"Hahh !" Aku kembali terkejut dengan kehadiran seseorang di hadapanku saat baru keluar dari kamar, kali ini bukan Fine tetapi dia adalah pria bermata indah yang sebelumnya pernah ku ikuti diam-diam.
"Huh ya ampun, kenapa semuanya selalu mengejutkan?" Gumamku kesal sambil mencoba menetralkan jantungku.
Pria itu memandangiku dengan tanpa ekspresi. "Hai," Ujarnya singkat membuatku mengenyitkan dahi.
Pria itu memandangi kaki kananku dengan seksama, aku segera paham kalau dia memperhatikan bekas bengkakku yang sudah membaik. Setelah memandangi kakiku untuk beberapa saat, dia segera berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju arena latihan tanpa mengatakan apapun.
"Hai, apa kamu mengkhawatirkanku?" Tanyaku seraya mengikuti langkah besar pria itu. "Apa kamu ingin meminta maaf karena telah meramalkan arena lariku yang berbatu?"
Pria itu melirikku dengan tajam dan tanpa ada sepatah katapun dia terus berjalan tanpa menghiraukan pertanyaanku. Aku berhenti sebentar dan membiarkannya berjalan mendahuluiku, dia benar-benar aneh bagiku.
Di depan asrama aku melihat bang Arlan sedang berbincang dengan bang Seta, mereka tampak sedang sangat serius dan hanya melirik ke arahku ketika aku lewat di dekat mereka. Ingin sekali aku menanyakan kepada ketua pasukan hijau itu mengenai jalan pulang karena aku telah mengikuti perkataannya dengan tinggal di tempat asing ini dan mengoleskan bekas luka di lenganku yang terluka. Mengingat sikap kasarnya membuatku merasa sedikit tertipu, semakin lama aku berada di tempat ini aku bahkan semakin merasa bingung.
Segera ku bergabung dengan pasukan di barisan, pria bermata indah itu maksudku si Bang Athan tepat berada di sampingku. Aku ignin bertukar dengan teman yang lain tetapi mereka tidak ingin dan saling dorong, aku merasa mereka juga tidak ingin berada di samping pria dingin ini. Untuk beberapa saat aku tersadar kalau hanya barisan kami yang ada di arena latihan, tidak ada barisan lain yang biasanya bahkan hingga penuh. Aku dan bang Athan berada di pasukan B, sementara Ge di pasukan D, dan Sam di pasukan E. kami berada di pasukan yang berbeda hanya saja masih bisa sering bersama saat istirahat atau setelah berlatih. Perasaanku sedikit tidak enak, mengingat arena berlatih ini sering di sebut sebagai 'Arena Berdarah' oleh teman-teman di pasukanku.
Ketua pasukan hijau bersama dengan beberapa anak buahnya datang dengan membawa banyak sekali senjata tajam seperti pedang, tombak, belati, rantai dan senjata lainnya. Aku mengernyitkan dahi segera, merinding membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. Mendadak aku teringat perkataan Ge kemarin yang menyuruhku untuk ijin berlatih hari ini.
"Apa kita akan berlatih bertarung dengan menggunakan senjata sungguhan? Ini keren," Ujar Kristo yang berdiri di samping kiriku dengan nada yang terdengar senang.
"Ah aku sudah sangat lama tidak menggunakannya, selama berada di tempat ini aku hanya menggunakan kekuatan kakiku," Sahut seseorang lagi yang berdiri di belakangku, ku rasa itu suara Sing yang menurut pengakuannya dia adalah mantan preman dari Distrik 11.
Ku helakan napas panjang, ini benar-benar tidak beres. Bagaimana bisa aku akan berlatih bertarung dengan para pria yang sudah sangat ahli menggunakan senjata-senjata itu. Ku lirik sekitar, aku lah yang bertubuh paling pendek. Walau hanya selisih beberapa centimeter, aku merasa mungil diantara para pria bertubuh besar itu.
"Tidak perlu panik, kamu akan menjadi korban jika bersikap seperti itu," Lagi-lagi bang Athan berbicara tanpa menoleh kepada siapapun, tapi ku rasa dia sedang berbicara denganku karena sikapku sangat ketara jika sedang panik.
