Baixar aplicativo
1.35% I FEEL ALONE / Chapter 6: I FEEL ALONE - Wanita Penghibur

Capítulo 6: I FEEL ALONE - Wanita Penghibur

"Malam Mah, Pah," ucap Pelvetta sambil tersenyum ke arah mereka berdua.

"Malam juga Dev," jawab Mama sambil membalas senyuman Vetta.

"Oh ya sini makan."

"Kak Deva, sini duduk samping Della," ucap Della sambil mempersilahkan Vetta duduk di sampingnya.

"Arghh, siapa sih orang yang udah ngirim video ini sama gue!" Emosi gue meningkat saat membuka video yang menunjukkan bagaimana keharmonisan mereka.

Gue gak mau menonton video itu sampai habis, hati gue keburu sesak saat melihat sebagian video itu. Sebenarnya tujuan tuh orang mengirimkan video ini tuh apaan sih?

"Mamah sayang Deva, happy birthday."

"Deva juga sayang Mamah."

"Ini kado dari Papah buat putri kecil Papah." Mereka semua berpelukan sambil tersenyum bahagia.

Pyarrrrrr

Gue menepis gelas yang ada di atas meja dengan kasar yang membuat gelas itu pecah berantakan. Sisa pecahan gelas itu berserakan di bawah dinding, karena gelas itu membentur ke dinding.

Sakit? Sesak? Itulah yang gue rasakan saat ia melihat video yang menunjukkan bagaimana orang tua gue sangat menyayangi Pelvetta, sedangkan gue? Gue tidak pernah merasakan kasih sayang itu.

Kehadiran gue juga mungkin tak dianggap oleh mereka saat itu, bahkan keberadaan gue saat itu hanya diperlakukan layaknya seorang pembantu rumah tangga.

Tidak mudah bagi gue untuk melupakan kejadian itu, bahkan semakin ke sini gue semakin teringat jelas akan semua kejadian itu.

Saat yang lain mengira gue adalah seseorang yang jutek, sebenarnya gue ada seseorang yang sangat lemah. Gue akan kembali lemah ketika hati gue sudah teringat akan kejadian buruk pada masa lalu gue.

Gue merasakan sesak di dalam dada gue, jantung gue berdetak dengan begitu kencang. Mata gue mungkin sudah berkaca-kaca karena tak sanggup menahan semua rasa sesak yang sedang hati gue derita.

Gue mengambil satu pecahan gelas itu dan kemudian menyayatkan pecahan kaca itu di bagian paha. Paha adalah tempat terfavorit bagi gue untuk menyayatkan benda tajam itu, karena tak ada yang bakalan melihat luka itu, dengan demikian tak akan ada orang yang akan menanyakan hal itu.

Mungkin ada sebagian orang yang tahu kalau gue sedang menderita gangguan mental, namun tak sedikit yang mengira bahwa gue baik-baik saja.

Gue memang orang yang bisa dibilang pandai menyembunyikan masalahnya. Gue tidak pernah mau berbagi cerita akan masalah yang sedang gue hadapi, gue tak mau orang lain tahu lebih dalam tentang masalah pribadi gue.

Orang lain hanya tahu kalau gue adalah seseorang yang pintar, cuek, bodo amat, jutek, dan badgirl. Hanya itulah yang orang lain tahu tentang sosok gue, karena mereka tidak pernah tahu tentang sosok gue yang sebenarnya.

Gue melihat jelas bagaimana cairan kental berwarna merah itu keluar dari salah satu bagian tubuh gue. Gue memperhatikan bagaimana darah itu keluar dan menetes di lantai. Beberapa tetesan darah itu sudah menghiasi lantai apartemen gue.

Penglihatan gue mulai buram. Sebelum gue pingsan, gue berlari ke sudut ruangan dan duduk di sana menenangkan diri gue di sana.

Tenang? Adalah kondisi di mana bagian tubuh gue merasa jauh lebih sakit dibanding dengan hati gue.

Gue terpejam menikmati sensasi bagaimana darah itu keluar. Hati gue seakan merasa membaik, saat rasa sakit di dalam hati gue sedikit tersalurkan pada luka yang sengaja gue buat barusan.

Dipendam? Iya, semua masalah yang gue hadapi dan semua pikiran yang gue pikirkan itu semua dipendam dan disimpan di dalam diri gue sendiri.

Gue tidak mempunyai seseorang yang bisa gue percaya untuk dijadikan teman berbagi rasa yang sedang gue alami.

Gue menjalani semua hari yang teramat kelam itu sendiri. Sejak kejadian waktu itu gue terbiasa memilih sendiri, bahkan ketika banyak orang yang mencoba hadir, gue lebih memilih sendiri.

