"Dengan bahan seadanya, saya hanya bisa buat pasta."
Pasta.
Skylar tidak keberatan makan pasta. Bagi orang yang tidak bisa masak, dia tak punya hak untuk protes. Meski dia punya uang untuk beli makanan dari luar, namun dia memutuskan tidak melakukannya lagi. Lagipula, dia juga penasaran bagaimana rasa pasta itu di tangan pelayannya.
Alih-alih duduk dan menunggu, Skylar malah mengambil gelas wine dan menuangkan anggur sendiri ke gelasnya. Dia pun bersandar pada dinding yang memisahkan ruang makan dengan dapur sembali memerhatikan Alexa.
"Kepala koki tadi mengajarimu apa?" Skylar bertanya, seperti orang tua yang ingin tahu kegiatan anaknya di sekolah hari ini. Tidak biasanya dia penasaran dengan urusan orang lain. Hanya karena dia agak penasaran dengan wajah murung gadis itu saat di lift, Skylar mau tak mau berusaha mengorek informasi sehalus mungkin.
Sambil meletakkan panci berisi air ke atas kompor, Alexa menjawab, "Tuan Smith tadi mengajari cara membersihkan udang dan juga cara membuat fillet ikan."
Ada nada riang dan senang yang Skylar tangkap dari jawaban Alexa. Dari sana, dia menyimpulkan kalau gadis itu benar-benar menikmati kegiatannya di dapur restoran hari ini. Berarti, apapun yang membuatnya berwajah murung seperti barusan, bukan berasal dari Tuan Smith.
Gelas winenya digoyangkan sembari mengamati gadis itu memasak. Semua gerakannya terlihat natural, seolah-olah dapur memang tempat paling nyaman yang bisa Alexa dapatkan. Mau tidak mau, Skylar mulai berpikir. Seandainya nanti utang gadis itu sudah lunas semua, apakah Alexa akan mengejar mimpinya menjadi koki di restoran terkenal?
Meski itu adalah kemungkinan terbesar dan yang paling masuk akal, entah mengapa, selain ada perasaan senang dan ingin mendukung, Skylar jadi sedikit tidak rela. Keberadaan Alexa di tempat ini sudah membuatnya sangat terbiasa, walaupun baru berjalan selama tiga bulan. Jika gadis itu sudah tidak bekerja padanya, Skylar pasti merindukan masakan-masakan yang dibuatkan untuknya setiap hari.
Semakin dipikirkan, Skylar semakin merasa tidak rela dan ingin gadis itu terus ada di sini, mencegahnya pergi dari sela-sela sangkar yang dia buat.
Namun, aroma masakan yang mulai tercium hidungnya, menyadarkan Skylar. Membuatnya menjejak pikiran tamak itu jauh-jauh.
Dia sudah terlalu serakah. Meskipun Skylar sendiri yang mengeluarkan banyak uang demi mengeluarkan gadis itu dari tempat kotor bernama pelacuran, tetap saja, memaksanya terus berada di sini meski utangnya sudah lunas adalah hal egois.
Setelah mendengar dan mengetahui keadaan Alexa hingga jadi seperti sekarang, Skylar tak punya pilihan selain bersimpati padanya. Waktu tiga bulan sudah cukup mengubahnya, dari orang yang sangat tak acuh dan dingin, menjadi ingin menjaga Alexa dari kejamnya dunia. Gadis itu masih belia. Sebagai satu-satunya orang terdekat di mana Alexa tak punya keluarga yang bisa diandalkan, Skylar merasa bertanggung jawab atas keselamatannya.
"Makan malamnya sudah siap, Tuan."
Lagi-lagi, Skylar ditarik paksa dari lamunan dengan suara Alexa. Sepasang matanya melihat dua piring berisi spaghetti di sebelah kompor. Dengan segera, perutnya terasa menggeliat dan minta diisi.
Sisa wine di gelas pun dihabiskan, lalu diletakkan di dalam wastafel. Tidak seperti biasanya, alih-alih langsung menuju ruang makan dan menunggu Alexa membawakan makanan, Skylar mengambil dua piring tersebut dan membawanya ke ruang makan.
"Tu-Tuan, biar saya saja yang bawa…"
Sayangnya, Skylar tidak peduli dan terus melangkah ke meja makan. "Bawakan saja minumannya. Aku mau jus sisa tadi siang. Masih ada, kan?"
Sikap tuannya membuat Alexa tercengang selama beberapa saat. Apa yang terjadi sampai-sampai membawa piring makanan sendiri ke meja makan? Ini pertama kalinya Alexa melihat, wajar jika dia sempat tercengang beberapa saat.
Begitu tersadar, dia segera mengambil dua gelas dan diisi oleh jus sisa tadi siang yang masih disimpan di kulkas. Dengan dua gelas jus alpukat di tangan, Alexa cepat-cepat menuju meja makan. Sampai di ruang makan pun, dia kaget melihat piringnya berada di sebelah piring tuannya. Biasanya, Alexa selalu mengambil jarak satu kursi jika sedang makan bersama seperti ini. Namun, dia tidak protes dan memutuskan tutup mulut, menuruti kemauan tuannya tanpa banyak bertanya.
