Cecil tak menyangka, sarapan pertamanya di rumah ini adalah sosis bakar. Lebih tepatnya, sosis goreng yang seperti dibakar.
"Ehm!" Rose berdehem pelan. "Aku yang menggoreng sosisnya," aku gadis itu. "Jika dimakan dengan saus yang banyak, tidak akan begitu terasa, kok. Anggap saja itu sosis bakar."
Oh, Cecil bahkan berpikir ini adalah sosis bakar.
"Atau, jika kalian tidak suka makan sosis, makan saja telurnya," ucap Rose cepat. "Troy yang menggorengnya tadi."
Cecil melihat dua orang pria selain Troy, Jun dan Ricki, yang langsung mengambil telur dan memakannya. Cecil sendiri masih ragu. Hingga dilihatnya Troy juga mengambil beberapa potong sosis dan mulai memakannya bahkan tanpa saus.
"Sejujurnya, ini …" Troy sudah akan berkomentar, tapi Rose menyela cepat,
"Kau melupakan sausnya."
Troy mendengus geli. "Kau benar," ucapnya. "Tapi, ini sudah cukup enak tanpa saus."
Cecil pikir, Rose akan senang mendengar itu. Namun, gadis itu malah berkata,
"Aku tahu rasanya gosong, jadi kau tidak perlu berbohong untuk membuatku merasa lebih baik. Itu justru membuatku semakin merasa tidak nyaman."
Troy terkekeh dan menarik piring berisi sosis ke arahnya. "Karena kau sudah menghabiskan satu bungkus sosis untuk ini, aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Aku tak tahu apa besok masih ada bahan makanan yang tersisa."
Rose mendesis kesal. "Kau tahu, kau punya kemampuan meledek yang mengesalkan," komentarnya.
Troy hanya mengangguk santai, tapi terus melahap sosis gosong itu. Cecil sungguh terkejut melihat Troy seperti ini. Apa Troy selalu seperti ini? Apa Cecil saja yang belum terbiasa? Namun, rasanya tidak.
Troy adalah orang yang mampu membunuh lawan hanya dengan satu tusukan pisau. Cecil yakin, jika orang yang membuat sosis gosong itu bukanlah Rose, pastilah orang itu sudah mati dengan nadi putus oleh pisau Troy.
***
Setelah sarapan, Troy pergi untuk mandi. Namun, tepat ketika ia keluar dari kamar mandi, ia mendengar suara barang pecah diikuti erangan kesakitan Carol. Dengan rambut yang masih basah, Troy berlari ke dapur dan menghampiri Carol yang berlutut di samping bak cuci piring. Di dekat kakinya ada pecahan gelas, sementara jari telunjuk gadis itu mengeluarkan darah, sepertinya tergores pecahan gelasnya.
"Apa yang kau lakukan?!" omel Troy sembari menghampiri Carol dan menarik gadis itu berdiri.
"Troy, maaf, aku …" Penjelasan Carol terputus, berganti pekikan kaget tatkala tubuhnya terangkat dalam gendongan Troy.
Troy membawa gadis itu pergi dari dapur, khawatir dia akan menginjak pecahan gelasnya. Troy mendudukkannya di kursi di meja makan, lalu menarik tangan Carol untuk memeriksanya.
"Jariku hanya tergores, Troy. Aku …"
Troy menatap Carol tajam. "Apa kau berencana memecahkan semua gelas dan piring di rumahku?"
Carol mengerjap, lalu mata gadis itu menyorot kesal. "Apa kau pikir aku sengaja melakukannya?!"
Troy agak terkejut karena suara Carol yang meninggi.
"Aku tahu, ini hukumanku, dan aku berusaha melakukan yang terbaik. Tanganku juga sakit, tapi kau hanya memedulikan piring dan gelasmu!" Carol merengut sebal, lalu menarik tangannya dari pegangan Troy. Gadis itu kemudian pergi ke pintu depan dan berhenti di sana.
Troy terlalu terkejut hingga tak tahu apa yang harus ia lakukan. Sampai Carol yang berhenti di pintu berbalik dan menatap Troy kesal.
"Kau akan membiarkanku pergi begitu saja?" protes gadis itu.
Menyadari itu, Troy bergegas ke ruang tamu menghampiri gadis itu dan menangkap pergelangan tangannya.
"Biar aku mengobati tanganmu," ucap Troy.
"Seharusnya dari tadi kau begitu," sungut Carol. "Bukannya malah memarahiku."
"Maaf," ucap Troy pendek. Hanya saja, tadi ia terlalu panik melihat darah di tangan Carol.
