Hari Minggu tiba. Pamela menjemput Rissa dan James pagi-pagi sekali. Mereka pergi ke gereja pada pukul tujuh pagi. James masuk ke kelas remaja yang letaknya agak jauh dari tempat ibadah umum. Sedangkan Rissa dan Pamela bergabung dengan keluarga Esther. Dan untung saja dia tidak melihat Satria.
Esther ke gereja bersama paman dan bibinya : Om Irfan, Tante Irene, dan putri mereka, Felice. Om Irfan adalah orang yang sederhana. Tubuhnya tinggi besar, kepalanya botak. Usianya sekitar empat puluh tahun lebih. Kulitnya gelap. Dia tersenyum lebar saat melihat Rissa.
"Shallom Rissa! Pamela!" sapa Om Irfan.
"Shallom Om!" Mereka berjabat tangan.
Tante Irene pun menyapa Rissa dan Pamela. "Shallom Sayang," Tante Irene mengecup pipi Rissa. Tante Irene sangat cantik. Matanya yang besar sangat indah. Rambutnya panjang dan ikal.
Esther memang sangat mirip dengan keluarga dari ayahnya. Kalau bukan karena Rissa mengetahui bahwa Tante Irene adalah adik dari ayahnya, mungkin ia bisa menyangka bahwa Tante Irene adalah ibunya.
Putri mereka, Felice, mewarisi wajah yang cantik sama seperti Tante Irene : rambut ikal dan bermata besar. Felice seumur dengan James. Dia masuk ke kelas remaja bergabung dengan James.
"Esther, kamu tidak apa-apa? Katanya kemarin kamu sakit ya?" tanya Pamela. Wajahnya tampak khawatir.
"Tenang saja, Mel. Aku sudah baikan kok," jawab Esther. Ada sedikit rona merah di pipinya. Rissa menebak kalau Esther memakai blush on untuk menyamarkan warna pucat yang sangat kentara di wajahnya.
Kemudian mereka bersama-sama naik tangga. Tempat ibadah mereka letaknya di lantai dua. Dua orang usher menyambut mereka. Sang usher menjabat tangan sambil menyapa : "Shallom!"
Udara di dalam aula sangat dingin karena AC. Ruangan aula sangat besar, sanggup menampung sekitar lebih dari dua ribu orang jemaat. Lampunya berwarna kuning terang.
Om Irfan memilih kursi di baris tengah. Rissa duduk di sebelah Esther, di ujung sebelah kiri yang dekat dengan akses keluar.
Lima menit kemudian ibadah pun dimulai dengan sangat hikmat. Sang Worship Leader membawakan lagu penyembahan dengan irama yang lembut. Kemudian mereka berdoa.
Rissa tahu kalau ia telah berdosa karena ia tidak bisa segera fokus untuk berdoa. Pikirannya terus saja melayang ke sang malaikat. Ia tidak bisa melupakan senyuman pria yang telah mengubah kehidupannya yang membosankan menjadi lebih cerah dan berwarna.
Ibadah berlanjut dengan lagu puji-pujian yang lebih bersemangat. Sekarang Rissa sudah bisa menghafal beberapa lagu di gereja itu. Sebelumnya ia hanya mengandalkan teks lagu yang berada di layar besar yang terpampang di bagian belakang panggung tempat worship leader dan singer berdiri. Layarnya amat sangat besar, selebar panggung dan tingginya sekitar empat meter. Layar itu menampilkan teks lagu, ayat-ayat Alkitab dan video info sepekan seputar gereja.
Rissa merasa sangat bersyukur bisa beribadah di tempat gereja yang sangat besar ini. Ternyata cukup banyak jemaat yang menyumbangkan dana untuk pembangunan gereja ini sehingga gereja ini bisa bertumbuh sedemikian pesat dengan jemaat yang sangat banyak.
Setelah selesai puji-pujian, kemudian sang pendeta menaiki panggung dan memulai khotbah. Kali ini Rissa berusaha sekuat tenaga untuk sungguh-sungguh fokus pada khotbah sang pendeta.
Tak terasa waktu berlalu, akhirnya ibadah selesai pada pukul setengah sembilan. Saat Rissa keluar melalui pintu aula, ia melihat pria yang kemarin sempat membuat dirinya terpesona. Seketika jantungnya berdetak cepat, adrenalinnya meningkat.
Rissa sangat yakin kalau itu adalah Charlos. Pria itu memakai kemeja kotak-kotak abu dan celana jeans. Ia sedang berdiri sendirian, menunggu antrean untuk turun tangga yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari tempat Rissa berdiri. Ada terlalu banyak jemaat yang sedang bubar gereja. Rissa tidak mempedulikan hal yang lain. Kali ini ia harus bisa, minimal menyapanya. Ketika Rissa hendak menghampiri Charlos, Esther memegang tangannya.
