Baixar aplicativo
4.33% Revenge Of The Black Hare / Chapter 12: Just Trust Me!!

Capítulo 12: Just Trust Me!!

Suara raungan, geraman, rintihan, dan lolongan bercampur menjadi satu. Suara kegaduhan itu membuatnya tersadar dari mimpi panjangnya. Ia membuka matanya yang terasa sangat berat. Dua buah daun yang besar menutupi seluruh tubuh kecuali kepala. Anggota tangannya tak bisa digerakkan. Sekali digerakkan rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Lalu ia menoleh ke kiri, ke arah sumber suara.

Sepertinya ia sudah melewatkan suatu pertunjukkan. Segerombolan serigala pergi terbirit-birit meninggalkan gadis berbando telinga kelinci yang sedang membelakanginya. Noda-noda darah berhamburan di beberapa batang pohon dan membentuk genangan-genangan kecil di tanah.

Gadis itu berbalik badan ke arahnya sambil memegang bangkai rusa yang kepalanya hampir putus karena gigitan. "Hei, ternyata kau sudah bangun!" sahutnya senang. "Kenapa?" Ia heran karena Thomas menutup rapat-rapat matanya.

"Jangan tunjukkan mulutmu lagi, Lizzie," katanya.

Lizzie tersenyum singkat sambil menaikkan kembali kain penutup wajahnya. "Sudah." Lalu ia menghampiri.

"Untuk apa bangkai rusa itu?" tanya Thomas sambil memposisilan kepalanya menghadap ke arah langit jingga.

Lizzie masih berdiri di hadapan Thomas yang masih tiduran. "Buka mulutmu," perintahnya.

"Untuk apa?"

Ia tidak menjawab. Kedua tangannya sibuk membuka sobekan leher di rusa itu dan meletakkannya tepat di atas wajah Thomas. Saat darah itu mulai menetes deras, ia segera menghindar dengan berguling. Melawan rasa sakitnya daripada wajahnya ternodai dengan darah itu. Ia hanya bisa sekali berguling. Membuatnya dalam keadaan tengkurap.

"Kau gila!" geram Thomas sambil menahan rasa sakit akibat benturan di tangannya.

"Jangan membuang-buang makananmu!" tegur Lizzie. Lalu ia menurunkan kain penutup wajahnya, menampung tetesan darah itu ditangannya dan meminumnya. Thomas menatapnya ngeri.

"Aku masih normal!" ketusnya.

Setelah darah berhenti mengalir, ia menaruh bangkai itu di tanah dan membersihkan mulutnya yang kemerahan juga menaikkan kembali kain penutup wajahnya. "Sampai kapan kau tiduran terus?" katanya sambil berkacak pinggang.

Ia menutup mata. "Sampai malaikat kebaikan cantik mengobati tanganku supaya bisa beraktifitas kembali," gumamnya asal.

Lizzie memiringkan kepala. Pertamanya ia tidak mengerti. Dan baru mengerti saat ia membaca pikiran Thomas yang masih terpejam matanya membayangkan sesuatu itu. Ia mendesah sambil memakai sarung tangan kirinya. "Kau tahu..." Lalu ia menghampirinya dan menyingkirkan daun yang masih menyelimutinya. Kedua tangannya memegang pinggang Thomas lalu mengangkatnya dengan mudah seperti boneka.

"Li-Lizzie!" Thomas hanya bisa menggerakkan kakinya yang melayang karena diangkat terlalu tinggi.

Ia pun segera menurunkannya dan memaksanya duduk bersandar di sebuah pohon. "Aku bukanlah malaikat," gumamnya sambil menyobek lengan panjang dress-nya. Dan saat ini, kedua lengan pakaian itu sudah hampir terlihat sama panjangnya. Lalu ia ikatkan kain itu ke tangan kiri Thomas. Dan juga melepas pita hiasan pakaiannya untuk mengikat lengan bawah kanannya. Lizzie tidak mempedulikan rasa sakit luar biasa yang dirasakan Thomas selama pengobatan.

