Dengan diantar oleh Seruni, Nirmala kini sudah aman. Margasari yang melihat kondisi Nirmala yang terlihat baik-baik saja merasa bahagia bukan kepalang. Dia menyambut pertemuan dengan sahabatnya itu dengan penuh suka cita. Sementara Jayendra, Utkarsa, serta Utpala turut berada di sisi mereka.
Seruni yang melihat keberadaan Jayendra langsung menaiki kudanya dan pergi menjauh dari mereka.
"Seruni... Tunggu...!" seru Jayendra. Dia pun turut mengejarnya dengan menunggang kudanya sendiri.
"Ada apa ini?" Tanya Margasari keheranan.
"Ternyata mereka sudah saling kenal ya?" ujar Nirmala.
"Dari cara mereka saling tatap, sepertinya mereka bukan hanya saling kenal. Tetapi saling mencintai," ujar Utkarsa tersenyum.
"Kalau saling mencintai, kenapa dia lari?" tanya Margasari.
"Dia pasti cemburu melihat kekasihnya bersama wanita lain," ujar Utkarsa menimpali.
Seruni melajukan kudanya semakin cepat, melewati jalan setapak pemukiman penduduk hingga memasuki perkebunan kopi dan berlanjut menembus hutan jati. Sementara Jayendra menyusul di belakang tak kalah cepatnya. Laju kuda yang cepat membuat tubuh Jayendra terguncang-guncang. Orang yang belum terlalu mahir berkuda, bisa saja jatuh karena kehilangan keseimbangan. Namun, tidak bagi Jayendra yang sudah sangat lihai mengendarai kuda. Dengan pandangan mata menatap tajam ke depan, kini Seruni mulai terlihat. Dipegangnya tali kekang kuda erat-erat sebelum dia semakin menambah kecepatannya. Kali ini dia tidak akan membiarkan Seruni menghilang lagi.
Jalan setapak terbentuk dari banyak dan seringnya langkah kaki memijak, sehingga menampakkan bagian tanah secara langsung yang membelah rerumputan dan semak belukar. Namun adakalanya jalan setapak berujung pada kebuntuan. Jurang menganga memutus jalur yang dilalui mereka berdua. Seruni mulai memperhitungkan keputusannya untuk melompat dari kuda ketika mulai menyadari keberadaan jurang tersebut yang sudah semakin dekat di depannya. Dia tahu pasti, kuda yang ditungganginya akan berhenti secara mendadak sementara tubuhnya pasti terhempas ke mulut jurang. Seruni bergegas untuk melompat darurat ke samping kanan ketika tinggal lima langkah lagi kudanya meringkik berhenti mendadak di bibir jurang. Jayendra seketika turut menghentikan kuda dan bergegas turun. "Seruni...!" teriaknya.
Terlihat tubuh seruni yang sudah tergeletak pingsan dengan posisi tengkurap diantara rerumputan. Jayendra berlari mendekat kemudian menggulingkan tubuh Seruni perlahan. Dia terkejut ketika mendapati bagian depan kepalanya berdarah. Batu besar yang tersembunyi dibalik semak adalah penyebabnya. Seruni telah melompat darurat dengan salah perhitungan.
Jayendra memangku kepalanya, merobek kain lengan bajunya sendiri untuk diikatkan pada kepala Seruni berharap darah tidak lagi keluar terlalu banyak. Ada sedikit perasaan bersalah dalam dirinya. Dia semakin menyesali, bahwa sejatinya pengkal dari masalah yang berujung pada musibah ini disebabkan oleh dirinya sendiri. Tetapi itu nanti saja, mengembalikan kesadaran Seruni adalah hal paling pentingnya sekarang. Kini dia harus membawa Seruni ke Mandi Wunga untuk segera mendapatkan perawatan dan pengobatan di rumah Sunda Manda.
***
Berita tentang tragedi di Lembah Gampit telah sampai ke telinga Mahaguru Sutaredja, Lingga, dan juga Saksana yang masih berada di Wisma Tamu komplek Istana. Kabar itu tentu saja berita baik bagi Istana. Sebab, itu merupakan salah satu prestasi besar dari para punggawanya. Tetapi bagi Mahaguru, itu hanya berita setengah baik. Baginya berita tersebut hanya obat penenang sementara. Sebab, buronan utamanya, Saga Winata, belum juga ditemukan.
Di ruang tengah, Mahaguru terlihat larut dalam lamunan. Lingga sangat memahami apa yang sedang gurunya pikirkan itu, beliau pasti kecewa mendengar berita yang hasilnya tidak terlalu diharapkan.
"Saksana, bantu pijit pundak Kakek Guru, Cepat...!" bisik Lingga menyuruh adik seperguruannya itu.
"Kenapa tidak Kakang saja?" bantahnya.
"Sudah, ayo jangan membantah."
Saksana terpaksa menuruti perintah Lingga sambil menggerutu pelan, "mentang-mentang aku adik termuda di sini, semua yang melelahkan harus aku."
"Sudah jangan mengeluh, aku juga tidak diam." Lingga mengambil sebuah mug keramik dari rak gerabah. kemudian menuangkan teh panas dari dalam ceret yang sebelumnya sudah dia masak di tungku perapian.