Dahulu, ada beberapa yang mencoba mendekati gue dan menganggap gue sebagai teman mereka, tapi? Gue tak sebaik yang mereka bayangkan dan kejadian itu membuat gue kembali sendiri atau mungkin sikap mereka pada gue tak seperti mereka bersikap pada yang lainnya. Haha, fake!

Pacar? Sudah banyak orang yang menawarkan dirinya untuk menjadi pacar gue, bahkan ada orang yang rela membuang nyawanya hanya karena terlalu terobsesi kepada orang stres seperti gue.

*****

Hujan Deras. Itulah yang terjadi malam ini, gue menikmati hujan yang sedang turun sambil menyusuri jalanan yang sepi. Suasana malam ini begitu sepi. Alasan kenapa sepi mungkin sebab cuaca sedang hujan deras dan waktu pun sudah menunjukkan pukul 23:05.

Kenapa gue keluar malam-malam? Entahlah yang jelas hati gue sedang menginginkan hal ini. Air hujan yang turun mulai membasahi baju dan celana yang gue pakai. Sebagian rambut gue sudah sepenuhnya basah, kecuali bagian rambut yang tertutup oleh helm.

"Baru pulang jam segini, habis dari mana kamu jam segini baru sampai rumah?" tanya Papah.

"Habis—"

Plak

Plak

Belum sempat gue menjawab, namun dua tamparan itu sudah mendarat di pipi gue.

"Habis pergi ke klub? Iya?"

"Paling habis main sama om-om," ucap Della. Gue bingung kenapa dia jawab seperti itu padahal dia sendiri yang tadi meminta gue untuk menjemputnya.

"Mau jadi apaan kamu?"

"Gak jauh jadi wanita penghibur," jawab Vetta sambil tersenyum licik.

"Arghhhh!!! Kenapa kejadian itu muncul lagi?"

Kejadian di mana gue malam-malam keluar hanya untuk menjemput adik gue Della, namun itu semua hanya bagian rencana mereka, karena pada saat gue sampai di sana Della sudah tidak ada di sana.

Pada saat gue kembali ke rumah, Della sudah ada di sana. Della dan Deva tersenyum miring saat Mamah memarahi gue karena gue pulang malam, Mamah kira gue habis keluyuran.

Senyuman mereka terukir jelas saat mereka berdua melihat secara langsung, bagaimana Papah menampar gue waktu itu.

Della tak menjelaskan kejadian sebenarnya pada Papah, bahkan setelah Papah menampar gue dan menyuruh gue tidur di luar pun Della tak menjelaskan semuanya.

Kenapa gue tidak menjelaskan kejadian itu sendiri? Gue sudah menjelaskan semuanya sama Papah dan Mamah, namun sebelum gue selesai bercerita, Papah kembali menampar pipi gue dan langsung menyeret gue ke luar rumah.

Gue disuruh tidur di luar, dengan keadaan cuaca yang sedang turun hujan. Dingin? Itulah yang gue rasakan saat gue harus tidur di teras rumah, terlebih kondisi gue yang sepenuhnya basah kuyup.

Ckttttttt

Gue langsung menarik dan menginjak rem motor gue secara bersamaan sebelum motor gue menabrak pohon besar di ujung jalan itu. Pikiran gue sudah terlalu lama melayang, hingga gue tidak sadar ke mana arah motor yang tengah gue kemudikan barusan.

Huhhhh, untung takdir gue dipegang sama Tuhan, coba kalau di pegang sama nyokap atau bokap mungkin gue sudah nabrak tuh pohon. Gue bergumam sendiri.

Saat merasa lumayan puas dan sedikit tenang, gue memutuskan untuk kembali ke apartemen.

*****

Gue berjalan menuju ke meja belajar, gue mengeluarkan buku yang ada di tas gue dan tanpa sengaja gue menjatuhkan satu buku.

Saat gue mengambil buku itu, selembar uang berwarna merah jatuh dari dalam buku itu. Gue membuka belakang buku itu, dan ternyata benar dugaan gue, di sana terdapat beberapa tulisan.

Maaf Vitt kalau kamu merasa tersinggung, aku cuman berusaha supaya bisa jadi teman kamu, dan aku juga cuman berusaha buat mengingatkan kamu, kalau sebenarnya kamu itu gak sendiri Vitt.

Buat uang ini, aku gak ingin uang ini Vitt yang aku ingin adalah kamu mencoba bergaul dengan yang lain. Ya, dengan hal yang kecil saja dulu, kamu mencoba bergaul dengan teman sebangku kamu Vitt.