"Aku hanyalah bagian dari dirimu, yang mempunyai tujuan sama denganmu," katanya setelah ia selesai mengobati. "Aku bisa membaca pikiranmu. Aku memang buruk rupa, tapi setidaknya aku sudah melindungimu saat kau tak sadarkan diri selama... Entahlah, mungkin cukup lama. Dari segerombol serigala, elang, dan ular," jelasnya.

Kali ini Thomas merasa bersalah mendengar suara murung itu. "Maaf," ucapnya pelan sambil memandangi hal lain selain Lizzie. Lalu ia baru teringat sesuatu yang cukup mengganjal. "Aku pingsan dengan waktu yang lama?" katanya tak percaya.

Lizzie mengangguk. "Bisa dibilang koma. 3 atau 4 bulan aku tidak tahu. Tubuh renkarnasimu lemah juga ya," ujarnya. "Tapi biarlah. Setidaknya kau sudah bangun lagi," tambahnya.

Thomas tersenyum tipis. "Terima kasih banyak," ujarnya pelan.

Gadis itu tersenyum. "Karena kau normal, akan aku siapkan makananmu," ujarnya senang dengan penekanan pada kata normal. Lalu ia berdiri, menghampiri bangkai rusa itu dan membawanya ke Thomas.

"Aku kira kau sudah mengerti dengan kata normal itu," jengkelnya. Lizzie tidak menjawab. Ia menghampiri tumpukan daun kering yang berada tak jauh di samping Thomas. "Ooh"

"Jangan komentar dulu." Lizzie terkekeh sambil menyalakan korek batang. Setelah menyala, ia lempar ke arah tumpukan daun kering. "Aku mendapatkan ini selama aku mencari air," infonya kembali sambil menunjuk ke arah ember besi di sebelah api unggun yang mulai membara. "Dan ember itu, juga aku temukan di dekat sungai." Ia benar-benar membaca pikiran Thomas.

Thomas membiarkan Lizzie fokus dengan apa yang ia masak. Ia lebih memilih berjalan ringkih mengelilingi hutan yang daunnya berguguran itu daripada bosan menunggu makanannya matang. Matanya menatap langit yang mulai berubah warna dan tak sengaja menangkap sebuah tebing terjal yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mulai mengingatnya kembali. Sudah berapa kali gadis itu menolongnya, ia tidak tahu. Setidaknya ia harus bisa melakukan sesuatu untuk membalas kebaikannya.

"Bahkan sejak kita pertama kali bertemu dan aku belum mengenalmu, kau sudah menolongku. Walau tidak secara langsung."

Kedua mata Thomas terbelalak saat ia tak sengaja mengucapkan kalimat itu. Ia mulai mengingatnya. Menemukan pecahan-pecahan memori yang sangat penting dan menyusunnya kembali.

Ia merapatkan jaket rompinya karena suhu mulai turun dan angin senja menerpanya. Lalu ia berjalan kembali ke tempat Lizzie berada.

•••

"Aku bilang, aku sudah makan, Thomas." Lizzie berusaha menahan emosinya karena Thomas berusaha membujuknya makan daging rusa yang sudah matang itu.

Akhirnya ia menyerah untuk mendorongnya makan bersama.

"Lizz, saat aku tak sadarkan diri, aku sempat bermimpi." Thomas memulai obrolan.

"Mimpi apa?"

"Mimpi yang sangat panjang." Thomas memandang lurus ke depan sambil meraba-raba potongan mimpi yang ia alami itu. "Mimpi saat Nataline dan Daryl mengadopsiku dan Kimberly. Sampai aku bertemu denganmu lalu..." ia menyipitkan matanya dan mencoba mengingat-ingat kembali.

"Lalu...?" cecar Lizzie.

"Nanti aku ceritakan lagi kalau sudah ingat," timpal Thomas sambil mengambil potongan daging yang masih tergantung di atas abu kayu itu dengan satu tangan. "Kau tahu Lizz, kau memaksa mengingatkan masa laluku saat itu. Tapi kenapa tidak semuanya?" Lalu ia melahapnya.

