Baixar aplicativo
15.52% Love Is Meaningless / Chapter 25: Hati

Capítulo 25: Hati

Entah apa yang Shela harapkan. Hati kecilnya seperti menginginkan hal lain. Se-cerca harapan yang sama sekali tidak boleh ia harapkan.

"Baiklah." Singkat Polin.

Mendengar jawaban Polin, rasanya Shela kecewa. Ia juga tidak mengerti kenapa dia bisa merasa sekecewa itu.

"Apa kakak tidak penasaran kenapa Darlie memesankan saya kamar hotel?" Tanya Shela lagi menyelidiki.

Polin diam. Ia mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. Ia lalu melihat jam tangannya dan berkata: "Maaf Shela, sepertinya saya harus segera pergi ke rumah sakit. Kau bisa berada di sini sampai jam berapa pun kau mau."

Polin lalu segera berdiri dari kursinya dan beranjak pergi begitu saja.

"Baik." Ujar Shela memelan. Ia tampak sedih, namun tak mengerti arti dari kesedihannya.

Tidak butuh waktu lama bagi Shela untuk menaruh hatinya pada Polin. Padahal selama ini dia berpikir bahwa dia tidak akan mungkin pernah bertemu dengan orang yang bisa membuat ia jatuh cinta. Tapi, sepertinya ia sudah termakan kata-katanya sendiri.

Bagaimana bisa ia menaruh hati pada tunangan orang lain dan bahkan adalah sepupu dari tunangannya sendiri?

Shela memukul-mukul dadanya. Polin adalah satu-satunya pria yang mampu membuat Shela nyaman dalam waktu singkat dengan kehangatannya. Ia bahkan tidak pernah merasakan kehangatan seperti itu dari keluarganya. Mungkin semuanya berawal saat mereka melihat salju pertama yang turun di kota London.

"Apa aku semurahan ini?" Gumam Shela. Ia lalu berdiri dan segera mengambil barang-barangnya di kamar tamu, lalu pergi tidak lama setelah Polin beranjak keluar dari apartemen tersebut.

***

Tidak lama kemudian Polin sampai ke rumah sakit tempat Diana dirawat. Sayangnya, ia menemukan bahwa kamar tersebut sudah menjadi milik orang lain.

"Permisi sus, pasien yang sebelumnya berada di sini dipindahkan ke mana ya, sus?" Tanya Polin menggunakan bahasa setempat.

"Ah, maaf tuan saya kurang tahu pasti." Jawab perawat tersebut.

"Baik Sus, terimakasih." Singkat Polin.

"Sama-sama." Kata perawat tersebut, lalu melanjutkan tugasnya.

Polin segera mengambil handphone yang ada di dalam sakunya. Ia menelepon Diana dan tidak kunjung diangkat. Teleponnya berada di luar jangkauan. Tentu saja ia merasa ada kejanggalan dari semua itu. Tidak pernah sekali pun Diana tidak memberikan kabar mengenai kondisinya.

"Permisi, tuan Polin?" Salah seorang petugas rumah sakit menghampiri Polin yang saat itu masih berdiri di depan ruangan tempat Diana pernah di rawat.

"Iya, ada apa ya?"

"Tuan Fenilan menitipkan ini untuk anda." Petugas tersebut mengeluarkan selembar surat dari sakunya dan menyerahkan amplop putih itu kepada Polin. Setelah Polin mengambilnya, ia segera pergi.

Polin melihat isi amplop tersebut. Ia membaca kata demi kata yang terukir di atas kertas putih tersebut. Diana ingin mengakhiri hubungan mereka. Polin seharusnya senang, sebab itu adalah hal yang ia tunggu-tunggu selama ini. Tapi entah kenapa, hatinya sedikit merasa kosong setelah membaca surat tersebut.

Ia kemudian melipat surat tersebut dan menyimpannya dengan baik kembali ke dalam amplop. Lalu menyisipkan amplop tersebut masuk ke dalam saku celananya.

Polin membawa mobilnya menyusuri kota London sendirian. Entah apa yang sedang ia cari. Ia hanya berkendara tanpa adanya tujuan yang pasti. Pikirannya kosong dan ia tidak sedang ingin melakukan sesuatu yang berarti.

