"Kau dengar apa kataku tadi? Mulai sekarang, kau bekerja untukku, Mischa. Tidak, aku tahu namamu bukan Mischa. Siapa namamu?" Pria itu tidak punya banyak waktu menjelaskan semuanya dalam waktu singkat, karena lampu di depan sana sudah berubah hijau, sehingga dia harus memegang kendali lagi dan memfokuskan perhatian pada jalanan di depan.
Suasana di dalam mobil cukup hening selama beberapa saat. Suara mesin pun tidak terlalu terdengar. Sementara suasana bising di luar sana tidak sampai masuk ke dalam.
"Alexa. Namaku Alexa…" balasnya lirih, namun cukup untuk didengar dua orang di dalam mobil. Dia juga tidak menyebutkan nama belakangnya, dan rasanya pria itu juga tidak akan peduli, sehingga Alexa segera menutup mulutnya.
"Kau sudah makan?" tanya pria itu lagi tanpa menoleh. Sepasang iris hitamnya masih terpancang lurus pada jalanan di depan.
Alexa menggeleng. "Saya rasa saya lebih butuh obat." Sejak pagi, Alexa sama sekali tidak diperbolehkan keluar kamar. Entah apa sebabnya, mendadak Nyonya Ruth melarangnya keluar kamar sampai diperintahkan. Terpaksa, Alexa pun menurut, sehingga dia sama sekali tidak mengisi perutnya dengan makanan. Tentu saja, sekarang perutnya terasa perih, sehingga obat lebih dia butuhkan daripada makanan untuk sementara ini.
"Kau belum makan."
Tiga kata singkat itu diucapkan dengan nada tegas dari pria di sebelahnya. Pertanyaannya hanya butuh jawaban 'ya' atau 'tidak', bukannya jawaban lain, sehingga dia menegaskan dengan nada yang sedikit dingin. Lagipula, dia juga bisa menyimpulkan sendiri dari gelagatnya sekarang. Lihat saja, badan yang sedikit membungkuk, kemudian rintihan pelan sembari memegangi perutnya. Itu semua sudah menjadi jawaban jelas apabila gadis itu memilih tak menjawab pertanyaannya.
"Tahan sampai rumah, nanti kau bisa minum obat, Alexa."
Pada nyaris tengah malam begini, tentu saja dia tidak bisa menyediakan makanan dengan cepat. Apalagi, para koki di rumahnya juga pasti sudah pulang semua, sementara dirinya mustahil menggunakan dapur sendiri. Lagipula, di dapurnya nyaris tidak ada bahan-bahan makanan selain minuman keras.
Gadis di sana masih tetap diam. Mungkin dia tidak berani menyela, atau juga tidak tahu harus mengatakan apa. Mobil terus melaju membelah malam di jalanan London yang masih cukup ramai.
"Mulai hari ini kau bekerja di rumahku sebagai pelayan. Simpan pertanyaanmu untuk nanti."
Alexa hanya bisa mengangguk dalam diam. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menurut. Dia berutang banyak pada pria itu—yang belum dia ketahui namanya—apalagi setelah membebaskannya dari dunia pelacuran yang kotor dan menjijikkan. Alexa hanya bisa mengira-ngira berapa uang yang dikeluarkannya untuk menebus dirinya dari sana.
Gadis itu sama sekali tak memerhatikan kemana mobil membawanya. Dia baru sadar ketika mobil berbelok ke sebuah restoran cepat saji dan masuk ke jalur drive thru. Alexa hanya diam ketika lelaki di sebelahnya melakukan pesanan tanpa keluar dari mobil, hingga menerima semua pesanannya kemudian.
Sebuah bungkusan berwarna coklat disodorkan padanya, lantas lelaki tersebut berujar, "Pegang ini. Makan kalau lapar. Kalau tidak, tunggu sampai rumah."
"Terima kasih…" Hanya itu jawaban Alexa kala menerima bungkusan berisi makanan. Dia membukanya dan menemukan burger, kentang, dan minuman masing-masing dua buah.
Mobil kembali melaju membelah malam di tengah London. Alexa masih tidak menyentuh makanan di atas pahanya karena perutnya masih tidak nyaman jika diisi makanan sekarang. Dalam diam, dia memerhatikan jalanan London di malam hari lewat jendela. Meski dia sudah pernah merasakan hidup dalam dunia malam selama satu bulan, Alexa masih kagum betapa kota ini seperti tidak pernah mati.
Semakin lama, mereka memasuki kawasan gedung-gedung tinggi. Matanya tak kesulitan melihat sebuah bangunan besar dengan tulisan 'HOTEL' di sana. Tapi dia sama sekali tidak ingin memercayai matanya ketika mobil itu berbelok ke sana.
Kenapa mereka malah berbelok ke hotel? Apakah pria itu akan memaksanya bersetubuh sebelum sungguhan menuju rumah? Tapi bukankah Alexa sudah mengatakan kalau dirinya sedang sakit? Biar begitu, Alexa tetap menutup mulutnya, tak berani mengatakan apapun. Dia jelas harus menjaga sikap dan lisannya supaya pria itu tidak membuangnya ke jalanan atau mengembalikannya ke tempat pelacuran.
