Sebuah ruko di kawasan Gading Serpong terlihat ramai. Di parkiran, terlihat dua mobil hitam berderet. Pintu masuk diapit dua buket bunga berwarna-warni. Dalam ruko tersebut terdapat satu buket bunga lagi. Pengunjung yang menghadiri acara peresmian toko kue O'Bakery tampak berlalu-lalang, sedangkan Rita sibuk mengatur dua orang karyawan barunya.
Dua orang teman Rita dari Jakarta sibuk berbincang-bincang sambil mengunyah roti yang disuguhkan. Rita bahagia bisa membuka cabang baru di Tangerang. Setelah toko rotinya sukses di Yogyakarta dan sekarang toko roti tersebut ia titipkan pada kakaknya. Kini peresmian toko rotinya, berjalan lancar. berkali-kali Rita berterimakasih pada Rendi Bisono atas segala bantuan doa dan materi yang diberikan.
Setelah segala urusannya selesai, Rita menghampiri kawan-kawannya yang penampilannya telah banyak berubah.
" Pancake yang ini enak loh," Intan, ibu muda berusia tiga puluh tahun menunjuk sebuah pancake di dalam kulkas.
Rita sontak tertawa, " kalo mau tambah boleh kok. Beli dua gratis satu."
" Wah, nanti dibungkus lima ya. Buat Bapak."
" Ah, alasan aja kamu, Tan. Bilang aja buat kamu ngemil." Celetuk Indri. Dari tadi ia cuma makan satu roti rendah lemak.
" Kamu diet ya?" Rita bertanya setelah menyadari Indri tidak kunjung mencoba roti jenis lain.
Indri mengangguk malu, " iya, Rit. Berat badan saya naik drastis beberapa bulan belakangan ini."
" Ah, kamu, Ndri. Berat badan ideal juga kamu diet." Timpal Gina. Ibu hamil yang satu itu, sejak tadi tidak henti-hentinya menjilati krim kue tart. " Eh, maaf. Bawaan orok." Ucapnya setelah menyadari semua mata mengarah padanya.
" Nggak apa kok. Kalau kurang, kamu bisa ambil lagi. Beli dua gratis satu." Kata Rita sambil tertawa.
" Oh ya, kamu mau tinggal di Jakarta lagi?" kali ini Intan yang bertanya.
" Enggak, Tan. Saya sudah sewa rumah di sekitar sini. Supaya saya nggak terlalu jauh mondar-mandir."
" Wah, padahal saya berharap banget loh, Rit. Supaya bisa kenalin Jodi ke Nara. Siapa tahu kita bisa jadi besan."
" Ah, kamu ini bisa aja. Lagian, Nara kan masih kelas sepuluh."
" Yah, namanya juga berharap. Biar aja mereka berteman dulu. Masalah hati sih, terserah mereka."
Rita tersenyum tipis. Untuk saat ini, Rita belum siap memperbolehkan Nara dekat dengan cowok manapun. Rita takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan nantinya. Meski sebenarnya Ratih tahu, jika Nara diam-diam menjalani hubungan dengan Rimbatara. Namun, setelah tahu mereka putus, Rita sengaja mengajak Nara untuk pindah.
Wanita itu yakin, di sini semuanya akan baik-baik saja. Terlebih, setelah Nara berjanji tidak akan menjalin hubungan lebih dari sekadar teman dengan siapapun sebelum lulus SMA.
***
Mading sekolah minggu ini belum diganti. Nara berdiri memandangi beberapa artikel, cerita pendek serta horoskop guntingan dari majalah dan koran. Melihat hal tersebut, ingatan Nara kembali menyelami masa SMP dulu. Di sekolahnya tidak ada mading. Tidak ada tempat untuk berkreatifitas bagi anak-anak yang memiliki hobi dan bakat menulis.
