Gadis yang boleh memiliki akses informasi di tempat ini adalah yang sudah bekerja minimal satu tahun dan aku belum ada satu bulan, jadi aku harus menahan diri untuk bisa melakukan apapun dengan ponsel.
"Kau ingin menghubungi seseorang?" Tanya Amel saat aku duduk memeluk lutut menatap ke jendela luar yang terbuka.
"Tidak." Gelengku.
"Aku punya kekasih, Alfons namanya." Ujar Amellia.
"Apa kau gila?" Tanyaku terkejut.
"Kami bertemu seminggu sekali di klub malam, itu adalah tempat kerjanya."
"Oh . . . apa Mss. Parrish tahu soal ini?"
"Tentu saja tidak, tidak ada yang tahu selain kau."
"Jadi bagaimana kalian menjalin hubungan sembunyi-sembunyi itu?" Tanyaku dan Amel berpindah posisi, dia ikut duduk di atas ranjangku, kami sama-sama memeluk lutut melihat ke jendela luar.
"Kami menikmati short session di kamarmandi tempat Alfons bekerja setiap rabu."
"Kau yakin Alfons mencintaimu?"
"Ya . . ."
"Bagaimana bisa?"
"Tidak ada pria yang bisa mencintai wanita seperti kita, dan aku merasa Alfons bisa menerimaku apa adanya."
"Kau sungguh luar biasa."
"Jika kau ingin menghubungi seseorang, aku bisa meminjamkan ponselku."
"Benarkah?" Aku mengingat bahwa setelah keluar dari kamar itu tadi aku menerima gulungan kertas dari Joel, dan itu berisi nomor kontak pribadi Richman. Mungkin aku bisa mengatakan langsung padanya untuk berhenti membuang-buang uangnya demi aku.
"Jika kau tidak keberatan bolehkah aku meminjamnya sekarang."
"Tentu. Pakailah selagi aku mandi." Amel mengambilkan ponselnya itu dan bergegas ke kamar mandi. Aku segera membuka gulungan kertas yang ku simpan di dalam laci di sebuah kotak tempat perhiasan. Meski aku tidak memiliki satupun perhiasan, tapi kertas itu adalah milikku paling berharga saat ini.
Aku menulis nomor itu dilayar dan menekan panggil. Tak lama aku dengar nada disambungkan, beberapa kali, sampai kudengar suara seorang wanita.
"Halo." Suara wanita itu terdengar sangat ramah.
"Halo . . . " Jawabku ragu. "Bisakah aku bicara pada Mr . . ." Aku tidak mungkin menyebut nama Richman, karena itu bukan namanya.
"Ya . . . ." Wanita itu tampak menunggu aku menyelesaikan kalimatku.
"Em . . . Lupakan. Aku tidak tahu siapa nama bosmu nona muda." Aku mengakhiri panggilanku dan meletakkan ponsel Amellia di atas bantalnya. Kemudian meringkuk di tempat tidurku dan kurasa aku harus mengubur dalam-dalam mimpiku bicara pada pria itu, karena yang dia tinggalkan di agensi adalah nomor asistennya. Tentusaja orang sekaya itu tidak akan membagi nomornya sembarangan, lagipula aku mungkin hanya bagian kecil dari hidupnya. Dunianya terlalu luas untuk dipahami berbeda dengan kami yang hanya bangun untuk makan dan memuaskan hasrat pria hidung belang, sisanya kami habiskan untuk membersihkan diri dan tidur.
"Kau sudah selesai menelepon?" Tanya Amel.
"Sudah."
"Siapa yang kau hubungi, mengapa begitu cepat?"
"Ibu pantiku, kurasa dia akan pergi tidur jadi aku hanya bertanya kabarnya."
"Oh . . ."
"Terimakasih." Aku tersenyum pada Amell sebelum menarik selimut dan membungkus seluruh tubuhku termasuk kepalaku dan menangis dibawah selimut hingga tidak ada orang yang menyadarinya, karena Amell mungkin berpikir bahwa aku sudah tidur.
"Bell . . . . kurasa ibu pantimu menghubungimu." Cristabell menggoyangkan tubuhku dan aku segera mengelap mataku kemudian membuka selimutku.
"Ya . . ."