Mobil terus melaju menuju tempat parkir bawah tanah hingga berhenti di bagian paling sudut. Pria di sebelahnya pun membuka pintu dan keluar, lalu berkata, "Turun, bawa semua barangmu."
Alexa berusaha turun dan membawa barang-barangnya yang ada di mobil. Tapi karena perutnya yang sakit, dia tidak bisa berjalan dengan baik. Melihatnya, pria itu mendecak tak sabar dan mengambil tas di tangan Alexa, kemudian berjalan menuju lift basement tak jauh dari sana.
"Ikut aku."
Pria itu menunggu hingga Alexa menyusul, kemudian menekan lift untuk naik ke lantai dasar. Lift di sana memang menghubungkan hotel dengan tempat parkir bawah tanah. Setelah lift berhenti di lantai dasar hotel, sang lelaki keluar.
Di depan sana mereka bisa melihat lobi yang sepi. Wajar, karena saat ini sudah tengah malam. Hanya ada alunan musik pelan dan beberapa karyawan di bagian meja depan. Para pengunjung juga sedang tidak ada yang bersantai di lobi depan, sehingga tak ada yang melihat dua orang yang baru saja keluar dari lift.
Keluar dari lift, sang lelaki masuk ke lift lainnya, di mana di bagian dalamnya hanya ada empat tombol: Lantai GF, 51, 52, dan 53. Pria itu mengeluarkan kartu dari saku dan menempelkan ke tempat di bawah tombol, kemudian menekan tombol bertuliskan angka 51. Dengan cepat, lift naik ke atas, melewati puluhan lantai dalam waktu kurang dari satu menit.
Denting lift terdengar ketika angka sudah menunjukkan 51. Begitu pintu lift terbuka, di depan mereka ada sebuah ruangan luas yang cukup gelap. Lampu baru menyala ketika sang lelaki berjalan melewati pintu lift dan masuk ke dalam ruangan. Dia tidak berhenti. Kakinya terus melangkah, membelok ke kiri, melewati lorong pendek, lalu berhenti di sebuah ruang makan dengan meja panjang dan tujuh kursi. Lampu ruang makan pun dinyalakan menggunakan saklar, lalu dia meletakkan barang-barangnya di sana.
"Duduk."
Di sebelah ruang makan itu ada dapur. Ruangan itu hanya dipisah dinding yang tak terlalu tebal, dan ada lubang besar di sana, sehingga bisa melihat apa yang dilakukan orang di dapur. Alexa menurut dan duduk di salah satu kursi, sambil melihat lelaki itu mengambil obat dan sendok di dapur.
Alexa hanya bisa terpana dengan segala pemandangan yang dia lihat. Memang dia pernah dibawa ke hotel mewah, tapi itu adalah kamar biasa yang tidak memiliki dapur maupun ruang makan seperti ini. Bahkan, dia merasa ini adalah apartemen pribadi! Mungkinkah ada apartemen yang dibangun bersama dengan hotel? Alexa sama sekali tidak tahu hal ini.
Lelaki itu pun kembali dan meletakkan obat serta sendok di depan Alexa. Tangannya terulur untuk mengeluarkan burger serta kentang dari bungkusan yang dia beli barusan, kemudian membagi dua; satu untuknya, satu untuk Alexa.
"Minum obamu dan makanlah, Alexa."
Pria itu duduk dan melanjutkan, "Seperti yang kubilang, mulai hari ini kau bekerja untukku sebagai pelayan pribadiku di sini. Hotel ini—kamar ini—adalah tempat tinggalku. Dan tempat tinggalmu juga, mulai detik ini."
Mendengar penjelasan pendek itu, kedua mata coklat Alexa membelalak lebar. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Hotel ini dan tempat mereka berada sekarang adalah milik lelaki—Alexa bahkan masih belum mengetahui namanya—di depannya itu. Semua itu menjelaskan kenapa dia bisa menebusnya dari tempat pelacuran. Apabila seluruh bangunan ini adalah miliknya, berarti jumlah sebesar lima ratus ribu pounds seharusnya bukan jumlah yang besar. Ditambah lagi, sekarang Alexa juga bisa tinggal di sini? Percayalah, di setiap mimpi terliar Alexa, dia tak pernah membayangkan akan tinggal di hotel!
"Dan sebelum aku lupa, namaku Skylar."
Skylar.
Setelah dua kali pertemuan—tiga, jika hari ini dihitung—akhirnya Alexa mengetahui namanya. Lelaki menawan dengan rambut hitam itu bernama Skylar. Orang yang mengeluarkannya dari tempat pelacuran dan juga tuannya yang baru.
Alexa hanya bisa mengangguk. Paling tidak, dia sudah paham gambaran besarnya. Dia akan tinggal di sini sebagai pelayan, yang mungkin bertugas membersihkan setiap jengkal dari tempat ini.
Tapi, ada satu hal yang terus mengganjal dalam pikirannya.
"Tuan, bolehkah saya tahu alasan kenapa Tuan menjadikan saya pelayan di tempat ini?"