menyontek dan jarang sekali untuk memberikan contekan kepada temanku.
Dari awal ujian berlangsung suasana sangat hening sekali. Tidak ada suara lain selain suara hembusan nafas yang saling bersautan antara mahasiswa satu dengan yang lainnya dan suara hembusan AC yang berada di dalam ruangan kelas. Sampai pada akhirnya ujian pun telah berakhir.
"Si Kia mah pelit banget, ga bagi-bagi jawaban," ucap salah satu mahasiswa yang membicarakan aku.
"Sorry bro. Depan gua tadi dosen, jadi gua ga bisa kasih jawaban segampang itu."
Memang terkadang apa yang menurut kita baik tetapi justru di anggap tidak baik oleh orang lain. Begitu pun sebaliknya. Seperti halnya perbuatanku yang satu ini. Aku menganggap perbuatanku yang tidak memberikan jawaban ke orang lain itu adalah suatu perbuatan yang baik. Karena aku juga sendirinya tidak mencotek, tetapi anggapan orang lain berbeda. Mereka menganggap bahwa perbuatan aku tersebut adalah perbuatan yang tidak baik, tidak solid dengan sesama teman, dan yang lainnya.
"Ki, Ki, liat deh di mading, ada nama lu," ucap Rina kepadaku.
"Wah iya, alhamdulillah."
Ternyata lagi-lagi aku masuk ke 3 besar mahasiswi dengan nilai terbaik di jurusanku. Aku memang sudah melaksanakan UAS 5 hari terakhir ini, dan tadi adalah ujian terakhirku. Sehingga ujian-ujian lainnya yang kemarin beberapa sudah ada yang bisa kami lihat hasilnya.
"Kan kita udah mau semester 3 nih, udah boleh ikutan BEM dong?" Tanya Rina kepadaku.
BEM itu adalah singkatan dari Badan Eksekutif Mahasiswa. Suatu organisasi yang pasti ada di dalam perkuliahan. Atau bisa di bilang BEM itu adalah pegganti dari sebuah organisasi yang bernama OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yang berada di sekolah. Biasanya terdapat di sekolah menengah pertama atau sekolah menengan atas.Namun BEM ini lebih luas ketimbang OSIS. Biasanya anggota BEM itu memiliki relasi yang banyak dengan kampus lain, sehingga suatu saat nanti apabila kita sudah lulus kuliah dan ingin bekerja, biasanya akan lebih mudah mendapatkannya. Di perkuliahan lain juga terkadang memiliki nama yang berbeda. Misalnya HIMA (Himpunan Mahasiswa). Organisasi tersebut sama seperti BEM, tetapi hanya saja beda penamaannya.
"Boleh."
"Yaudah daftar yuk."
"Belum buka kali."
"Tapi lu ikutan daftar ga?"
"Iya ikut."
Manusia semester 3 itu perpaduan antara songong dan penakut. Songong karena sudah memiliki banyak ade tingkat, tetapi takut jika bertemu dengan kakak kelas. Namun di semester 3 kali ini menurutku aku harus memiliki banyak strategi. Karena banyak beberapa dari kami yang memutuskan untuk pindah haluan (jurusan) lain. Padahal mereka sudah merasakan manis pahitnya dunia perkuliahan bersama-sama.
Di semstee 3 juga adalah penentuan untuk mendapatkan beasiswa bagi mahasiswa atau mahasiswi berprestasi di kampus. Bagi mereka yang memiliki IPK minimal 2.7 sudah bisa mendapatkan beasiswa full sampai lulus nanti. Aku tidak akan melewatkan kesempatkan kali ini. Di dalam dunia perkuliahan juga katanya bukan hanya di tentukan kepintaran dalam prestasi akademik saja, tetapi juga dalam prestasi di organisasi. Sehingga aku memutuskan untuk ikut daftar menjadi anggota BEM nantinya.
*****
"Assalamualaikum. Ibu... Aku dapat beasiswa full." Teriakku sepulang dari kampus. Pengumuman hasil ipk dan beasiswa untuk mahasiswa atu mahasiswi sudah di umumkan.
"Waalaikumsallam. Alhamdulillah. Ipknya berapa nak?"
"Ipk aku 3.8 Bu..."
"Wahh, tinggi sekali. Ibu bangga sama kamu nak."
"Ayah juga bangga nak sama kamu. Kamu mau hadiah apa?"
"Ga usah Yah. Cukup doain aku aja supaya aku bisa konsisten mendapatkan ipk tinggi seperti ini dan bisa lulus dengan cara comlout."