"Nomor baru, menghubungi ponselku. Dan aku tidak mengenal nomor ini."
"Mungkin saja keluargamu."
"Aku hanya memberikan nomor ini pada Alfons, dan hanya Alfons yang bisa menghubungi ponsel ini dan ini jelas bukan nomornya. Angkatlah." Amell menyodorkan ponsel itu dan dengan ragu aku mengambilnya, nomor ini bukan nomor yang aku hubungi tadi, tapi karena argumen Amell maka aku mengangkatnya.
"Halo . . ."Suara berat terdengar di seberang, jantungku berhenti berdetak mendengar suara itu lagi setelah beberapa hari suara itu seperti ilusi yang kualami berulang-ulang.
"Ha . . halo." Aku tergagap.
"Ini nomor ponselmu?" Tanya pria itu.
"Bukan." Jawabku singkat, aku tidak punya nafas yang cukup panjang untuk bisa mengatakan satu kalimat panjang.
"Kau menghubungi asistenku tadi?"
"Ya." Aku menarik nafas dalam. "Kupikir itu nomor ponsel anda."
"Apa yang ingin kau katakan?" Tanyanya dengan nada yang datar.
"Aku . . . " Aku menarik nafas dalam "Aku ingin anda berhenti menghabiskan uang untuk hal-hal tidak berguna."
"Contohnya?" Dia meminta contoh, ah . . . apa dia tidak tahu betapa aku sulit untuk mengutarakan maksudku begitu bicara langsung dengannya.
"Misalnya berhenti mengunjungi tempat seperti ini untuk mendapatkan kepuasan seksual." Ujarku liar.
"Siapa kau sampai berhak mengatur hidupku?" Tanyanya lagi dan aku teridam. Tentu saja jika pertanyaanya seperti itu aku tidak akan bisa menjawabnya.
"Aku bukan siapa-siapa." Jawabku lirih.
"Lalu apa hakmu?" Tanyanya dingin.
Aku menelan ludah "Aku tidak punya hak apa-apa." Jawabku putus asa. Tapi dia tak tampak menyerah untuk membuatku sadar akan posisiku saat mengatakan semua itu padanya. "Uang yang ku hamburkan uang siapa?" Tanyanya lagi.
"Uangmu."
"Jadi itu hak siapa untuk menghamburkannya?"
"Hakmu."
"Ok, semua clear. Uangku, hiduppu, dan sepenuhnya hakku, apapun yang akan kulakukan dalam hidupku, belum ada orang yang berani memberikan interfensi tanpa ijinku."
"Tapi ini menyangkut diriku." Aku berusaha melawan balik.
"Oh ya . . .?" Tanyanya.
"Iya, pertama kau datang dengan uang sebanyak itu untuk memesanku dan kita hanya berakhir dengan mengobrol."
"Ok, lalu?"
"Lalu tadi anda mengirim supir anda untuk memesanku."
"Jadi pria bodoh itu mengatakan siapa dirinya?"
"Tentu saja. Aku bahkan titip pesan padanya untukmu supaya anda berhenti menghamburkan uang untuk memesan wanita seperti kami, pilih salah satu dan nikahi dia, anda akan dipuaskan setiap saat seperti yang anda inginkan tanpa membayar."
"Aku tidak menikahi wanita untuk sex."
"Lalu kenapa kau menghamburkan uangmu dan membuatku tidak laku."
"Tidak laku?" Suaranya meninggi. "Tanya pada agensimu berapa penghasilanmu dengan melakukan show dua hari. Berapa besar keuntungan agensi karena menjualmu."
"Aku tidak peduli pada agensi, aku peduli pada anda."
"Kenapa kau peduli?"
Aku menelan ludah. "Entahlah . . . Aku hanya merasa tidak seharusnya anda menghamburkan uang anda untukku." Aku menjeda kalimatku dan dia juga tidak mengatakan apapun. "Aku bukan Gabrielle Zein." Bisikku lirih.
"Dari mana kau tahu nama itu?" Suaranya menjadi parau.
Aku menarik nafas dalam. "Aku tahu karena aku hidup dalam kehidupan yang pernah dia jalani di tempat yang sama, jadi sangat mungkin bagiku untuk tahu tentangnya."
"Aku tidak ingin kau menyebut nama itu lagi saat bicara denganku."