Saksana mendekati gurunya yang tengah hanyut dalam lamunannya itu. "Kakek Guru, biar aku pijit pundaknya, ya?" tanya Saksana membuyarkan lamunan Sang Guru.
Mahaguru memutar badannya sambil menepuk pundak bagian belakangnya sendiri sebagai isyarat untuk mempersilakan Saksana memijitnya.
Lingga mendekati Sang Guru dengan membawa Mug berisi teh panas racikannya sendiri, kemudian diletakannya Mug itu di meja Mahaguru.
"Ini, Aku sudah membuatkan teh untuk Kakek Guru. Silakan diminum... Maaf hanya teh pahit, disini tidak tersedia tebu,"
"Oh, terima kasih, Lingga. Tidak apa-apa, Aku memang lebih suka teh yang tanpa pemanis," ucap Sang Guru sambil kemudian meraih Mug hendak menyeruput tehnya. Saksana menghentikan pijitannya selagi gurunya menyeruput teh.
"Hati-hati masih panas, Kakek Guru...!" ucap Lingga.
"Namanya juga teh panas , kalau sudah dingin baru diminum namanya teh dingin," celoteh Sang Guru yang membuat Lingga dan Saksana tertawa kecil. Saksana kemudian melanjutkan pijitannya ketika gurunya meletakan kembali teh itu di mejanya usai tiga kali menyeruput.
"Duduklah, Lingga!" perintah Sang Guru. Lingga pun duduk berhadapan di seberang meja.
"Bagaimana sikap kita sekarang, Kakek Guru?" tanya Lingga membuka topik pembicaraan.
"Kita tunggu saja kabar dari kakak seperguruan kalian,"
"Tetapi hingga sekarang belum ada kabar apapun dari Kakang Jayendra, Kakek Guru..., kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi."
"Sebenarnya aku pun ingin sekali turut mencari buronan itu. Tetapi peraturan istana mewajibkan pelapor untuk turut menyaksikan eksekusi mati yang akan dilakukan besok. Kalau kamu mau ikut menyusul kakakmu, silakan saja, Lingga. Tetapi, aku masih harus tetap berada di sini."
"Aku juga ingin tetap di sini, Kakek Guru...!" celetuk Saksana.
"Aku hanya takut Kakang Jayendra tidak benar-benar mencari buronan itu, melainkan hanya fokus mencari keberadaan wanita yang baru dikenalnya tempo hari."
"Lingga, kamu tidak boleh berkata seperti itu kepada Kakak mu. Aku kenal watak Jayendra. Dia tidak mungkin membuyarkan tujuan utamanya hanya karena perempuan."
"Iya, Maaf, Kakek Guru." ucap Lingga menyesal.
"Hukumannya pasti akan tetap dilakukan besok, karena batas waktunya sudah tiba sedangkan Saga Winata belum juga ditemukan," ujar Sang Guru. "Lingga, kalau kamu mau turut mencari buronan itu, pergilah besok..., Tetapi jangan lupa untuk mampir ke Galunggung. Hanya untuk memastikan bahwa para saudara perguruanmu aman."
"Baiklah, Kakek Guru...!" ucap Lingga menuruti. "Saksana, kamu benar tidak mau ikut?"
"Tidak...! kalau aku ikut, siapa yang akan memijit Kakek Guru...!" gurau Saksana.
"Oh iya satu lagi. sampaikan kepada dua orang murid yang kemarin menjadi kusir kita, supaya tidak perlu menjemput. Aku dan Saksana akan pulang dua hari lagi menunggang kuda sendiri saja."
"Baik, Kakek Guru...!"
***
Di jalan Pasar Kotaraja, rombongan Mahapatih Adimukti Nataprawira, Tumenggung Aria Laksam, dan Senopati Citra Wayang telah tiba dengan membawa sisa-sisa perampok yang baru saja ditangkapnya dalam peristiwa Lembah Gampit. Para warga yang menyaksikannya bersorak sorai menyambutnya dengan penuh rasa bangga "Hidup Gusti Patih...! Hidup Gusti Tumenggung...! Hidup Gusti Senopati...!" kalimat itu diserukan berulang-ulang oleh seluruh masyarakat yang menyambutnya. Sesampainya pada pintu gerbang istana, para pasukan penjaga pun menbuka gerbangnya dan berbaris memberi hormat.
"Lihatlah, Gusti Tumenggung. Masyarakat sangat bangga terhadap prestasi kita," ujar Senopati Citra Wayang.
"Benar, apalagi kaum pedagang yang selama ini merasa terancam oleh keberadaan para perampok. Kini mereka sedikit lega atas berkurangnya kesulitan mereka dalam berniaga," ujar Tumenggung Aria laksam menimpali.
"Jangan pernah berbangga diri sebelum tujuan utama tercapai. Jangan lengah oleh kebanggaan semu. Ini hanya batu loncatan, bukan prestasi besar," ujar Mahapatih berpetuah.
"Maaf, Gusti Patih...!" ucap Tumenggung.
***
"Jangan lengah, ini bukan prestasi besar"