Disisi lain Shela dan Darlie sedang mempersiapkan keberangkatan mereka menuju Indo. Mereka ingin membuat kesepakatan di antara mereka berdua sebelum akhirnya menemui keluarga besar mereka.

"Di hadapan kakek kita berdua harus terlihat harmonis dan saling menyayangi. Dan kau tidak boleh membongkar apa pun yang pernah kau lihat di tempat ini." Darlie mulai berceloteh hendak membuat peraturan yang akan mereka sepakati bersama.

"Baik. Tapi ingat, kau tidak boleh melarangku untuk melakukan apa pun yang aku mau di masa depan." Lanjut Shela.

"Kita akan menikah di atas kertas dan aku tidak mau jika nanti kita harus tidur seranjang." Kata Darlie.

Shela mencibir. "Seharusnya aku yang berkata begitu."

"Oh, kau juga sama sekali tidak diijinkan untuk menyentuh barang-barangku yang berharga. Kau tidak boleh melarangku untuk membawa gadis-gadis manisku jika aku mengajak mereka ke rumah."

"Iya. Sudah? Hanya itu yang kau mau?" Tanya Shela.

"Kurasa dari saya sudah cukup. Kau ingin aku bagaimana?"

"Syaratku hanya satu. Jangan pernah ada kata jatuh cinta di antara kita berdua." Ujar Shela dengan pandangan mata yang serius.

Darlie terbahak. Ia tidak menyangka bahwa Shela akan mengajukan syarat yang seperti itu. Padahal kan sudah pasti, mana mungkin Darlie akan jatuh hati pada anak kecil yang bahkan tidak tahu cara memuaskan dirinya yang liar di atas kasur.

"Apanya yang lucu?" Tanya Shela. Ia sedikit tersinggung.

"Ngak ada. Aku ngak pernah tahu kalau kau sangat percaya diri seperti itu! Lihat dirimu, mana mungkin aku jatuh hati padamu yang seperti itu." Tunjuk Darlie dari atas sampai ujung kaki Shela.

Shela menyeringai. "Baguslah kalau kau sangat percaya diri dengan hal itu. Aku hanya tidak mau jadi repot jika kau jatuh cinta padaku nantinya." Lugas Shela.

"Tenang saja, aku jamin itu tidak akan terjadi." Darlie berbicara dengan penuh keyakinan. "Sekarang kita tinggal menandatangani kontraknya." Lanjut Darlie.

"Tunggu!" Seru Shela.

"Apa lagi sih?"

"Kita bakalan pura-pura sampai kapan? Seharusnya ada waktu yang pasti untuk kita mengakhiri hubungan kerja sama kita." Jelas Shela.

"Kamu benar. Jika kau menikahi ku, maka hutang keluargamu akan dianggap lunas. Akan tetapi belum tentu aku akan langsung mendapatkan warisan kakek. Berikan aku waktu 2 tahun untuk membangun kepercayaan kakek. Jika ia sudah menjadikan aku sebagai ahli waris, kurasa kita bisa berpisah setelah 2 tahun. Bagaimana?"

"Oke, aku setuju." Ujar Shela mengakhiri pembicaraan mereka.

Mereka pun saling bertukar kertas untuk menandatangani kontrak yang mereka buat di atas materai. Kini hubungan mereka jelas hanya sebagai partner bisnis saja. Shela dan Darlie memastikan bahwa tidak akan ada orang ketiga yang akan mengetahui rencana mereka tersebut.

Shela memang cerdik, ia telah memiliki rencananya sendiri. Ia juga tidak menyangka bahwa Darlie akan mau membuat kontrak pernikahan dengannya. Dengan ini mereka berdua sama-sama diuntungkan.

Shela tak habis pikir, bagaimana jika ia harus tinggal dengan pria yang sering bergonta-ganti pasangan seumur hidupnya. Mungkin hidupnya akan dihabiskan dengan penderitaan saja, tanpa kebebasan. Jadi, dengan inisiatif yang ia lakukan, suatu saat ia akan terlepas dari jeratan pernikahan dan hutang.

Hanya 2 tahun dan ia akan terbebas lagi. Shela hanya perlu bersabar sampai waktu itu tiba. Ia juga akan mendapatkan bonus kasih sayang kedua orang tuannya. Kasih sayang yang selama ini ia idam-idamkan untuk ia dapatkan.

