"Aku sama Dariel mau periksa kesuburan." Jawaban Ara membuat Jesica dan Kenan saling menatap. Mereka terkejut dengan keinginan Ara sementara anaknya itu masih terlihat santai dengan mengambil minum dan meneguknya habis. Ara kemudian duduk lagi disamping ibunya.
"Emang kenapa sampe ke dokter sayang?"
"Aku pingin tahu aja mom ada apa sama badan aku. Ini udah hampir setahun aku nikah dan aku juga belum hamil padahal udah usaha segala macem, mungkin udah waktunya aku konsul ke dokter."
"Sabar sayang..." Jesica tahu rasanya tak enak ada diposisi itu. Dia pernah mengalaminya bahkan sampai putus asa.
"Temen aku yang nikah aja sekarang udah hamil. Aku juga pingin ngerasain jadi ibu hamil."
"Iya..pasti kak. Pasti kakak ngerasain hamil, mommy yakin kok kakak bisa." Jesica sambil sesekali menyodorkan sendok ke dalam mulut Kris.
"Aku juga pingin mom..dipanggil mommy." Ara yang entah kenapa menjadi melow kembali jika mengingat semua cerita tentang memiliki bayi. Jesica kini meletakkan sendoknya.
"Sini mommy peluk." Jesica mendekap tubuh anak sulungnya. Mungkin hanya pelukan Jesica yang bisa menenangkan Ara. Saking nyamannya dengan pelukan itu Ara justru menangis disana. Menangis dengan tersedu-sedu. Ini adalah tangisan yang dia tahan selama beberapa hari ini. Kenan bingung dia meraih Kris yang sepertinya masih kelaparan tak mengerti jika kakaknya sedang dirundung kesedihan. Ah...rasanya ikut sedih melihat Ara menangis. Kenan benar-benar tak tega melihatnya. Sebelumnya dia datang dengan niat memberikan dokumen tentang keluarga Dariel tapi siapa sangka ternyata dia datang diwaktu yang tepat. Kenan datang diwaktu dimana anaknya sedang sedih. Dia tak bisa membayangkan jika anaknya tidur sendiri hari ini.
"Hari ini Daddy sama mommy nginep disini ya.." Kenan menggendong Kris ke sisi lain untuk mendekati anaknya sementara Ara belum bisa menjawab, hanya tangisannya saja yang masih terdengar jelas di telinga Kenan.
"Elus rambut kakak." Kenan mengarahkan tangan mungil Kris pada rambut Ara.
"Kak Ala ngis dad.." Kris memandang kearah Kenan.
"Iya kakak nangis, disayang kakaknya jadi ga nangis." Kenan membuat Kris turun dari pelukannya. Dia berjalan kearah Ara yang masih bersandar dibahu ibunya. Dia berjongkok untuk mengintip wajah Ara yang basah.
"Kak ngis.." Kris yang penasaran semakin mendekati kakaknya. Tingkahnya benar-benar menggemaskan. Dia mengambil tisu yang ada dimeja lalu dengan manis mengusap pelan air mata Ara.
"Kakak..." Kris mengusap dengan sembarang tak peduli jika jari kecilnya mungkin bisa mengenai mata Ara. Kakaknya itu sedikit terhibur dengan tingkah Kris.
"Coba kasih cun kakaknya jadi ga nangis." Kenan membuat Kris menurut lagi. Dia mencoba naik kedalam pangkuan Ara dan mencium pipi Ara yang basah. Ara mendekap adiknya agar tak jatuh dengan tangisan yang sudah mereda. Lagi-lagi Kris menghapus air mata Ara dengan tisu ditangannya.
"Udah..udah....kakak kuat kok. Ada Daddy, kalo Dariel ngomong yang macem-macem bilang Daddy." Kenan mencium kepala anaknya sebentar.
"Udah-udah, minum dulu." Jesica segera mengambil air untuk meredakan sesegukannya sementara Kris masih memandangi wajah sembab Ara.
"Kris juga mau minum ya, udah makan belum dikasih minum." Jesica mengambil gelas lain untuk Kris.
"Mas udah telepon anak-anak kalo kita nginep? nanti mereka nyariin."
"Nanti Mas pulang dulu sayang bawa baju sekalian bilang. Kamu sama Kris disini aja.."
"Kalo Daddy sama mommy mau pulang ga papa kok." Ara sudah mulai berbicara.
"Engga. Pokoknya mommy sama daddy nginep sini sampe Dariel pulang."
"Makasih Daddy, mommy.."