"Hei Rissa, kamu mau ke mana? Tante Irene bilang akan mengajakmu makan siang di rumah kami." Esther mengangguk ke arah Tante Irene yang sedang mengobrol dengan teman-teman gerejanya bersama dengan Om Irfan. " Kamu ikut ya."
Rissa melepaskan tangan Esther dengan perlahan. "Maaf ya, Kak sepertinya aku ada urusan. Aku.. aku.. mm tadi aku lihat ada Ibu Kiki," kata Rissa terbata-bata. "Ada yang mau aku tanyakan padanya. Kak Esther duluan saja." Rissa melirik ke arah tangga dan Charlos sudah tidak ada lagi di sana.
"Kamu yakin?" tanya Esther, curiga.
Rissa mengangguk dengan cepat. Dia melirik sedikit ke arah Pamela. "Maafkan aku ya, Kak. Aku buru-buru. Tolong sampaikan maafku pada Om dan Tante ya. Dadah!"
"Rissa! Rissa!" teriak Pamela. "Dia mau ke mana sih? Cepat sekali perginya."
Esther mengangkat bahu. "Aku tidak tahu."
"Dia jadi aneh."
"Aneh kenapa, Mel?"
"Ya itulah. Aku tidak mengerti. Dia jadi aneh sejak kemarin latihan." Pamela masih memperhatikan Rissa yang segera menghilang dari kerumunan para jemaat.
Esther berlagak tidak peduli seperti biasanya. Kemudian ia duduk lagi di kursi, menunggu Tante Irene yang masih juga belum selesai mengobrol.
Rissa langsung pergi dengan setengah berlari menembus kerumunan banyak jemaat, menuju ke arah tangga tempat tadi Charlos berdiri. Ia terus berlari, menuruni tangga secepat ia bisa karena jemaatnya sangat banyak. Ia tiba di lantai satu, lalu belok ke kanan ke arah tempat parkir. Rissa berharap bisa melihat Charlos, mungkin sedang bersama dengan teman-teman pemain drama. Seandainya saja ia bisa lebih cepat.
Rissa terus mencari-cari sampai ke tempat parkir. Ia terkejut ketika tiba-tiba ada mobil yang mengklaksonnya dari belakang. Rissa langsung melompat ke pinggir. Merasa sedikit putus asa, matanya dengan nanar terus mencari keberadaan Charlos. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya jika benar-benar bertemu dengan Charlos. Menyapa sudah jelas. Tapi lalu apa? Bagaimana? Entahlah. Setidaknya ia harus melihatnya sekali lagi.
Rissa mulai putus asa. Ia menghela napas. Mungkin ia belum berjodoh dengan Chalos hari ini. Kakinya menjadi lemas. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari James.
Rissa berjalan dengan perlahan, lalu di sanalah ia melihat Charlos dua puluh meter jaraknya, sedang berbicara sambil membungkuk dengan seseorang di dalam mobil sedan hitam yang kacanya diturunkan setengah, berbicara dengan wajah yang cukup dekat dengan Charlos. Kemudian Charlos meluruskan tubuhnya, tersenyum dan mengitari mobil untuk duduk di kursi penumpang.
Mobil sedan itu melaju dan meninggalkan tempat parkir gereja, meninggalkan Rissa yang masih sangat berharap untuk bisa menyapa Charlos. Rissa merasa sedikit menyesal karena langkahnya tidak cukup cepat untuk menghampiri Charlos.
Dari belakang ada yang menepuk bahu Rissa. Secara spontan Rissa berbalik karena kaget. "James? Apa yang..."
"Kak Rissa sedang apa?" tanya James sambil melirik jalan yang tadi sempat Rissa pandangi dengan wajah yang kosong.
Saat Rissa hendak menjawab, James sudah bertanya lagi, "Mana Kak Esther sama Kak Pamela? Kalian tidak bersama-sama?"
"Kamu sendiri... Mana Felice?" Rissa melihat ke belakang James dan tidak melihat siapa-siapa.
"Aku tidak menunggu Felice, karena dia sangat lama," James sedikit cemberut. "Tadi dia sedang beres-beres. Aku ingin cepat-cepat pulang."
Rissa masih sedikit meilirik ke tempat mobil sedan itu tadi berada. James memandang jam tangannya.
"Kita pulang saja yuk! Tapi sebelum pulang kita ke supermarket dulu ya. Aku mau masak sesuatu untuk Kakak."