Kami diminta untuk membentuk posisi melingkar, para pasukan hijau memberikan contoh untuk bertarung dengan menggunakan senjata. Bang Arlan tidak melakukannya, hanya anak buahnya saja sementara dia berdiri di pinggir sambil memegangi sebuah tombak besar dan tajam, persis seperti gambaran malaikat maut di buku pelajaranku saat masih di Sekolah Dasar.
Aku sedikit meraba lenganku, lukanya sudah pulih sempurna. Ku hentakkan perlahan kakiku, sudah tidak nyeri walau masih terasa sedikit bengkak. Aku telah siap dengan apapun yang akan di ajarkan oleh mereka hari ini, setelah dua hari berturut-turut aku mendapatkan cidera ada kemungkinan hari ini aku akan kembali cidera karena aku sangat asing dengan benda-benda tajam itu.
Athan adalah peserta pertama seperti biasa, dia berlatih dengan seorang anggota pasukan hijau berbadan besar bernama Bold. Berkali-kali aku mehela napas melihat mereka bertarung, rasanya aku benar-benar ingin pulang sekarang karena aku tidak ingin mati konyol.
Kedua pria itu saling menyabitkan pedang dan saling menghindar, tampak sudah sangat professional. Suara denting dari kedua pedang yang saling bertabrakan membuatku merinding, terlebih saat pria bernama Bold itu mendapat sabetan dari pedang Athan tepat di pipinya yang membuatnya berlumuran darah.
Jika ini adalah pelajaran olahraga di sekolah, aku akan berkata pada guru untuk pergi ke unit kesehatan karena tidak enak badan. Entah, walau aku sangat sering berkelahi dengan Ge melihat darah segar mengalir di pedang itu membuat tubuhku lemas.
Puk puk puk ! Seseorang menepuk bahuku pelan, dia adalah Sing yang ternyata berada di sampingku.
"Aku tahu kamu adalah seorang perempuan, tapi takut dan ingin menyerah itu tidak akan membawamu pada kemenangan. Lakukan dan hadapi semuanya dengan berani, hanya itu yang perlu kita lakukan untuk dapat pulang," Ujarnya dengan tanpa memandangiku, arah pandangannya tetap focus ke arena berlatih yang mulai di penuhi percikan darah.
"Kamu juga ingin segera pulang? Maksudku, Bang Sing juga ingin pulang?" Tanyaku yang terheran mendengar kalimatnya.
"Ah tidak perlu menambahkan kata 'Bang', aku tidak peduli berapa usiamu tapi cukup panggil 'Sing'. Itu terdengar baik," Sahutnya. Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, Bang Arlan telah memanggilnya untuk bertarung. Kali ini lawannya bukan pasukan hijau, tetapi sesame peserta pelatihan atau yang di sebut oleh Bang Arlan sebagai ���Anak Anggota'.
Ku perhatikan dengan seksama pria mantan preman itu bertarung dengan teman dekatnya sendiri, mereka benar-benar sangat terlatih. Keduanya mencoba untuk saling mengalahkan tanpa harus melukai, tetapi ternyata sikap mereka membuat bang Arlan geram. Ketua pasukan hijau itu segera menghentikan pertarungan, dia meneriaki Sing dan Modi agar keduanya berlatih dengan sungguh-sungguh, "Latihan hari ini tidak akan berhenti hingga larut sampai salah satu diantara kalian ada yang terjatuh dan kalah!."
Keduanya kembali melanjutkan latihan bertarung, menreka menjadi lebih agresif sekarang bahkan sudah tidak segan lagi untuk mengarahkan tombak hendak menusuk lawannya. Hingga akhirnya mereka berdua saling menusuk satu sama lain, Modi tampak sangat kesakitan. Sing segera menarik tombaknya dan menendang tubuh lemah temannya hingga terjatuh ke tanah. Sing menang, dia sedikit menoleh ke arahku sebelum dia terjatuh ke tanah karena bagian perutnya berlumuran darah.
Apa dia mati? Pikiranku semakin kacau melihat dua pria tergeletak tepat di depan mataku.
***
Terimakasih telah membaca, mohon masukan serta kritik dan sarannya agar kedepannya karyaku lebih baik lagi yaa..
Selamat membaca, Love.