"Iya...kakak jangan sedih-sedih ya. Daddy ga suka kalo liat kakak gini. Untung Daddy datang coba kalo engga Daddy ga akan tahu kalo kakak punya masalah. Bukan Daddy ngajarin ga mandiri tapi besok-besok kalo punya masalah yang ga bisa selesain berdua sama Dariel yang sekiranya berat cerita dong sama mommy sama Daddy jadi nanti dicoba cari solusinya. Kalo kakak pendem sendiri nanti sakit terus sedih-sedihan nih kaya gini." Kenan memberi nasihat. Ara hanya mengangguk.
***
Ini sudah pukul 11 malam namun Nayla dan Dariel masih nyaman untuk duduk disebuah tempat makan 24 jam disana. Sepertinya Nayla sudah mulai mencair kepada Dariel. Dia sudah mulai bisa bercanda dengan Kakak tirinya itu.
"Berarti keluarganya Ara itu baik banget."
"Iya, aku juga ga nyangka bisa ketemu, pacaran, terus nikah sama anaknya. Kapan-kapan aku kenalin langsung sama orangnya."
"Waktu itu pernah ketemu tapi selewat aja. Keliatannya kaya yang jutek...banget."
"Iya dia mukanya emang gitu. Galak, cerewet lagi." Canda Dariel.
"Aku bersyukur kalo kamu udah bahagia sekarang. Dulu setiap malam aku selalu ngerasa bersalah pernah ikut ninggalin kamu dirumah sendirian."
"Ga papa, aku ngerti waktu itu kamu cuman anak-anak yang harus nurut sama orang tuanya."
"Sepanjang perjalanan pergi aku selalu kepikiran, apa kamu makan?apa kamu bisa bertahan?bahkan aku sampai mikir apa kamu masih hidup? Aku kaya orang yang udah ngelakuin pembunuhan dan bangkai korbannya aku buang gitu aja. "
"Udah lupain aja, ga papa."
"Lupa?apa iya kamu bisa lupa?"
"Kalo kamu nanya gitu aku jawab engga. Aku malah suka mimpi buruk inget masa kecil aku. Aku ga tahu harus ngatasinnya gimana dulu. Itu menakutkan."
"Pasti dulu susah buat kamu."
"Susah tapi pak Stefan bantu aku. Dia bapak yang baik buat aku." Ucap Dariel lalu meneguk minumannya.
"Hm...kabar ibu, bapak gimana?"
"Mereka baik-baik aja."
"Mereka tahu kamu kerja dimana?"
"Tahu, tapi ga tahu kalo atasan aku itu kamu."
"Kira-kira gimana ya kalo mereka tahu?"
"Aku juga lagi mikirin itu."
"Kalo mereka marah, kamu mau resign?"
"Ga tahu, aku nyaman kerja disini. Kamu mau nemuin mereka?"
"Engga. Aku ga mau ganggu kalian. Kalian udah tenangkan?jadi ngapain aku bikin ribut."
"Gimana pun ada ibu kandung kamu disana."
"Bukannya kamu dulu yang suka pingin aku sama ibu ga ketemu?"
"Iya tapi kalo dipikir-pikir aku kejam misahin anak sama ibunya."
"Udah ga papa. Ibu ga mau ketemu aku jadi...aku ga maksa lagian Ara sedikit keberatan kalo aku ketemu keluarga aku."
"Kenapa?"
"Dia bilang aku suka jadi murung makanya sejak itu dia ga suka kalo aku mikirin kalian."
"Aku bakalan coba bilang pelan-pelan sama ibu."
"Jangan nanti ibu marah. Ibu udah tua, orang tua itu diajak bahagia jangan dibikin marah." Dariel senyum-senyum.
"Harusnya ibu denger yang kamu omongin."
"Jian Gimana?"
"Dia kerja di Bank gitu, aku ga ngerti tiba-tiba dia tertarik ke perbankan."
"Kenapa putus sama Astrid?"
"Kok tahu?"
"Waktu itu pernah ketemu."
"Aku ga tahu tapi sekarang Jian udah punya pacar yang baru."
"Oh syukurlah. Eh udah malem kita balik ke hotel besok harus kerja lagi." Dariel beranjak berdiri begitupun Nayla.
"Nih pake ini.." Dariel memakaikan jaketnya dipundak Nayla kemudian berjalan menuju parkiran. Dia mengendarai mobil kantornya menuju hotel. Dariel senang malam ini bisa mengobrol banyak dengan adiknya tanpa tahu istrinya sedang bersedih dirumah.
"Besok ketemu di lobi jam 8 ya." Ucap Dariel saat sampai di depan pintu kamar masing-masing.
"Iya..." Jawab Nayla. Dariel segera mencari kartunya untuk membuka pintu. Belum juga terbuka Nayla memeluknya.
"Makasih kak." Nayla dengan malu-malu sementara Dariel yang terkejut mulai membalas pelukannya.
"Iya sama-sama..." Jawab Dariel dengan lembut.
****To Be Continue
Hari ini cukup 3 chapter
Jangan lupa leave comment and vote ya :)