Rissa menghela napas. Lalu dia mulai tersenyum sambil mengusap kepala James. "Baiklah. Pernah tidak aku bilang kalau James adalah adik yang terbaik di dunia yang pernah ada."
James terkekeh sambil melepaskan tangan kakaknya dari kepalanya. "Mmmm... Sepertinya sudah pernah."
"Oke. Ayo kita pergi!" kata Rissa sambil mengalungkan tangannya ke leher James.
Kemudian mereka berjalan keluar dari pelataran gereja. Mereka pergi menuju supermarket yang ada di dalam sebuah mall, tidak terlalu jauh dari gereja. Mereka berdua pergi dengan menggunakan bus umum.
James memang adalah adik yang terbaik. Rissa sangat bersyukur karenanya. Dia selalu membuat Rissa tersenyum dan James adalah seorang koki yang lumayan handal, selalu memasak saat Rissa tidak sempat menyiapkan apapun untuk dimakan.
Kemudian mereka masuk ke supermarket. James mengambil alih. Ia mengambil sayur-sayuran, daging, dan mie. James akan mewujudkan keinginannya untuk membuat mie goreng. Rissa mengambil sabun mandi, detergent, dan sabun cuci piring. Semuanya sedang promo : satu gratis satu. Gaji Rissa memang lumayan besar, tapi ia harus berhemat karena ia tidak suka kalau ibunya mengiriminya uang. Belum lagi ia harus membayar uang sekolah James.
Selesai berbelanja, mereka berjalan keluar supermarket. James yang menenteng keresek belanja.
"Sini, Kakak bantu," ujar Rissa. Tangannya hendak menarik satu keresek. Tapi James mencegahnya.
"Tidak usah, Kak. Ini sih enteng," kata James.
Rissa tersenyum. "Ya sudah."
Mereka berjalan menuju halte bus, melewati sebuah kedai kopi. Harum kopi menguar sampai ke jalan. Rissa menghirup aromanya sedalam-dalamnya. James juga melakukan hal yang sama.
"Wangi sekali ya, Kak." Rissa mengangguk.
Rissa melihat-lihat ke dalam kedai kopi melalui jendela kaca. Matanya melebar. Pria pujaannya sedang duduk di dalam kedai kopi bersama dengan seseorang yang tidak bisa Rissa lihat wajahnya karena orang itu duduk memunggunginya. Hanya tampak rambutnya yang panjang ikal tergerai. Charlos terlihat sedang berbicara serius dengan wanita itu.
Rissa berpikir untuk masuk ke dalam kedai bersama James, duduk dekat dengan meja Charlos. Lalu Rissa akan menyapa Charlos, berpura-pura kalau ia baru saja melihatnya. Lalu Rissa juga akan memperhatikan dengan seksama seperti apa rupa wanita misterius itu. Rissa yakin sekali kalau wanita itu adalah kekasih Charlos.
Seketika hatinya merasa sedih. Tidak ada kesempatan baginya untuk dapat memiliki hati sang malaikat. Segera saja ia mengurungkan ide gila untuk masuk ke dalam kedai kopi. Pastinya orang yang ada di dalam mobil sedan hitam yang menjemput Charlos di gereja adalah wanita itu juga.
James berhenti berjalan kemudian berbalik memperhatikan kakaknya yang sedang termenung.
"Kakak kenapa?" tanya James khawatir.
"Hah? Tidak... Kita harus pulang." Rissa kemudian berjalan cepat menyusul James.
Adiknya masih menatapnya heran, tapi Rissa menutupi kesedihannya dengan tersenyum.
Ia terus saja berusaha tampak seceria mungkin di depan James. Dalam hatinya, ia merasa sedih dan kecewa. Ia masih terus membayangkan kejadian tadi. Seperti kaset video yang rusak, terus menerus mengulang adegan yang sama. Ia merasa sedih sekali, padahal ia sendiri masih belum tahu kejelasan tentang wanita misterius tersebut. Ia sendiri baru saja mengenal Charlos, belum benar-benar mengenalnya dengan baik. Tapi belum apa-apa ia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Oh ini semua terlalu cepat, pikir Rissa. Semua itu hanya ada dalam bayangannya saja. Sudah jelas kalau Charlos tidak akan pernah menjadi miliknya. Seharusnya ia berpikir lebih realistis. Sudah saatnya Rissa mengembalikan pikiran dan penglihatannya ke dunia nyata.
Setelah puas makan siang di rumah bersama James, Rissa jadi mengantuk. Ia merasa sangat lelah. James mencuci piring. Lalu dia mengeluarkan pakaian yang belum disetrika dari kamarnya.
