Baixar aplicativo
10.81% La Bestia Dentro / Chapter 4: The Children

Capítulo 4: The Children

Setelah kejadian itu, Joshua mulai berhenti mendatangiku. Tidak ada lagi telefon ke rumah, sosoknya disetiap pagi di depan rumahku, atau yang mendampingiku selama di taman di sore hari. Aku akui, aku sangat sedih. Aku jadi sangat kesepian.

Tetapi, bukankah ini yang kuinginkan?

Sesekali, aku berpapasan dengan Joshua. Dia masih melirikku atau malah menatapku dalam meski tidak mengatakan apapun. Dia tidak membuang muka atau sedikit pun menunjukan kebencian. Tetapi aku bisa merasa kalau dia sebetulnya marah dan kecewa padaku. Aku hanya bisa menunduk malu dan pergi begitu saja darinya. Dia tidak mengejarku.

Kulihat juga dia mulai bermain dengan anak-anak laki-laki di komplek sini. Mereka yang sering mengejekku. Aku pernah melewati gerombolan itu dan Joshua ada di dalamnya. Mereka mulai melempar ejekan di sana dan sini tetapi tidak kudengar suara Joshua ikut dalamnya.

Dia diam saja sambil menatapku. Tidak, bahkan setiap kali aku melihatnya dengan mereka, dia tidak pernah terlihat bahagia. Mana wajah senang yang seperti dia tunjukan padaku? Apa dia tidak bahagia?

Aku malah jadi semakin merasa bersalah.

Ketika aku berjalan pulang, kulihat Tante Widya di depan rumahku sedang mengobrol dengan mama. Mereka tampak seru membicarakan sesuatu, terlihat dari ekspresi wajah mereka. Aku jadi teringat sesuatu, sudah lama aku tidak bertemu Tante Widya. Pertemuan akhirku dengannya berakhir tidak sopan karena aku pergi begitu saja. Kali ini, aku harus menyapanya.

"Halo, tante..." sapaku.

"Cherie! Lama gak ketemu, sayang. Baru pulang les?" balasnya. Tante Widya selalu baik seperti biasanya.

"Hehe, iya..." jawabku kecut.

"Cherie, tante mau tanya sesuatu. Kamu berantem ya sama Jo?"

Pertanyaan tante berhasil menghentikan tanganku yang hendak membuka pagar. Kepalaku tertoleh lemas kepadanya yang penasaran. "Ada apa memangnya, tan?" aku membalasnya lagi dengan pertanyaan. Tidak sopan, aku tahu.

"Ya tante khawatir, soalnya Jo jadi murung terus. Gak ceria lagi kayak waktu ada kamu. Kalau kamu khawatir soal kecelakaan yang kemarin itu, Cher, tante tidak menyalahkan kamu. Sekarang tante cuma khawatir Jo jadi hilang semangat buat belajar dan bermain karena berantem sama kamu" jelas tante.

Tan, tante gak ngerti. Aku justru takut kalau Jo temenan sama aku, hal yang lebih parah lagi terjadi, balasku dalam hati.

"Tapi, tante, Jo udah punya temen baru kok. Aku lihat mereka tadi di taman" sahutku membalas kata-kata tante.

"Oh iya? Tante gak tahu. Jo gak pernah cerita. Biasanya dia cerita kalau ada apa-apa. Kenapa ya? Apa dia sembunyikan sesuatu?"

Tante Widya kelihatan khawatir. Kelihatannya ini memang seperti hal sepele, tetapi jika dia sebegitu kelihatan khawatirnya, aku juga jadi penasaran. Aku pun melihat sendiri jika Joshua tidak bisa membaur bersama mereka. Dia terlihat banyak pasif.

Sesampainya aku di kamar, kubantingkan diri keatas kasur empuk. Mataku menerawang ke langit-langit kamar yang berhiaskan lampu-lampu patch glowing in the dark berbentuk bintang. Entah kenapa detik demi detik, pikiranku semakin terfokus pada Joshua. Hatiku tiba-tiba bersikeras untuk menemuinya sesegera mungkin. Bahkan perasaanku juga memberi alarm untuk hal yang sama. Ada apa ini? Apa karena aku harus meminta maaf padanya? Tidak, aku merasakan ada sesuatu yang lebih berbahaya akan datang. Tapi, apa?