Troy mengabaikan tatapan Cecil, Ricki, dan Jun yang mengikutinya dan membawa Carol ke kamar. Troy mendudukkan Carol di tempat tidur, lalu pergi mengambil kotak obat untuk mengobati jari Carol yang berdarah.
Setelah jari Carol yang terluka tertutup plester, Troy yang masih berlutut di depan gadis itu menatap wajahnya.
"Kau tidak perlu mencuci piring lagi sekarang," ucap Troy.
Carol mengerutkan kening. "Karena aku sudah memecahkan piring dan gelasmu?"
Troy mendengus geli. "Kau terluka."
Carol menghela napas. "Aku akan lebih berhati-hati."
"Tidak. Kau tidak perlu melakukan apa pun," Troy berkeras.
"Apa kau sekesal itu karena aku memecahkan gelas?" Carol lagi-lagi emosi. "Baiklah. Sejujurnya, aku tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu sebelum ini. Membersihkan rumah, memasak, mencuci piring. Aku bahkan tadinya tak tahu caranya. Tapi, aku melakukannya untuk menebus kesalahanku padamu. Tapi, kau terus-menerus marah padaku."
"Aku tidak marah padamu."
"Tadi waktu memasak juga …"
"Tapi, aku kan, tidak melarangmu memasak. Aku hanya berkata, aku akan mengajarimu memasak."
"Lalu, ketika aku memecahkan gelas …"
"Itu karena tanganmu …"
"Ah, sudahlah!" potong Carol seraya berdiri.
Troy ikut berdiri dan mengikuti gadis itu keluar kamar. Namun, Carol ternyata pergi ke pintu.
"Kau mau ke mana?" tanya Troy panik.
"Entahlah. Aku sedang kesal, jadi aku akan mencari udara segar," ucap gadis itu tanpa berhenti atau menatap Troy.
"Kau akan membiarkannya pergi begitu saja?" Ricki berkomentar.
"Troy, kudengar tadi pagi ada orang baru masuk kampung ini," beritahu Jun.
"Apa?" Troy mengerutkan kening. "Siapa?"
Jun mengedikkan bahu.
"Dia mengaku orang tuanya ada di sini. Tapi kan, tak ada satu pun orang kita yang mengenal penduduk kampung ini. Dia menyebutkan nama salah satu penduduk sini dan nama itu ada di daftar yang kau berikan," urai Ricki. "Tapi, tetap saja, kita tidak boleh lengah, kan?"
Troy mendecak pelan, lalu pergi menyusul Carol. Di jalan depan rumah, Troy mengecek ke kanan-kiri mencari arah Carol pergi. Lalu, dilihatnya Carol berhenti beberapa rumah dari rumah Troy, menyapa salah satu penghuninya yang sudah renta yang sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya, lalu Carol mengantarkan nenek tua itu kembali masuk ke rumahnya.
Setelah itu, Carol melanjutkan langkah. Troy diam-diam mengikuti di belakangnya. Hingga kemudian, dilihatnya seorang pria yang tak dikenal Troy, berjalan dari arah depan, ke arah Carol. Gadis itu juga seketika menghentikan langkah. Troy bersembunyi di balik pohon ketika Carol tiba-tiba berbalik dan berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang lagi.
Troy menunggu hingga Carol melewatinya, lalu keluar dari balik pohon. Ketika pria asing tadi mempercepat langkah, mengikuti Carol, Troy menghadang jalannya dengan berdiri tepat di depannya. Pria itu seketika waspada ketika melihat Troy.
"Kau siapa?" tuntut Troy.
Pria asing itu tersenyum palsu. "Saya penghuni kampung ini."
"Di mana rumahmu?" tanya Troy.
"Oh, di depan sana," jawab pria itu.
Troy mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, permisi …" Orang itu hendak melewati Troy, tapi Troy menahan bahunya.
"Rumah-rumah di belakangku itu, tak ada satu pun orang yang tinggal di sana punya anak atau cucu laki-laki," ungkap Troy. "Ah, ada satu. Tapi, dia menghilang dan sebenarnya, sudah meninggal. Jadi, siapa kau?" Troy menatap tepat ke mata pria asing itu.
Sorot mata pria asing itu seketika berubah. "Apa kau yang selama ini melenyapkan orang-orangku tanpa jejak?"
Troy mendengus meledek. "Jadi, kau pemimpinnya?"
Pria asing itu menjawab dengan mendorong keras Troy ke arah pohon. Punggung Troy menabrak pohon dengan keras. Lalu, sebuah pisau terhunus ke arahnya. Pisau lagi. Sial!
***