"Kak, ada baju yang mau disetrika tidak?"
Rissa hanya bergumam. James menghampirinya. Kakaknya sedang meringkuk di kasurnya. Ia mengurungkan niatnya untuk mengganggu Rissa. Ia memasangkan selimut lalu menutup pintu kamar. Ia membereskan pakaian yang akan disetrikanya. Ketika dilihatnya kabel setrika itu digigit tikus, ia tidak berani mencolokkan listriknya.
James menghela napas. Sepertinya ia harus membeli kabel yang baru. Lalu ia mengambil jaket dari kamarnya dan pergi ke toko listrik. Seperti biasa James selalu saja lupa mengunci pintu rumah.
Udara siang itu agak panas. Rissa tertidur pulas. Badannya berkeringat. Tanpa sadar ia menendang selimutnya. Ia bermimpi sedang mengejar layangan. Tapi layangan itu terus terbang menjauhinya. Di dalam layangan itu Rissa melihat ada wajah pria tampan itu. Ia terus mengejar layangan itu hingga ia jatuh terantuk batu. Layangan itu menghilang ditelan awan-awan. Seekor burung mematuk kepalanya. Tok tok tok. Suara patukan burung itu terdengar lebih sering lagi. Rissa merasa aneh bagaimana bisa suara patukan burung bisa begitu keras. Tapi kemudian suara patukan itu mereda.
Mimpinya berlalu, ia mulai tersadar. Ada seseorang membuka pintu kamarnya. Satria melihatnya sedang berbaring di kasurnya. Rissa teringat bahwa ia hanya memakai kaus tipis tanpa lengan dan celana pendek. Mereka saling memandang.
Rissa tersentak kaget, menjerit histeris. Segera ia menarik selimut dan menutup badannya.
"Untuk apa kamu ke sini? Keluar!" Rissa panik setengah mati. Satria masih berdiri di depan pintu. Mulutnya sedikit terbuka.
"Maaf Carissa. Aku tidak bermaksud mengganggumu." Matanya masih memandang Rissa yang berkutat dengan selimut, berusaha menutupi tubuhnya.
"Cepat keluar sekarang juga," kata Rissa baik-baik tapi tegas.
"Dari tadi aku sudah mengetuk pintu tapi tidak ada yang menjawab. Makanya aku langsung masuk." Satria mengangkat bahunya.
"Keluar, Sat."
"Maaf. Maksudku... aku hanya mengecek takutnya ada apa..."
"Satria kamu keluar sekarang juga!" bentak Rissa.
"Tenang saja. Aku tidak melihat apa-apa." Satria melambai-lambaikan tangannya. "Lagipula kamu seperti ke siapa saja."
"KELUAAAAR!" jerit Rissa.
"Oke. Aku keluar sekarang." Satria menghambur keluar, menutup pintu. Otomatis Rissa mengunci pintu kamarnya.
Dengan kesal Rissa menyambar kaus usang tangan panjang dengan bahan yang lebih tebal dan celana jeans panjang, lalu memakainya dengan tergesa-gesa. Ia mengambil sisir, mencoba merapihkan rambutnya. Ia memutuskan untuk mengikat rambutnya tinggi-tinggi.
Rissa bersiap-siap di depan pintu kamarnya, mengambil napas dalam-dalam, lalu perlahan mengeluarkannya lewat mulut. Mengulanginya sampai tiga kali. Membuka pintu dengan hati-hati, sambil sedikit ragu-ragu, sedikit mengintip; berharap Satria sudah pergi.
Tapi di sanalah pria itu berada. Mengenakan kaus bertangan panjang garis-garis, dengan celana jeans yang sangat cocok dengan kakinya yang panjang.
Karena Satria bertubuh sangat tinggi, maka Rissa harus sedikit mendongak untuk menatap wajahnya. Kali ini Rissa tidak mendapatkan senyuman lebarnya yang biasanya merekah di wajah Satria. Pria itu menyeringai, tidak berani langsung menatap mata Rissa.
"Hai Carissa. Maafkan aku. Aaaku tahu kalau ini salah..." kata Satria terbata-bata. Ia menggaruk kepalanya.
Rissa tidak suka dengan keadaan ini. Ia tidak mau marah, tapi ia merasa sangat kesal. Matanya teralih sejenak menatap bungkusan putih di atas meja tamu. "Apa itu?"
"Oh. Ini," Satria segera mengambil bungkusan itu lalu menyerahkannya ke Rissa.