Aku tahu kamu gak mungkin terima uang ini, aku cuman nyimpan uang ini di sini lagi sebagai tanda maaf dari aku kalau aku sudah menulis ini semua di buku kamu.

Kamu gak sendiri Vitt:)

"Argh!" Gue melempar buku itu asal.

Kata yang dia rangkai jadi paragraf ini membuat hati gue sesak, apalagi di saat gue baca 'kamu gak sendiri'.

Tahu dari mana dia kalau gue gak sendiri? Kalau memang ada yang menemani gue, gue gak mungkin merasa sepi, dan selagi gue merasa sepi selama itu pula gue sendiri!

"Kamu ini jadi adik gak tahu diri banget sih, gak ada gunanya tahu kamu jadi adik!" ucap Papah dengan nada yang begitu tinggi, hati gue sudah tersentak sedari tadi, air mata gue sudah tak tahan untuk berjatuhan.

"Kalau sampai Kakak kamu kenapa-kenapa saya pastikan hidup kamu juga bakalan kenapa-kenapa!!!"

"Bukannya Vetta selalu di jemput sama Papah atau pun Mamah, lalu kenapa Vitta yang di salahkan Pah?" Gue mencoba bertanya akan hal itu, di mana letak kesalahan gue? Sampai Papah semarah itu sama gue saat waktu sudah larut malam, tapi Vetta belum juga pulang.

"Jadi kamu mau nyalahin saya iya?" Papah menatap gue tajam, kemudian ia berjalan menuju ke sudut ruangan dan mengambil sebuah sapu

Cprrrttt blttkkkkk

Papah memukulkan sapu rotan itu sebanyak dua kali, Papah memukulkan sapu itu tepat di betis gue. Sakit? Banget. Papah memukulkannya dengan begitu keras, bahkan setelah dua kali pukulan itu mendarat di betis gue, seketika tubuh gue langsung jatuh ke lantai. Betis gue tak mampu tuk berdiri menahan berat badan gue sekarang.

Menangis? Sudah tentu ia, bahkan saat Papah selesai melakukan satu pukulan pun gue sudah berteriak refleks, jadi sudah pasti air mata gue turun begitu derasnya menahan sakit itu.

Mamah? Mamah datang cuman buat menengok saja.

"Cengeng banget jadi anak," ucapnya sambil mendorong kepala gue, kemudian dia berjalan pergi tanpa memedulikan gue

Gue mencoba berdiri, namun itu gagal. Kaki gue tak sanggup menahan gue untuk berdiri. Tempat yang gue inginkan sekarang adalah menuju ke kamar, karena tak mungkin gue harus menangis menahan sakit ini di atas lantai di tengah ruangan ini sendirian.

Gue mencoba melakukan segala cara supaya gue bisa sampai di kamar, akhirnya gue mencoba merangkak agar gue bisa sampai di kamar. Setelah beberapa lama gue berusaha agar gue sampai di kamar, akhirnya gue sampai di sana.

Gue meringis sambil memegang kaki gue, air mata gue masih terus keluar sampai akhirnya gue tak sadar kalau gue tertidur dengan posisi bersandar ke tempat tidur.

Pagi hari gue bangun, karena merasa ada sesuatu yang semakin sakit. Saat gue bangun ternyata kaki gue bengkak dan kaki gue membiru mungkin karena dagingnya memar.

Tak ada yang menanyakan keadaan gue pada saat itu, jadi sangat tidak mungkin ada yang mau merawat gue.

Bagaimana gue sembuh? Gue sembuh saat pembantu rumah tangga gue masuk dan dia kasihan melihat keadaan kaki gue yang seperti ini, kemudian dia memijat kaki gue dengan sebuah minyak yang entah minyak apa namanya.

Gue masih bersyukur ada orang lain yang mau peduli sama gue bahkan ketika orang tua gue pun sudah tidak peduli sama gue.

Gue masih ingat banget sama kejadian itu, bahkan runtutan kejadiannya masih teringat jelas di memory kepala gue.

Mah, Pah, aku gak dendam sama kalian. Aku hanya ingat apa saja yang sudah Mamah sama Papah lakukan waktu itu. Bagaimana Mamah sama Papah perlakukan aku dan bagaimana Mamah sama Papah perlakukan Vetta dan Della itu sangat berbeda.

Sepintas gue pernah berpikir buat mengakhiri hidup gue, namun ....


PENSAMENTOS DOS CRIADORES
Van_Pebriyan Van_Pebriyan

Namun apa? Penasaran?

Tunggu di next part!

LOP U♡

Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C6
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login