~To be continued


Capítulo 26: Sama-sama menunggu

Diana tahu bahwa kali ini dia tidak mungkin akan bisa lagi menghubungi Polin. Ia tidak ingin terlihat egois dan menjadi wanita yang plin plan.

Walaupun hatinya terasa sesak dan ingin mendengarkan suara Polin, ia menahan diri dengan sekuat tenaganya yang masih tersisa. Baginya, mencintai Polin adalah dengan membiarkannya untuk pergi.

Lain hal Diana, Polin berbeda. Setelah Diana pergi, Polin pun merasa ada yang hilang. Namun ia sedikit gembira. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu bagaimana mau mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya setelah membaca surat yang diberikan untuknya tersebut.

Sudah beberapa tahun terakhir ia memang ingin menyuruh Diana melepaskannya. Meskipun begitu, entah kapan ia sudah menjadi terbiasa dengan adanya Diana yang terus saja mengganggunya.

Diana yang terus menerus mengomel akan hal-hal kecil. Diana yang terus menempel seperti sebuah perangko. Diana yang memprioritaskan dia dari pada pekerjaan yang dipercayakan ayahnya untuk ia kerjakan.

Polin terus berkendara dan akhirnya tiba di depan restoran Leftbank. Ia juga tidak tahu mengapa ia berhenti di depan restoran tersebut. Polin menyukai daging dan Diana vegetarian.

Ia teringat. Tidak pernah sekali pun dia mengalah untuk Diana. Selama ini mereka selalu makan di tempat yang menyajikan steak dan segala macam olahan daging. Diana tetap mau menemaninya. Padahal Polin tidak pernah sekali pun mengalah untuk mencoba apa yang Diana sukai.

Satu-satunya hari dimana Polin membawa ia ke restoran yang menyajikan sajian vegetarian, hanya saat ketika ia sangat penasaran akan keberadaan Shela. Sehingga mereka sampai di Leftbank.

Polin tersadar bahwa tidak pernah sekali pun ia berusaha untuk menyenangkan Diana pada saat mereka masih dalam status bertunangan.

Polin pun keluar dari mobilnya. Ia menatap papan nama restoran tersebut, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran. Karena restoran itu menyajikan makanan secara prasmanan, Polin langsung menuju ke tempat di mana piring dan alat makan lainnya disediakan.

Ia kemudian menuju ke tempat sajian vegetarian dan mengambil semua menu vegetarian yang ada. Pada dasarnya Polin tidak terlalu suka dengan sayur-sayuran yang diolah dengan kadar garam yang rendah, dimana rasa sayur-sayuran terasa begitu menyengat.

Ketika ia hendak akan memakan sayuran sebagai hidangan utamanya, ia selalu akan merasa seperti seekor sapi yang sedang menikmati rumput hijau. Meskipun demikian, tidak ada angin atau pun hujan, ia mencoba menikmati segala yang ia benci tersebut.

Seorang wanita blasteran kemudian tersenyum saat melihat wajah Polin yang terlihat sedang memaksakan dirinya, untuk menikmati sesuatu yang tidak disukainya.

Wajah Polin mengerucut sambil mengunyah makanan yang ada di depan matanya secara perlahan.

Wanita itu terus memperhatikan Polin saat pertama kali Polin terlihat mengambil segala macam hidangan vegetarian dan menumpuk makanan itu di atas meja makannya. Ia merasa telah mendapatkan tontonan yang menarik dari ekspresi wajah Polin yang selalu berubah-ubah.

Ia terlihat tegas, ada perasaan sedih yang tampak dari matanya. Namun ketidak-sukaannya dengan hidangan yang ia ambil tampak begitu jelas.

Wanita blasteran itu pun menghampiri Polin. Ia berbicara dengan menggunakan bahasa inggris. "Boleh saya duduk di meja anda?" Tanya wanita itu dengan sopan.

Polin diam saja. Ia melirik wanita tersebut, lalu fokus kembali dengan makanannya. Wanita itu semakin tertantang. Tanpa persetujuan Polin, ia pun duduk di hadapan pria yang tidak dikenalnya tersebut.

"Aku tahu kamu akan mengijinkan ku duduk." Ujar wanita itu dengan penuh percaya diri.