"Aamiin, pasti itumah nak."
"Makasih ya Bu, Yah."
"Iya nak, sama-sama."
Ibu dan Ayahku langsung memelukku dan menciumi kening dan pipiku. Melihat mereka bangga dan bahagia karena usahaku adalah hal yang paling aku syukuri. Aku bersyukur masih bisa membuat mereka berdua bangga karena aku. Aku bersyukur masih bisa mendapatkan kesempatan seperti ini. Aku tidak tahu lagi jika tidak ada mereka. Apakah aku akan sesemangat ini untuk menciptakan berbagai prestasi, atau aku akan menjadi anak yang pemurung.
*****
"Kia... Bangun nak... Katanya ada tes BEM pagi ini."
"Oh iyaaa... Aku lupa Bu, astagaa."
Aku segera bangun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi saja. Karena kalau aku mandi, pasti aku akan telat sampai kampus. Aku tidak akan melewatkan tes menjadi anggota BEM kali ini.
"Ayah antar aja ya?"
"Emang Ayah ga ke sekolah?"
"Hari Sabtu mah santai nak."
"Yaudah kalo ga ngerepotin mah ayo Yah, hehe."
"Engga dong, masa buat anak Ayah ngerasa repot. Yaudah langsung berangkat yu, nanti kamu telat lagi."
"Iya Yah, ayo. Aku pergi dulu ya Bu, assalamualaikum."
"Iya, hati-hati ya. Waalaikumsallam."
Akhirnya aku pergi menggunakan sepeda motor di antar oleh Ayahku sampai di depan gerbang kampusku.
"Doain ya Yah supaya aku lolos jadi anggota BEM."
"Pasti anak Ayah mah lolos dong."
"Yaudah, aku masuk dulu ya Yah. Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam."
Setelah aku memberikan salam dan mencium tangan kanan Ayah sebagai bentuk hormat seorang anak kepada orangtuanya, kemudian Ayahku langsung pergi meninggalkan kampusku. Ayahku langsung berangkat ke sekolah, karena Ayahku adalah kepala Yayasan di sekolah tersebut.
"Rina."
"Eh Ki, gua kira lu telat."
"Iya, hampir. Tadi gua di antar Ayah gua."
"Oh gitu. Yaudah yu, bentar lagi di mulai tesnya."
"Oh, yaudah yu."
Aku dan Rina segera pergi ke aula kampus. Pelaksanaan tes BEM akan di laksanakan di aula kampus yang berada di lantai dasar belakang kampus.
"Eh ngapain lu di sini?"
"Loh, lu yang ngapain di sini cowok songong."
"Dia itu anggota BEM juga. Dan sekarang pelaksanaan tes di pimpin sama dia." Jelas seorang lelaki yang berada di samping cowok songong itu. Sepertinya dia adalah temannya.
"Ohh, cowok songong kaya lu ikutan BEM? Ga pentes banget. Yang ada bikin image BEM jadi jelek aja."
"Udah udah Ki, sabar. Kelolosan kita ada di tangan dia loh sekarang," ucap Rina kepadaku.
"Bodo amat. Kalau pun gua ga lolos juga ga apa-apa. Daripada gua harus satu organisasi sama cowok yang songong kaya dia."
Cowok tersebut langsung pergi begitu saja melawati kami berdua.
"Tuh kan songong."
Acara pelaksanaan tes menjadi anggota BEM akan segera di mulai. Seluruh calon anggota BEM duduk dengan tertib di kursi yang sudah di sediakan. Sambutan demi sambutan di sampaikan. Mulai dari rektor, dekan, dosen, ketua dan wakil ketua BEM. Ternyata cowok songong itu adalah panita pelaksanaan tes anggota BEM ubtuk angkatan tahun ini.
Aku ternyata akan di tes oleh cowok songong itu. Yang ternyata dia memiliki nama juga. Namanya Aldo.
"Kok gua banyak banget tesnya? Beda sama yang lain?"
"Karena lu itu punya masalah sama gua."
"Loh, apa hubungannya? Sekarang lu menyalah gunakan jabatan lu gitu? Gua bisa aduin lu ke ketua BEM ya."
"Silahkan kalau berani."
"Berani. Ke Pak rektor langsung juga gua berani."
Belum sampai aku menghampiri ketua BEM yang berada di depan aula, kak Aldo memberhentikan langkahku dengan menarik tanganku.
-TBC-