Nara nekat mencalonkan diri menjadi bagian dari OSIS. Minggu pertamanya di OSIS, ia memegang jabatan sebagai Seksi Kesehatan yang diwajibkan mengikuti ekskul PMR. Namun, jabatan itu berubah setelah Nara membuat program kerja baru yang merubah sekolahnya menjadi lebih dikenal. Ia justru menjadi Ketua seksi seni dan budaya.
Mading sekolah. Menurutnya, mading bukan hanya papan yang ditempeli tulisan-tulisan. Mading adalah salah satu alat ekspresi bagi orang-orang yang ingin mengekspresikan diri mereka lewat tulisan ataupun gambar-gambar ilustrasi.
Nara masih berdiri mengamati sekitar. Kali ini ia sadar, mengapa tidak ada yang tertarik mampir meski sebentar?
" Cuma ini aja yang mau kita tempel? Nggak ada horoskop."
Nara menoleh. Ia melihat dua orang yang membawa guntingan kertas warna-warni. Mereka berjalan ke arahnya.
" Biarin aja. Toh, mading kita juga nggak ada yang baca." Cewek berambut sepunggung yang membawa pouch menjawab acuh.
" Kata siapa? itu ada yang baca." ucap cewek satunya lagi. Dia berambut lurus sebahu dengan poni depan seperti Dalia.
Nara membalas senyum mereka ketika keduanya tersenyum untuknya.
" Kamu hebat, bisa nemuin mading ini." Kata si rambut panjang. " Kelas berapa? Kok kayak nggak pernah liat."
" Kelas sepuluh IPA II, Kak. Saya masih anak baru. " Nara menjawab.
" Oh, anak baru. Pindahan dari mana?" si rambut panjang bertanya.
" Dari Jogja," Nara menjawab sambil tersenyum.
Mereka manggut-manggut.
" Sar, ambilin kursi dong." Perintah si rambut panjang.
Cewek berambut sebahu itu mengambil kursi di gudang yang tak jauh dari tempat Nara berdiri. Tidak butuh waktu lama, cewek itu keluar membawa kursi yang kakinya keropos sebelah karena digigiti rayap.
" Loh, Sarah. Kursinya kok keropos?"
Sarah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, " hehe, nggak ada lagi. Yang lainnya udah diancurin, Din."
Dinda Garselina, begitu nama yang Nara baca di nametag cewek berambut panjang.
Dinda mengembuskan napas pasrah, lalu naik ke kursi. " Eh pegangin yang bener!"
" Sori." Sarah cengengesan.
Nara masih mengamati dan mendengar percakapan keduanya. Dalam hatinya ingin sekali bertanya, namun ia urungkan dulu sementara ketika melihat tata letak yang tidak seharusnya.
" Selesai." Kata Dinda sembari melompat turun.
Sarah mengembalikan kursi tadi pada tempat semula.
" Loh, kamu masih di sini?"
Dinda mensejajarkan berdirinya di sebelah Nara. " Kamu tertarik buat ikut ekskul mading?"
Nara berpikir sejenak, kemudian mengangguk mantap, " Kalau boleh gabung sih, aku mau."
Dinda tersenyum, " Sarah, kita punya satu anggota lagi nih!" teriaknya ketika melihat Sarah berjalan mendekat.
" Nara Nalani. Nama yang bagus." Sarah mengamati penampilan Nara dari kepala sampai kaki.
" Besok pulang sekolah kita tunggu di perpustakaan ya." Ucap Dinda. Ia melirik jam tangannya. " Lima menit lagi masuk. Nar, kita duluan ya. Besok jangan lupa."
Nara mengangguk, " siap, kak."
***
" Lia, kamu duluan aja. Aku ada rapat."
Dalia mengerutkan kening, " Rapat?"
" Eh, maksudnya aku mau ikut kumpul sama anak mading."
" Loh, sejak kapan lo ikut ekskul mading?"
" Sejak hari ini."
Dalia mengangguk pasrah atas pilihan Nara. " Kalo gitu gue duluan."
Nara membereskan buku-buku yang masih berserakan di meja. Suasana kelas perlahan-lahan hening. Hanya suara-suara di koridor yang terdengar seperti rayap.