Setelah beberapa menit hanya merenung, aku pun akhirnya membuat keputusan. Aku loncat dari kasur dan bergegas keluar rumah. Aku harus menemuinya, harus menemuinya, perasaanku berkata keras.

Tidak peduli dengan sepatuku yang belum terpasang rapi, atau teriakan mama dari dapur yang bertanya aku mau kemana. Semuanya terasa tidak penting sekarang. Aku harus menemui Joshua.

***

"Lu tuh bisa ngomong gak sih sebetulnya?!" tangan anak yang paling besar itu dengan lihainya menempeleng kepala Joshua. Yang ditempeleng hanya diam saja, meski matanya menatap nanar apapun yang di depannya.

Joshua tetap berdiri tegap dengan posisi dominannya. Menjulangi anak-anak lain karena tinggi tubuhnya yang memang di atas rata-rata anak seumurannya. Mereka yang merasa kalah, berusaha menjatuhkan Joshua.

"Bisu lu, ya?!" tambah seorang yang lain, menendang tulang kering Joshua. Rasanya sakit. Joshua sedikit tersungkur dan memegangi kakinya yang ditendang. Anak-anak itu tertawa mengejek.

"I can only understand standard Bahasa. I don't understand if you keep talking using that language" balas Jo, langsung membuat bingung semua anak yang mendengarnya.

Memang anak-anak di sini bicara dengan bahasa kasar yang mereka pelajari dari internet. Orangtua mereka tampaknya kurang memperhatikan konten apa yang anaknya bisa lihat. Jika anak-anak sudah mempelajari dan mempraktekannya di dunia nyata, orang tua kebanyakan hanya apa? Menegur, memarahi, tapi tidak mengubah karakter anaknya. Hal itu juga yang seharusnya Hanessa syukuri dengan tidak berteman dengan mereka.

"Sok banget sih mentang-mentang orang Inggris!"

"Sombong banget!"

"Iya dah iya, kita mah gak ngerti. Terus aja ngomong pake bahasa lu"

"Ini bukan di Inggris, ngapain pake bahasa Inggris? Pulang aja sana ke negara lu!"

Mereka menyerbu, mulai memukuli Joshua dengan tangan mereka dan mendorongnya. Jo melindungi kepalanya dengan punggung lengannya sambil menahan sakit. Kalau pun bertengkar saat ini, meski secara fisik lebih kuat, Joshua tetap kalah jumlah.

Satu pukulan keras menghantam kepala anak itu hingga dia terjatuh. Pelipisnya berdarah terkena aspal namun hal itu tidak menghentikan anak-anak itu merundunginya. Joshua mengeratkan giginya marah, tetapi dia tidak ingin membalas mereka.

Apa yang dihasilkan dari kebencian yang dibalas dengan kebencian?

Salah satu dari anak itu tiba-tiba mendapat ide. Dia membisikannya ke telinga anak yang paling besar lalu mereka cekikikan. Mereka lalu memberitahukan ide itu pada anak-anak yang lain dan mereka tampaknya setuju. Dan tiba-tiba, iblis menguasai anak-anak itu.

Sebelum Joshua bisa berdiri lagi, dua dari anak-anak itu memegangi tangan remaja bermata biru itu dari belakang. Joshua berusaha menariknya tapi kalah jumlah. Lalu kemudian seorang anak datang membawa tali. Joshua tersentak. Mau apa mereka?

Mereka mengikat tubuh Joshua dengan ketat dengan ikat mati. Joshua tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Seberapapun usahanya, nihil. Joshua mengutuki dirinya yang tidak melayangkan pukulan ke kepala mereka, meski hanya untuk memberi celah untuk kabur. Joshua mengutuki dirinya yang lemah. Joshua mengutuki dirinya yang bergabung dengan mereka karena Hanessa meninggalkannya.

Anak-anak itu mengangkat Joshua ke balik semak-semak tebal. Joshua belum tahu ada apa di balik semak itu sampai dia tiba di sana.

Rel kereta api.

Dengan bengisnya, anak-anak itu mengikat Joshua yang tidak berdaya di atas rel. Lalu mereka tertawa-tawa dengan jahatnya.

Ini sudah diluar batas bercanda.

Tidak adanya pengawasan orang tua, membuat rencana mereka semakin mulus. Joshua masih terus berusaha untuk lepas meskipun tidak satu senti pun tali itu bergerak. Joshua sempat berteriak tetapi seorang anak menutup mulutnya dengan kain sehingga Joshua terpaksa menelan teriakannya kembali.