"Aku tadi membuat... Em aku kebetulan lewat.. eh.. aku... ck ah..." Satria memukul kepalanya, dengan susah payah menyusun kata-kata.
Rissa menyambar bungkusan itu, membukanya. Ada kotak makanan berwarna hijau muda bergambar kodok, berisi nasi goreng, masih hangat.
"Kamu membuatkan aku nasi goreng?"
"Bukan! Tadi aku eh.. aku kebetulan lewat," Satria tertawa agak kencang dan dibuat-buat. "Untuk apa aku membuatkanmu nasi goreng. Iya kan. Aku hanya... eh... kebetulan lewat. Begitu." Pria itu menahan napas.
"Oh. Aku pikir kamu..."
"Eh bukan!" Satria menggerak-gerakan tangannya.
Belum selesai bicara Satria sudah memotongnya. Satria menutup mulutnya. Pria itu benar-benar bingung harus berkata apa. Kemudian ia membuka mulutnya lagi untuk bicara, kepalanya menunduk.
"Maafkan aku Carissa. Aku hanya... aku hanya mau memastikan kalau kamu baik-baik saja. Tadi pagi aku tidak melihatmu di gereja. Makanya aku datang ke rumahmu. Tapi kamunya marah-marah karena aku masuk ke rumahmu... tidak sopan..."
Satria mengintip sedikit, mencoba untuk melihat wajah Rissa.
"Maafkan aku Carissa."
Rissa menatapnya galak. Wajah pria itu tampak kasihan. Membuatnya jadi merasa iba. Rissa cukup tersentuh mengetahui bahwa masih ada seseorang yang baik, yang mau membawakannya nasi goreng, mengkhawatirkannya karena tidak melihatnya di gereja.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu rumahnya, ternyata James. Adikinya menenteng kabel. Rissa menatap James dengan tajam. James masuk ke dalam rumah sambil terkekeh.
"Tadi kabel setrikanya rusak, digigit tikus sepertinya. Jadi aku pergi beli kabel. Lho ada Kak Satria?" James tersenyum pada Satria dan Satria membalasnya.
"Kak Satria sudah lama?"
"Tidak juga."
James sedikit curiga dengan tatapan kakaknya. Tiba-tiba seolah ada lampu yang dinyalakan di atas kepalanya.
"Oh iya Kak. Aku lupa kunci pintu," kata James sambil melirik ke arah Satria. Buru-buru James menyelinap ke dapur.
Satria masih merasa tidak enak pada Rissa. Ia mencoba mendekatinya.
"Carissa aku..."
"Stop! Jangan panggil aku Carissa lagi."
"Oh maafkan aku."
"Stop bilang maaf."
"Oh iya maaf aku tidak... eh iya Car... eh Rissa. Iya Rissa maaf... Aduh!" Satria menutup matanya, menggaruk-garuk kepalanya lagi.
Di situ Rissa mulai tersenyum, tapi dengan penuh gengsi ia menahannya.
"Ya sudah. Terima kasih nasi gorengnya, tapi aku sudah makan siang," Rissa mengembalikan kotak hijau itu pada Satria.
Satria memandang kotak makanan itu tidak percaya. Kemudian Satria mengambilnya dengan wajah penuh kekecewaan.
"Eh, apa kamu tidak mau mencobanya sedikit saja?"
"Tidak. Terima kasih."
Satria terdiam sejenak, mengangguk sekali dan tersenyum. "Ya sudah tidak apa-apa. Kalau begitu aku pulang dulu ya."
"Oke," jawab Rissa dingin.
Satria membalikkan badannya; berjalan, hendak membuka pintu. Dari belakang James memanggilnya, menarik kotak hijau dari tangannya.
"Kak, buat aku saja ya. Boleh kan?" seru James ceria. Rissa melemparkan tatapan kekejaman, sekejam yang ia bisa lakukan. Tapi sepertinya adiknya itu tidak mau menyadarinya.
"Tentu saja boleh, James," senyum lebar Satria merekah seperti biasa, memamerkan giginya yang putih dan rapih. Rissa memperhatikan mereka.
"Daripada dibawa pulang lagi, lebih baik untukku saja. Ya kan?" James memberi high five pada Satria. Mereka tertawa-tawa. Lalu akhirnya Satria pulang, berjalan kaki menuju ujung gang, lalu mengendarai mobil sedan kuningnya yang sangat mencolok di jalan itu.
James kembali ke dapur dengan cuek, tanpa mempedulikan kakaknya.
"James!"
"Mmmmm..."
"Lain kali kamu jangan kurang ajar ya."
"Mmmmm..."
James hanya menjawab kakaknya dengan bergumam.