"Maksudmu?"

"Kau hanya memberitahuku kalau aku sudah mati oleh Nataline dan waktu sudah lama berlalu, secara sekilas. Hanya itu saja sakitnya keterlaluan! Apa saat itu kau sengaja pukul kepalaku?" tuduhnya.

Lizzie menggeleng cepat. "Jangan sembarangan! Memang itu efeknya kalau memaksa seseorang mengingat masa lalu," bantahnya. "Aku sengaja memberimu sedikit karena tidak tega melihatmu kesakitan," jelasnya. "Jadi, apa lagi yang kau tahu?"

"Mungkin setelah aku habiskan daging ini, ingatanku bisa pulih." Thomas terlihat sibuk memotong daging yang alot itu. "Eeh.. Lizz, bisa bantu aku sedikit?"

Lizzie mengambil pisau dari dalam ember dan memotong daging itu kecil-kecil sebelum ia letakkan di dalam ember. Untuk kesekian kalinya Thomas berterimakasih padanya.

"Dari mana kau dapat rusa ini? Kau bisa berburu?" Ia mengalihkan topik sambil mengambil potongan daging di dalam ember.

Ia menggeleng. "Aku hanya merebutnya dari segerombolan serigala yang sudah mendapatkan mangsanya," jawab Lizzie santai. "Dengan sedikit menakuti mereka," tambahnya. Menekankan pada kata sedikit.

Thomas mengangguk lambat. Ia tidak ingin berkomentar lebih lanjut. Lalu ia kembali bertanya. "Aku penasaran, sebenarnya kau itu makhluk apa?"

"Kan sudah aku bilang, aku ini perwujudan--"

"Bukan. Aku pikir bukan itu," sela Thomas sambil memperhatikan Lizzie dengan seksama sekaligus mengingat-ingat kembali mimpinya.

"Lalu kau pikir aku ini apa?" Lizzie memandangnya tak percaya.

"Kau sepupuku setelah aku diangkat jadi keluarga Flawnsen, kan?"

Lizzie sedikit tertegun. Ia tidak menyangka kalau Thomas akan mengetahuinya. "Banar. Lalu kenapa?" Suaranya terdengar seperti ia sudah tahu itu.

"Lalu kenapa kau berbohong padaku dengan mengatakan kalau kau ini bagian dari diriku--"

"Karena, aku tidak mau kau semakin pusing kalau aku mengaku sebagai sepupumu. Tujuanmu ke sini untuk membunuh Nataline dan memastikan adikmu baik-baik saja. Bukan membuktikan aku ini sepupumu apa bukan," jelas Lizzie.

Mulut Thomas membulat. "Ok. Itu masuk akal."

"Jangan pedulikan aku sebagai sepupumu. Aku ke sini untuk membunuh Nataline juga. Jika tujuanku tercapai, aku bisa tidur dengan tenang. Begitu juga denganmu, Thomas," tambahnya.

Pandangan Thomas menjadi sulit diartikan dan ekspresinya sulit dibaca oleh Lizzie. "Baiklah kalau itu maumu."

"Apa yang kau ingat dari mimpimu?" tanya Lizzie cepat.

Thomas menatap langit malam yang penuh dengan bintang. Visual masa lalunya mulai tampak jelas di pikirannya. Seperti film yang dipercepat dan ditampilkan di langit kelam itu. Mulai dari kedatangan mereka di kediaman orang tua angkatnya sampai kematiannya dan apa yang ia lihat sebelum ajal menjemputnya.

Banyak pertanyaan yang berkelebat di pikirannya setelah ingatan yang ia dapat, tersusun kembali walau tidak terlalu detail dan rinci.

"Aku melihatmu berenang ke arahku dan mendengar suara saat itu. Lalu gelap seketika dan keningku sedikit panas, sampai aku terbangun dan di depanku sudah ada beruang yang menyantap manusia. Jujur, aku merasa kasihan dengannya tapi..." Thomas masih menerka-nerka. Ia mengambil napas dan mencoba fokus pada apa yang harus ia tanyakan. "Apa maksud dari ucapanmu saat itu? Memanduku? Untuk apa?"