"Aku bahkan tidak ingin bicara lagi denganmu. Jadi berhenti datang ke tempat ini." Pungkasku dan dia tidak berargumen. Dia diam, dan aku menyesal mengatakannya, aku bahkan lebih senang mendengarnya meski dia mengomel daripada dia diam seperti ini.
"Kau pria kaya, kau terlahir sempurna dengan kehidupan yang sama sempurnyanya dengan ketampananmu, jadi jangan membuat bagian buruk dalam catatan kehidupanmu dengan bergaul di tempat-tempat seperti ini."
"Kau tidak tahu apa yang kau katakan nona muda."
"Kurasa pembicaraan kita tidak akan berujung baik, jadi akan kuakhiri pembicaraanini." Ucapku.
"Jangan biarkan pria lain menyentuhmu, setidaknya sampai usiamu duapuluh tahun. Setidaknya berhenti mengobral dirimu sampai tiga hari kedepan."
Aku terhenyak, duapuluh tahunku akan terjadi tiga hari dari sekarang. Dan dia tahu itu, darimana dia tahu bahwa aku akan genap berusia duapuluh tahun tiga hari lagi.
"Anda tahu kapan aku berulangtahun?"
"Jangan banyak bicara, cukup pahami perintahku dan lakukan. Aku akan berusaha dengan semua kemampuanku untuk menjauhkan tangan pria hidungbelang darimu sampai kau genap berusia duapuluh tahun."
"Termasuk dari tangan anda sendiri?"
"Ya." Jawabnya ketus.
"Ok . . ."
"Pergilah tidur, sampai jumpa besok."
"Anda akan datang besok?" Tanyaku penuh harap.
"Jika bukan aku maka akan ada pria yang memesanmu dan membiarkanmu duduk diam di dalam kamar selama satu jam tanpa membuka satu kancingpun dari bajumu."
Aku menghela nafas dalam. "Ok."
"Tidurlah, dan jika nomor ini menghubungi, maka itu aku." Katanya dan entah mengapa pipiku terasa memanas saat dia mengatakan kalimat itu. Mungkin aku tersipu malu.
"Bye Mr. Richman." Aku berharap dia mengkoreksi dengan menyebutkan nama aslinya, tapi dia tidak melakukan itu.
"Bye."
Dia hanya mengakhiri panggilannya, dan aku menyerahkan ponsel itu pada Amell. Rupanya dia menyimak pembicaraan kami, dan saat aku mengembalikan ponselnya Amell tersenyum padaku.
"Kau tahu, wajahmu merona." Katanya dan aku segera menutup pipiku dengan kedua tanganku.
"Tidak mungkin." Kataku.
"Pria itu sangat terobsesi padamu hah?" Tanya Amell.
"Entahlah." Aku merasa sangat malu membahasnya dengan Amellia.
"Dia sangat menginginkanmu kurasa, sampai dia menghubungimu secara pribadi. Atau kalian ingin mencoba tipsku dengan Alfons? Pergi ke klub malam murahan untuk berpesta dan sembunyi-sembunyi bertemu di tempat itu untuk bercinta."
Oh andai kau tahu bahwa pria itu adalah Richman, pria super kaya yang tidak mungkin sudi datang ke klub malam murahan demi diriku.
"Siapa nama pria itu?" Tanya Amell.
"Aku belum menanyakannya."
"OH . . . kau harus memulai langkah baru, lupakan Richman itu, dan nikmati berhubungan dengan pria biasa. Seperti klienmu malam ini, mungkin dia pria yang benar-benar menginginkanmu."
"Kurasa begitu." Aku mengangguk, dan segera kembali ke atas ranjangku. Pembicaraan tentang pria itu harus kusudahi agar Amellia tidak tahu bahwa sebenarnya yang menghubungiku adalah Richman.
Aku menarik selimut dan menutupi wajahku.
"Night." Kataku dan Amel menjawab dengan mengatakan kata yang sama. Tapi aku justru tersenyum sumringah dibalik selimut. Kurasa aku benar-benar akan bermimpi indah malam ini. Karena Richman, pria itu benar-benar misterius seperti tokoh badman. Dia gelap, misterius dan sulit ditebak, tapi dia datang untuk menyelamatkan, dan dia datang untukku.