Nara keluar kelas setelah keadaan mulai sepi. Hanya ada sekitar dua puluh orang yang tinggal di lapangan. Mereka adalah anak-anak ekskul voli.
Di ujung lapangan, ada segerombol anak pecinta alam. Mayoritas dari mereka adalah cowok, namun bukan berarti tidak ada cewek yang ikut. Nara melihat ada sekitar lima orang cewek yang sudah mengganti seragamnya dengan kaus oblong dan celana training. Mereka tampak sedang melakukan pemanasan.
Nara memasuki perpustakaan. Ia duduk di tengah ruangan. Di sana sudah ada Dinda, Sarah dan dua anggota lain. Seluruhnya perempuan.
" Maaf ya, anggota kita memang minim banget." Ucap Dinda memulai diskusi.
Nara tidak kaget dengan jumlah yang sangat sedikit. Bahkan dulu, ketika baru dibangun, peminat ekskul jurnalistik di sekolahnya hanya dua orang. Baru ketika tahun ajaran baru, ekskul yang ia ketuai memiliki banyak anggota.
" Nggak apa. Aku paham. Dulu, waktu SMP, peminat ekskul jurnalistik cuma dua orang malah."
" Dulu kamu pernah jadi anak jurnalis?" Sarah kaget.
Nara mengangguk. " Iya."
" Wah. Boleh juga." Sarah tampak antusias. " Begini teman-teman. Jadi, udah dari lama sebenernya gue pengen ungkapin ini."
" Apa?" tanya Dinda.
" Dari dulu gue pengen ngubah ekskul mading jadi ekskul jurnalistik. Supaya ruang lingkupnya lebih luas dan biar lebih menarik aja. Alasannya, tau sendiri. Ekskul mading cuama ngurusin mading yang update-nya nggak jelas.
" Karena kita males bikin pembaruan. Soalnya madingnya aja terpojok kayak gitu. Mungkin cuma di sekolah kita aja mading ada di deket gudang."
Nara mendengarkan dengan antusias. Dinda dan dua orang cewek yang dari tadi hanya menjadi pendengar juga tampak setuju dengan apa yang Sarah katakan.
" Soal ini biar gue yang bikin proposal. Semoga sebelum Pelantikan Ekskul Gabungan, Kepsek udah acc ini."
" Gue setuju." Ucap Dinda. " Gimana Veni, Citra?"
Mereka mengangguk.
Nara ikut mengangguk setuju, " kalau boleh kasih masukkan, aku mau pecah ekskul jurnalistik jadi dua divisi. Divisi Mading dan Majalah Sekolah, gimana?"
" Ide bagus!"
Jam menunjukkan pukul dua. Nara meminta izin untuk membeli air mineral terlebih dahulu. Ia mengalami dehidrasi, karena sejak pulang sekolah ia belum minum.
" Titip air mineral satu ya." Veni mengacungkan telunjuknya.
Nara mengangguk. Ia lantas keluar perpustakaan. Belum sempat memakai sepatu, Nara berjalan maju beberapa langkah melihat cowok yang memakai kaus tanpa lengan berwarna putih bergelantungan. Sebelah tangannya berpegang pada batu yang menempel di dinding. Kakinya berpijak pada batu-batu yang ditempel di dinding.
Dinding itu tingginya sekitar tiga meter. Dibuat khusus untuk latihan panjat tebing.
" Kak Gavin," lirihnya nyaris tak terdengar. Nara baru tahu jika Gavin adalah salah satu anggota ekskul Pecinta Alam yang pandai memanjat tebing.
" Kamu masih di sini?" Citra menepuk bahu Nara, membuat cewek itu menoleh. " Ngeliatin Kak Gavin? Dia kalo lagi gelantungan gitu emang keren. Tapi kalo udah lawan Kak Jan, dia ciut." Celotehnya.
Nara tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu memakai sepatunya dan pergi ke koperasi.
***