Keduanya segera makan begitu Alexa sudah duduk di kursinya. Skylar langsung memutar garpu di piring, menggulung pasta. Penampilan piring di depannya memang tidak seistimewa karya para koki di bawah. Tapi, siapa yang peduli dengan visualisasi makanan jika pada akhirnya, hiasan-hiasan itu tak diliriknya. Lagipula, makan malamnya kali ini ditujukan mengisi perut, bukan untuk difoto dan dijadikan blog makanan.
Seperti biasa, masakan buatan pelayannya terasa enak. Tidak ada protes sama sekali seiring tangannya membawa gulungan spaghetti kedua ke dalam mulut. Kerang yang sudah dimasak dengan baik tak terasa hambar.
Sayangnya, berbeda dengan Alexa. Gadis itu tampak masih memikirkan apa yang dikatakan Emy sebelum dia meninggalkan dapur restoran beberapa saat lalu.
Memang benar dia masih belum mengetahui banyak teknik memasak. Kemampuannya memasak sekarang didapatkan dengan belajar otodidak. Tapi, apakah benar masakannya tidak akan terasa enak jika teknik memasaknya salah?
Setelah mengumpulkan keberanian, Alexa memutuskan bertanya. Genggaman pada garpunya menguat, kemudian dia menoleh ke arah sang pemuda di sampingnya.
"Tuan…"
"Hm?" Skylar masih menikmati kerang di piringnya dan tidak menanggapi terlalu jauh. Jika gadis itu ingin mengatakan sesuatu, maka katakan. Skylar hanya perlu mendengarnya.
"Masakan saya dengan masakan koki di bawah … lebih enak mana?"
Tepat setelah Alexa menutup mulut dan mengakhiri kalimatnya, dia merasa itu adalah pertanyaan paling bodoh yang tidak perlu ditanyakan. Dia mendadak ingin menarik kembali pertanyaan itu, namun waktu tidak bisa diputar kembali. Kini Alexa hanya bisa menunduk sambil menahan malu dan memaki kebodohan dirinya sendiri di dalam hati.
"Tentu saja masakan koki di bawah." Pemuda itu menjawab tanpa ragu, bahkan tidak ada waktu yang diambil untuk berpikir.
Kalimatnya tidak salah. Bagaimana mungkin masakan orang yang hanya belajar masak secara otodidak bisa dibandingkan dengan masakan koki profesional yang bahkan sudah menggeluti pekerjaannya selama puluhan tahun. Alexa bahkan masih belum 20 tahun.
Tentu saja, mendengar kalimat jawaban tersebut, Alexa sudah menduga. Walau begitu, dia tetap merasa tertohok dalam. Tidak menyangka jika jawaban jujur tuannya sedikit melukai hatinya.
Menyadari perubahan ekspresi pelayannya, Skylar jadi sedikit tidak enak. Dia tidak terbiasa berbohong demi menghibur seseorang.
"Tapi aku lebih suka masakan buatanmu," tambahnya mendadak.
Kalimat itu bukanlah sebuah kebohongan. Skylar memang lebih senang makan masakan buatan Alexa. Meskipun ada faktor bosan dengan menu dari restoran di bawah, namun dia juga punya alasan lain yang membuatnya memilih masakan buatan Alexa.
"Eh? Tapi tadi Tuan bilang kalau lebih enak masakan koki di bawah…"
"Memang. Tapi aku tidak bilang masakanmu tidak enak." Ada jeda sejenak, karena Skylar mengunyah spaghetti di dalam mulutnya. Dia tahu kalau dirinya berutang penjelasan, karena Alexa tampak tidak puas dengan jawabannya barusan.
"Masakanmu enak, terasa seperti masakan rumah. Masakan yang tidak akan pernah bosan dimakan berkali-kali." Masakan yang mengingatkannya pada masakan ibunya dulu. Bahkan, masakan buatan koki di rumah kakeknya pun terasa terlalu istimewa. Skylar sampai mulai melupakan bagaimana rasanya masakan rumah.
Makanya, biarpun rasa masakan buatan koki profesional jauh lebih enak, dia tetap lebih memilih makan masakan buatan Alexa setiap hari. Apalagi, entah mengapa, masakan Alexa terasa sangat pas di lidahnya. Seolah-olah gadis itu tahu benar seperti apa seleranya.
Di sisi lain, Alexa merasa amat senang. Dia menggigit bibir bawahnya agar tidak tersenyum terlalu lebar. Pujian itu segera melenyapkan keraguan yang ada di dalam hatinya karena ucapan Emy barusan. Kepercayaan diri di dalam dirinya yang sempat padam pun kembali menyala.
"Kenapa mendadak tanya begitu, eh? Ada yang bilang masakanmu tidak layak konsumsi?"
Hanya itu kesimpulan yang Skylar dapat. Apalagi setelah menghubungkan beberapa kejadian sebelum ini, di mana pelayannya itu terlihat murung setelah meninggalkan dapur restoran. Yah, paling-paling ada orang yang iri saja bisa belajar dengan koki profesional secara cuma-cuma.