Sore yang damai tetapi tak sedamai hati dan pikiran Ara. Otak kecilnya masih kalang kabut memikirkan hal yang baru saja terjadi pada dirinya. Ara tak menyangka bahwa berteman dengan Legra dapat menjadi garis batasan untuknya. Garis batasan mencari satu persatu kawan. Sebab ia pikir, berteman dengan Legra mungkin bukan membuatnya bertambah teman, tetapi menciptakan lawan. Buktinya saja seperti yang terjadi hari ini, cukup membuat hatinya tersenggol larva panas. Bahkan membuatnya makan hati meskipun telah berusaha untuk tidak menghiraukannya. Sungguh, apakah Tuhannya sedang menghukumnya dengan cara seperti ini? Menjadikan dunia ini benar-benar kejam terhadap dirinya. Tidak membiarkan Ara memiliki lebih dari beberapa teman, bisa dikatakan Ara menginginkan sebanyak-banyaknya teman. Larangan apa yang telah Ara langgar, sehingga Tuhannya begitu marah? Atau mungkin Ara sendiri yang tidak mensyukuri hidup? Rasanya beban yang dipikulnya terlalu berat dan ingin ia tumpahkan isinya. Namun, pada siapa? Tak mungkin ibunya, atau bahkan bapaknya. Tak mungkin juga Astri, dia sudah terlalu banyak membantunya.
Ara jadi teringat tentang pernyataan Astri yang mengatakan bahwa ia memanfaatkan teman. Astri memang tak sungguh-sungguh dalam mengatakannya. Namun, penyataan itu seakan kembali mengiang-ngiang di atas kepalanya. Membuat memorinya menyetel ulang kisah-kisah yang pernah ia lalui bersama orang yang pernah ada di dekatnya. Termasuk Rindo?
"Ara, aku pikir lebih baik jika kamu menjauh dari Legra."
Baru saja terlitas nama Rindo, si empu tiba-tiba berkata demikian. Menyadarkan Ara bahwa masih ada seseorang du sampingnya. Setelah mengembalikan kesadarannya dari lamunan, ia menoleh ke arah samping. Mendapati Rindo yang juga duduk di bangku halte yang sama dengannya. Dan apa tadi katanya?
"Menjauh dari Legra? Kenapa?" tanyanya bingung.
"Ya, kamu pikir setelah ada kejadian yang baru aja terjadi, kamu tidak akan menjauhinya? Dan membiarkan fans-fans gila Legra itu mengganggumu?" katanya. "Aku tahu kamu bukanlah orang yang seperti berita itu bicarakan. Aku tahu kamu tidak akan melakukannya meskipun hal tersebut pernah terlintas di pikiranmu. Dan aku yakin bahwa hal tersebut tidak pernah terlintas di pikiranmu."
"Do, kenapa kamu bisa sampai berpikiran seperti itu tentang aku?"
"Karena aku tahu kamu orang yang seperti apa Ara, aku tahu," kata Rindo berulang.
"Do, kenapa kamu selalu baik padaku. Banyak hal yang kamu berikan, tapi aku tak tau terima kasih. Banyak hal yang kamu korbankan dan aku tak tahu balas budi."
"Ra, kamu juga tahu mengapa aku bersikap demikian."
"Tapi, Do-"
"Aku sedang membahas tentang Legra. Seharusnya kamu menjawab itu, bukannya malah bertanya-tanya tentang aku." Belum sampai Ara menghabiskan kalimatnya, Rindo sudah memotongnya dengan meminta Ara kembali ke pembahasan awal.
"Do, aku rasa tidak perlu sampai seperti itu. Walau bagaimana pun Legra tidak seharusnya ikut andil dalam adanya malasah ini. Sebenarnya hal ini terjadi bukan karena Legra. Aku sendirilah yang menyebabkannya. Legra tidak tahu apa-apa." Meskipun berkata demikian, tetapi hati kecilnya menyetujui perkataan Rindo. Seharusnya ia tidak pernah berada di sekitar Legra sejak awal. Ia bahkan sudah menduga bahwa hal seperti ini akan terjadi. Namun, ia tak menyangka jika ini lebih dari perkiraannya.
"Dengan membahayakan kamu, itu disebut dengan tidak ikut andil?"
"Do, tapi Legra sudah menjadi teman aku."
"Apakah dengan mempertahankan satu teman seperti Legra kamu akan mendapatkan bonus ribuan kawan? Nggak Ra, kamu bahkan akan mendapatkan banyak lawan jika keadaannya seperti ini. Legra itu bukan orang biasa seperti kita."
"Iya aku tahu, tetapi jika aku meninggalkan Legra, dia pasti akan membenciku." Ara tahu bagaimana raut wajah Ara ketika pertamakali ia memilih menjauh dari Legra. Legra sepertinya sangat membenci yang namanya ditinggalkan. Nampak sekali. Atau pura-pura membenci kata itu agar Ara tetapndiam di tempatnya? Entahlah, mungkin Ara yang terlalu percaya diri sekarang.
