Emma mengangguk dan bergegas turun. Ia ikut membantu Poppy menaiki tangga tersebut, menuju jalan keluar.
"Sepertinya kita berhasil kabur. Mereka sudah tidak terlihat lagi." Ucap Poppy dengan wajah meringis kesakitan.
"Benar. Aku melihat ada beberapa pria berandal tadi di depan sana. Tapi sepertinya ada yang sudah menghajar mereka. Setidaknya jalan kita aman." Ucap Emma.
Begitu sudah berhasil keluar dari gang tersebut, benar saja ada tiga orang pria gengster yang sudah terkapar dengan wajah babak belur. Mereka terburu-buru melewati mereka menuju jalan besar yang lebih aman. Emma memelankan langkah kakinya agar ketiga temannya itu bisa berjalan di depan. Ia menatap bercak darah di sepatu ketsnya. Sembunyi-sembunyi ia menggesekkan alas kedua sepatunya di atas aspal, yang ternyata memberikan ceplakan darah di sana. Begitu sudah tidak menimbulkan jejak, ia berlari kecil menyusul teman-temannya. Entah mengapa sebuah perasaan riang seakan bermekaran di dalam dadanya.
***
Keempat orang itu duduk di halte dengan wajah dungu. Meratapi dan mencoba menelaah apa yang baru saja terjadi. Terutama Emma dan Rina yang adalah pendatang di kota Handway.
"Ini gila! Apa yang terjadi di kota ini?" Ucap Emma sambil membenahi rambutnya yang jadi agak berantakan.
"Mereka adalah gangster. Sepertinya tadi ada penyerangan." Jelas Roger. Sebagai laki-laki, meskipun ia pecundang yang tidak pernah bergaul. Namun karena sering berhadapan dengan bocah-bocah berandal –maksudnya saat ia dibully- sedikit demi sedikit hal itu jadi menambah pengetahuannya atas dunia luar. Ia paham betul, di dalam rantai makanan dunia itu, ia adalah mangsa paling bawah yaitu korban palakan.
"Aku tidak tau di kota ini ada hal seperti itu." Ucap Emma.
"Emma.. Maaf jika kota ini tidak sesuai harapanmu. Aku juga baru tau kalau gangster di kota ini separah itu. Tapi, mereka itu jarang terlihat." Jelas Poppy.
"Gengster selalu bergerak di balik bayangan." Gumam Emma tanpa sadar.
"Hah?" Ketiga temannya menatap bingung.
"Eh? Tidak.. Hehe.." Ia menggaruk punuknya yang tidak gatal. Tiba-tiba Emma teringat akan sesuatu, membuatnya langsung menatap Poppy dengan wajah merasa bersalah. "Poppy.. Aku minta maaf atas kejadian tadi. Saat pacarmu berada di sampingku ketika kita dilempar kursi. Kami tidak memiliki hubungan apapun.."
Poppy sedikit terkejut lalu tertawa kecil "Tidak apa-apa, Emma. Mungkin dia merasa kalau kursinya akan mengenaimu."
Emma menatap Poppy semakin sedih. Jelas kursi tadi lebih mengarah kepada Poppy. Tampaknya gadis itu terlalu mencintai Donny hingga terus saja membelanya.
"Mereka sangat jahat. Kenapa malah meninggalkan kita di tengah kekacauan? Padahal yang mengajak kita ke jalan itu adalah mereka." Gerutu Rina. Emma mengangguk membenarkan. "Nanti aku akan menghubungi Lary dan minta putus!" lanjutnya lagi, diberi dukungan berupa tepuk tangan kecil oleh Emma.
"Kau serius akan melakukannya?" Tanya Poppy. "Kelompok mereka adalah anak-anak keren di kampus."
"Heh?" Emma menatap heran. Sebagai wanita, mendengar Poppy mengatakan itu membuat harga dirinya terasa tercoreng. Apa-apaan?
"Em.. Itu, Poppy. Kau masih ingat kan.. Tadi mereka meninggalkan kita loh.. Saat ini saja kita masih tidak tau mereka kabur kemana." Emma memberi ringisan tidak enak.
Poppy hanya menunduk. Diam-diam Roger memperhatikan gadis manis itu dengan tangan mengepal kesal. Memang gadis seperti Poppy pasti menyukai anak laki-laki tampan, bertubuh tinggi, dan keren. Meskipun mereka memperlakukan wanita dengan buruk dan memiliki sifat jelek, tetap saja para gadis akan mengidolai mereka. Laki-laki semacam Roger hanya bisa merasa cukup beruntung bisa menghabiskan malam dikelilingi tiga gadis cantik secara tidak sengaja. Setelah hari ini berlalu, kehidupannya akan kembali sebagai pecundang seperti biasa. Ia dapat membayangkan jika suatu saat berpapasan dengan salah satu dari ketiga gadis ini di kampus, mungkin mereka tidak akan melirik dirinya sama sekali.
"Busnya datang." Rina bangkit berdiri. "Kami adalah tetangga. Aku akan membantu Poppy sampai rumah." Ia membopoh tubuh Poppy yang lebih kecil dari dirinya. Nampaknya rasa sakit di kaki Poppy juga agak membaik, jadi ia sudah bisa berjalan cukup baik.