Tangan kiri Lizzie meraih potongan daging dan melahapnya sambil membuka sedikit kain penutupnya. "Daging matang ternyata enak juga."

"Lizz, kau dengar?"

"Iya, sangat jelas."

"Memanduku untuk apa?" Sekali lagi Thomas bertanya.

"Nataline masih hidup dan Kimberly masih ada bersamanya. Jadi, aku akan memandumu untuk bertemu Nataline lalu membunuhnya. Melampiaskan rasa dendammu padanya dan Kimberly pun bisa hidup bahagia," terang Lizzie dengan nada cepat. "Dan kita bisa tidur tenang untuk selama-lamanya."

Alis Thomas terangkat sebelah. "Memang kau tahu di mana Nataline sekarang?"

"Hmm... Tidak," jawabnya tanpa beban.

"Dasar kau." Thomas mencoba menahan emosinya menghadap gadis aneh di depannya ini. "Bagaimana kau bisa yakin kalau Kim masih ada bersamanya? Aku tahu Kim tidak mungkin sebodoh dan sesabar itu untuk tetap tinggal bersama Nataline."

"Tapi Kim sayang dengannya kan? Dan selalu bilang kalau dia hanya 'sakit'. Bahkan mungkin saja dia masih dibilang sakit walau sudah membunuhmu dengan keji. Padahal dia sendiri sebenarnya psikopat sejati yang gila akan harta," balas Lizzie.

"Ok. Kalau memang begitu, mungkin seharusnya aku pernah bertemu dengan arwahnya. Tapi bagaimana kalau ternyata--"

"Thomas, apa ini balasan yang aku terima setelah banyak membantumu?" sela Lizzie. Ia tidak mau mendengar lebih banyak perdebatan. Jadi ia keluarkan senjata terampuh nya.

"Bu-bukan itu." Benar saja. Senjata itu ampuh dan membuat Thomas menelan kembali sanggahan-sanggahannya. "Aku hanya memastikan kalau kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku."

Lizzie terdiam. Ia mendengar secara intens apa yang Thomas pikirkan itu, apa yang Thomas curigakan darinya. Ia heran kenapa Thomas bisa sebegitu mencurigainya, sampai ia melihat ada sebuah bayangan hitam di sebelah Thomas. Dan bayangan itu seakan sedang membisikkan sesuatu padanya.

Tangan Lizzie meraba-raba sesuatu di permukaan tanah dengan mata tetap pada bayangan itu.

"Lizz, apa yang--"

Tiba-tiba saja Lizzie melempar sebuah batu ke arah bayangan itu. Cukup membuat Thomas reflek menghindar darinya.

"Lizzie!" bentak Thomas.

"Ada sosok aneh di sampingmu. Aku tidak tahu apa, tapi dia akan menyerangmu nanti!" sanggah Lizzie. Bayangan itu menghilang seketika. "Untung saja dia sudah hilang."

Beberapa saat Thomas mengamati iris mata semerah darah itu untuk melihat kejujuran. Lalu ia menghela napas. "Baiklah, apapun itu," ia mencoba kembali ke topik, "kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku, kan?"

Lagi-lagi Lizzie terdiam dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

"Kalau kau diam, aku akan sangat curiga padamu," ancam Thomas.

"Dengan semua perlakuan selama ini aku perbuat, untuk apa aku membohongimu?" kata Lizzie tidak percaya. "Kau ingat? Kita punya tujuan yang sama. Bertemu Nataline lalu membunuhnya."

Thomas hendak membuka mulutnya dan ingin menyanggah kata 'membunuh' itu dalam ucapannya.

"Ikuti saja dan percaya padaku, Thomas." Lizzie kembali menyelanya sambil membuka sarung tangan kanannya dan menampilkan jari-jari tangan yang kering dan tajam itu.

"Kalau kau menyanggah lagi, aku tidak segan-segan untuk menyobek mulutmu."


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C12
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login