"Ra, kamu memang sulit, kamu sulit mengerti diri kamu sendiri. Coba pikirkan dirimu sendiri sebelum memikirkan orang lain. Coba renungkan dirimu sendiri kenapa selama ini kamu tidak memiliki banyak teman atau bahkan kamu banyak dibenci." Rindo sudah terlampau gemas terhadap Ara. Dia sulit sekali diajak untuk memikirkan dirinya sendiri. Sulit sekali membawanya menyelami dunia untuk mengetahui keberadaannya saat ini. Dia malah memikirkan posisi orang lain yang belum tentu akan memikirkan hal yang sama dengannya.
Sedangkan Ara sendiri dibuat kaget dengan perkataan Rindo. Ia menjadi sadar dari pernyataan Rindo, tentang ia yang tak pernah merenungkan diri sendiri. Ah, ia rasa ia memang tak pernah melakukannya. Ia tak pernah menganggap posisinya seperti apa dan orang lain bagaimana. Yang ia pikirkan hanyalah perasaan orang lain jika ia melakukan suatu hal. Memang, dalam hidup kita tidak akan lepas dari kata orang lain selain dirinya sendiri. Namun, jika kita tidak dapat mengerti diri sendiri, bagaimana untuk kita dapat mengerti orang lain?
Satu lagi, yang masih menjadi teka teki hidup Ara, mengapa dia tidak memiliki banyak teman dan malah banyak dibenci?
"Do, lalu apa yang harus aku lakukan?"
Bahkan Ara tidak memikirkan bagaimana rasa suka dirinya terhadap Legra muncul.
Rindo berkata, "Pergi dari Jakarta."
"Secepatnya," kata Rindo menambahi.
"Do! Semua pekerjaan aku berada di sini. Tidak mungkin aku meninggalkannya begitu saja!" ucap Ara tak terima.
"Kalau tidak, berarti kamu masih ingin di benci oleh semua orang. Legra itu artis, sedangkan kamu bukan siapa-siapa. Sudah pasti semua orang akan benar-benar menyalahkan kamu atas semua ini."
"Tapi, Do," Ara berujar memelas seperti seorang anak yang akan dihukum oleh ayahnya. Rindo dan Ara sudah mengenal begitu lama. Wajar jika Ara akan bersikap lain pada Rindo.
"Akan aku bantu kamu untuk mencari pekerjaan lain. Kamu khawatir tidak bisa membantu orangtuamu 'kan?" Ara mengangguk lemah. "Di Jogja terutama. Bahkan kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih nyaman 'kan di sana? Lebih bagus kalau bisa tentunya."
"Meskipun aku pindah, itu tidak bisa memungkinkan kalau aku pernah kenal dengan Legra. Foto itu jelas menunjukkan bahwa itu adalah aku, Do."
"Di sana dan di sini berbeda, Ra. Jogja dan sekitarnya sudah banyak kamu kenal, kamu sudah hidup di sana berapa tahun. Dibanding di sini yang hanya beberapa bulan, tentu kamu lebih tahu tempat-tempat aman apabila sesuatu terjadi. Kalau ada apa-apa atau misalnya ada yang membunuh kamu bagaimana? Mau kamu?"
"Do, jangan begitu!" Pada saat seperti ini, masih sempat juga Rindo menakuti Ara seperti ini. Jika seperti itu, Ara menjadi ingin meninggalkan Legra dan Jakarta secepatnya. Meski rasanya berat sekali.
See, Rindo malah tertawa di tempat setelah beberap menit Ara mengatakan itu ditambah melamun sebentar. Sepertinya Rindo memperhatikan terlebih dahulu ketakutan yang akan Ara alami sebelum menertawakannya. Jahat sekali dirinya.
"Memang benar kata orang-orang."
"Kata apa?"
"Kamu terlalu baik."
Rindo kembali tertawa terbahak-bahak mendengar sindiran Ara. Ara hanya diam dan berpikir, lagi. Bebannya sedikit terangkat, oh tidak, banyak terangkat-meski tak sampai sebagian, atas kehadiran Rindo yang mau menemaninya saat itu.
Rindo pikir Ara hanya menyindirnya karena telah menakuti Ara. Namun, bukan itu yang Ara maksud, ia benar-benar serius mengatakan hal demikian. Rindo terlalu baik hati terhadapnya yang tidak pernah melakukan apapun untuknya. Ara bahkan tak tahu cara membalas semua kebaikan yang telah Rindo berikan padanya. Hanya doa-doa baik yang dapat ia berikan untuk Rindo. Sebab selama ia pergi ke Jakarta adalah untuk menghindari Rindo yang selalu memberikan kebaikan untuknya. Dari dahulu, dari SMP. Sampai ia tak tahu, bingung untuk menghitung berapa banyak kebaikan yang telah Rindo beri.
"Terima kasih, Do."
"Sama-sama," jawabnya dengan tawa yang masih menggema.
Sadari diri sendiri sebelum ingin melihat orang lain
Terkadang itu membuat kita salah mengenali orang lain karena kita juga tak dapat mengenali diri sendiri