Semua semakin diperparah ketika suara peringatan kereta akan datang berbunyi. Joshua membelalakkan matanya ngeri. Anak-anak itu segera pergi, untuk mencari aman. Memantau calon korban pembunuhan berencana mereka dari jauh, sekaligus untuk menghindari tuduhan pembunuhan itu kepada mereka.

Toh mereka hanya anak-anak, tidak akan dicurigai, pikir mereka.

Rel mulai bergetar pelan. Kereta itu benar-benar sedang menuju kesini. Joshua terus berteriak tapi tidak ada yang mendengar. Getaran rel semakin keras, kereta semakin mendekat. Joshua masih terus berusaha tapi tetap sia-sia. Dia melirik kepada pembunuh-pembunuhnya di seberang sana. Mereka membuang muka, seperti berkata "Kalau kau mati, itu salahmu sendiri. Kenapa kau buat kami seperti ini".

Kebencian pun mulai menguasai.

Joshua mengerang keras. Terdengar penuh amarah dan kebencian. Tetapi sudah terlambat jika ia ingin memukuli anak-anak itu. Melepaskan diri saja sudah terasa begitu sulit baginya. Joshua mulai berhenti karena semuanya tidak berhasil. Dia menutup matanya pasrah. Jo menelan pahit-pahit perasaannya. Sampai tiba-tiba, suara familiar membangunkannya kembali.

"Joshua!!"

Han. Itu Hanessa. Dia sedang berlari ke arah Joshua. Wajahnya panik, sepatunya bahkan tidak terpakai dengan benar. Dia berlari menghampiri Jo dan langsung berusaha membuka ikatan tali itu.

Tidak behasil, Hanessa pun segera mengambil batu yang terdekat, dan syukurlah batu itu memiliki sisi yang tajam. Hanessa menggunakan batu itu untuk merobek talinya.

Tetapi, meski tajam, Hanessa tetap membutuhkan waktu untuk membuka tali itu. Pertama, gadis itu akhirnya berhasil membuka tali yang mengikat tubuh Joshua dengan rel. Kemudian, dia berusaha membuka yang mengikat kaki Joshua

Joshua sejenak bergeming menatap Hanessa, lalu kembali tersadar jika kereta sudah terlihat di belakang Han. Joshua berteriak di balik kain itu, menyuruh Hanessa untuk pergi. Oh setidaknya mati sendiri lebih baik untuknya daripada tidak mati tetapi melihat orang yang disayangi mati di depan mata.

Joshua terus berteriak sampai tidak menyadari kalau ikatan kakinya sudah lepas. Hanessa pun akhirnya menyadari juga betapa dekatnya kereta itu sekarang. Tetapi, Joshua sudah bisa berlari meski masih dengan tangan terikat dan mulut tersumpal. Dengan cepat, Hanessa mendorong tubuh Joshua ke seberang sana. Tanpa mempedulikan dirinya yang masih berada di tengah rel.

Tubuh Joshua terpelanting ke atas bebatuan di seberang sana. Tidak peduli dengan sakitnya, dia langsung membalikan tubuhnya untuk melihat Hanessa. Hanessa miliknya yang masih di tengah rel.

Joshua terus berteriak agar Hanessa cepat pergi dari situ. Kereta sudah tidak kurang dari 20 meter lagi darinya. Tetapi matanya menangkap sesuatu yang membuat Joshua hampir putus asa.

Kaki Hanessa tersangkut di rel. Meski bisa dilepaskan, tetap membutuhkan waktu. Hanessa berusaha melepaskan kakinya tetapi kaki itu hanya bergerak senti demi senti. Tidak langsung semuanya. Joshua semakin pucat. Keretanya segera datang.

Joshua memekik keras sampai matanya terpejam. Tidak menyaksikan apa yang terjadi setelah itu. Hanya kereta yang melaju cepat tanpa ampun yang menyambutnya ketika dia membuka mata. Joshua terengah-engah. Sosok Hanessa sudah tidak ada di depannya. Kereta masih terus melaju selagi mata Joshua mencari-cari jejak Hanessa. Dan diantara bebatuan dibawah rel itu, mata Joshua melihat bercak darah.


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C4
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login