Emma melambai pada bus yang melaju pergi dengan Poppy dan Rina di balik jendelanya. Kini Emma sisa berdua saja dengan Roger. Udara yang bertiup semakin dingin, sedingin suasana diantara mereka.
"Hemm.. Rumahmu dimana?" Emma berusaha membuka percakapan.
Roger menatapnya sekilas lalu kembali menatap tanah "Tidak jauh dari sini." Emma mengangguk-angguk. Lalu ia menggaruk pipinya dengan jari telunjuk.
"Terimakasih." Ucap Roger. Emma menatapnya bingung. "Untuk?"
"Beberapa jam dalam hidupku, aku merasa seperti anak normal. Meski dalam situasi aneh." Ia tertawa kecil.
Emma tersenyum lembut "Kau bisa merasakan hal itu di kehidupan sehari-harimu ketika kau membuka hatimu untuk orang-orang."
"Anak keren sepertimu tidak tau rasanya hidup di dalam dunia pecundang." Ia mengela nafas yang membuat uap putih mengebul di depan mulutnya. "Dunia kita sangat berbeda. Kau tidak akan pernah ingin tau bagaimana rasa hidup di dalamnya."
"Maaf, tapi setauku hidup adalah pilihan. Aku sedang mempraktekkannya sekarang. Kita bisa menjadi apapun yang kita mau, asalkan kita punya keyakinan dan mau berusaha." Bantah Emma.
"Setiap orang memiliki jiwa di dalam dirinya yang tidak dapat diubah. Oleh siapapun atau bahkan oleh dirinya sendiri." Ia menatap Emma datar. "Aku sudah berusaha dengan yakin. Namun sesuatu yang hidup di dalam jiwaku ini tidak bisa dihilangkan. Seberapa keras pun aku mencobanya."
Roger bangkit berdiri dengan datangnya bus merah yang hampir kosong "Kau akan menyesal jika berteman denganku. Jangan sampai kau terseret menjadi bagian dari dunia pecundang." Ucapnya sebelum melangkah naik ke dalam bus.
Emma menatap bus merah yang langsung melaju saat pintunya tertutup. Ia mengembalikan wajahnya untuk menatap kedua kakinya sendiri. Sepatu putih yang ia kenakan masih terdapat sisa bercak darah yang tidak bisa hilang. Kata-kata Roger membuat Emma berpikir ulang. Apakah pilihan yang ia ambil sudah benar? Mengejar impiannya menjadi ballerina. Namun kalau diperjelas, sesungguhnya Emma juga tidak tau apa yang ingin ia gapai setelah menjadi seorang ballerina. Karena sesungguhnya, ia tidak berniat menjadi penari terkenal yang muncul di berbagai pentas di berbagai negara. Apakah ia hanya ingin kabur dari kenyataan? Merasa bosan pada kehidupannya yang lama? Namun perasaan senang yang menjalar dalam nadinya ketika ia habis memukuli genster tadi terasa menakutkan. Sebenarnya apa yang hidup di dalam jiwanya yang terdalam? Penari atau gengster?
Ckittttt!!
Suara memekakkan telinga itu langsung membuat Emma menoleh dengan wajah meringis. Gendang telinganya sampai sakit mendengar suara tersebut. Ternyata suara itu berasal dari decitan ban bus yang mendadak mengerem karena ada sebuah motor besar yang melintas di depannya. Motor tersebut melanggar lalu lintas perempatan jalan.
BRUMMM!! Motor yang sempat berhenti tersebut kembali melaju cepat, tidak lama empat motor besar lain menyusul. Dari sana Emma dapat melihat bahwa keempat motor tersebut sedang mengejar motor hitam yang memiliki list merah marun yang nampak familiar di mata Emma. Bukankah itu motor Calvin?
Bus tiba di depan halte. Emma bergegas naik lalu menempelkan kartu busnya pada mesin pembayaran yang berada di samping supir yang masih mendumel kesal atas kelakukan pemotor-pemotor itu. Sepanjang jalan, dahi Emma tidak berhenti berkerut. Benarkah yang tadi itu Calvin? Namun ada hal lain yang lebih menyita pikirannya. Tidak ada yang lebih mengganggu dari kata-kata Roger tadi.
Emma turun dari bus ketika sudah sampai di halte tujuannya. Begitu menginjakkan kakinya di tanah, ia menatap sebuah toko oli dan onderdil mobil yang berada tepat di sebarang halte tersebut. Selama ini Emma tidak pernah menaruh perhatian kepada toko itu. Namun kali ini, papan slogan yang dipajang besar-besar di depan toko tersebut membuat Emma tersenyum.
'KEEP ON YOUR TRACK'
Emma menadah telapak tangannya, mengambang di depan dada ketika melihat titik-titik putih mulai berjatuhan turun perlahan. Salju pertama menyambutnya. Salju pertamanya sebagai Emma Hilland yang baru. Emma Hilland yang ia pilih. Di tengah jalan yang sepi, dengan diterangi lampu putih dari papan slogan.. Gadis berambut cokelat itu kembali memantapkan hatinya. Jika Roger tidak mampu, bukan berarti dirinya juga tidak mampu. Bahkan jika semua orang tidak mampu, ia akan menunjukkan bahwa dirinya berbeda.