Lagi-lagi Polin diam saja, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kenyataannya ia tidak begitu peduli dengan keberadaan wanita tersebut. Entah ia akan duduk atau tidak, Polin sama sekali tidak masalah.

Ia sedang ingin sendirian, akan tetapi ia tidak bisa berkata bahwa ia butuh waktu sendiri dan tidak ingin berbicara dengan siapa pun saat itu. Pada dasarnya Polin adalah orang yang ramah. Namun ia memang sulit dimengerti.

"Ngomong-ngomong namaku Ema. Kamu orang Indonesia ya?" Wanita itu muncul dengan banyak pertanyaan sambil terus menatap Polin yang enggan untuk berbicara.

Polin melirik, kemudian menunduk lagi. Polin sama sekali tidak mengerti dengan tingkah lakunya sendiri. Yang ada di pikirannya saat itu, 'Apakah selama ini aku mencintai Diana?'

"Hmm, pasti tebakanku benar kan?" Katanya wanita itu lagi. Kemudian wanita itu mulai bercerita banyak hal tanpa ada balasan apa pun dari Polin.

"Mamaku orang Indonesia. Tapi aku tidak terlalu mengetahui bahasa Indo karena dari kecil aku tinggal di sini. Kadang kami akan liburan ke kampung halaman mama, hmm... cuma beberapa hari juga sih. Kalau kau gimana?"

"Maaf, aku sedang tidak tertarik untuk membahas apa pun denganmu, nona Ema." Akhirnya Polin mengeluarkan sepatah kata. Akan tetapi, kata-katanya terdengar sedikit menyakitkan bagi seseorang yang telah berusaha untuk mendekati dirinya.

"Wow, perkataanmu pedas seperti ibuku yah!" Lanjut Ema.

"Well, ngak apa-apa. Aku bisa mengerti. Kalau orang lagi putus cinta memang kata-katanya radar-radar nyakitin." Canda Ema tepat sasaran.

Polin menatap Ema seperti mau menerkamnya. Ema sadar bahwa yang ia katakan benar adanya. "Jadi tebakanku benar ya." Ujar Ema sedikit puas. Ia sungguh menguji kesabaran Polin saat itu.

Polin tidak ingin berdebat lagi. Ia mengambil hidangan makanannya, hendak berdiri dari tempatnya. Ema pun segera menahan tangan Polin yang memegang piring yang berisi segala jenis makanan vegetarian.

"Aku wanita yang pernah tidur dengan Darlie." Tegas Ema.

Polin sedikit terkejut, ia duduk kembali di kursinya. "Apa maumu?" Polin to the point.

"Mau ku ajarkan bagaimana cara menikmati makanan yang ada di hadapanmu itu?" Kata Ema dengan tersenyum mengalihkan topik pembicaraan.

"Apa kau mengikutiku dari tadi?" Polin melepaskan sendok dan garpu yang ada di tangannya. Ia meniki kedua tangannya sejajar dada hendak menginterogasi Ema.

"Ngak. Kamu jangan kege'eran. Aku hanya tidak sengaja melihatmu di restoran ini."

"Terus? Aku sudah banyak mengurusi wanita yang pernah tidur dengan Darlie. Sebaiknya kau berbicara langsung saja. Kau ingin berapa?" Ujar Polin.

Polin tidak menyangka bahwa ia masih harus mengurusi para wanita yang telah Darlie kencani. Namun sudah menjadi kebiasaan, bahwa dialah yang akan dicari para wanita tersebut, jika Darlie menghilang.

Ema tersenyum sinis. Ia tidak menyangka bahwa Polin sungguh kasar. "Pantasan aja kamu ditinggalkan ya!"

Sedikit geram. Polin menghela nafas. Ia tidak bisa melimpahkan kekesalannya pada wanita itu. Dia harus ingat bahwa dia adalah pria yang dewasa.

"Kenapa diam? Oh, aku rasa apa yang aku katakan memang benar. Aku ngak bakalan minta duit kok. Lagi pula aku memiliki banyak. Tapi, bagaimana jika tunangan dari Darlie tahu bahwa orang yang akan dia nikahi ternyata adalah playboy?"

Mendengar perkataan Ema, retina mata Polin melebar.

~To be continued


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C25
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank 200+ Ranking de Potência
    Stone 0 Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login

    tip Comentário de parágrafo

    O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.

    Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.

    Entendi