Baixar aplicativo
2.11% An Ice Cube Man / Chapter 4: BAB 4

Capítulo 4: BAB 4

Aku sudah ada di kamar ini karena sang rembulan sudah menguasai malam. Aku mulai membaringkan tubuh lelahku dan memandangi sofa di sudut ruangan ini yang masih kosong. Lelakiku belum juga pulang. Selesai makan malam tadi dia sudah kembali ke cafe.

Entah apa yang sedang dia kerjakan sekarang. Dia sama sekali tidak pernah menghubungi aku. Tak tahukah dia kalau aku mengkhawatirkannya? Tak sadarkah dia kalau aku selalu menunggunya? Ini sudah hampir jam sebelas malam tapi tak ku dengar suara langkah kakinya masuk ke kamar ini.

Mas Banyu, di mana kamu? Sedang apa sekarang? Apakah kamu sedang bersama wanita lain? Tidak adakah aku di hatimu walaupun itu hanya sedikit?

Aku sudah menyiapkan baju gantinya untuk tidur malam ini. Aku juga sudah siapkan air hangat di bathtub. Aku bahkan juga sudah mengganti air di bathtub lagi karena sudah tidak hangat. Siapa tahu dia ingin berendam malam ini. Semua sudah aku sediakan tapi dia tak kunjung datang.

"Klek" Aku mendengar pintu kamar terbuka. Aku lihat sesaat sepertinya dia begitu lelah.

"Aku ambilin minum ya Mas." Tawarku padanya.

"Ga usah." Jawabnya dingin.

"Berkas yang ada di sini kemarin di mana?"

Aku segera beranjak dari tempat tidur dan mengambilkan sebuah map yang berisi berkas di rak buku yang berjajar rapi.

"Lain kali jangan asal pindah pindahin barang." Dia segera meletakkan lagi berkas itu di atas meja.

Sebenarnya aku memindahkan berkas itu juga karena tahu bahwa berkas itu penting. Aku tidak ingin berkas itu sampai berserakan dan malah menghilang.

"Maaf" dari sekian malam sepertinya bentakan ini yang parah.

Oh Tuhan. Kenapa dia? Apakah ada masalah dengan pekerjaannya? Berjalan ke kamar mandi pun sepertinya juga malas.

Aku termenung. Menangis. Melebur semua rasa cintaku yang bertepuk sebelah tangan oleh suamiku sendiri.

Aku harus bisa menghadapi ini. Mama saja bisa memikat hati Papa meski usianya sudah tidak muda. Aku pasti juga bisa.

Haruskah aku tidur, atau menunggunya dulu? Kenapa terasa kikuk sekali. Padahal usia pernikahan ini sudah lima bulan lebih lamanya.

Sudah hampir sepuluh menit, tapi dia tidak keluar juga. Apakah masih berendam? Atau sudah mau keluar?

***

Aku tertidur saat menunggunya. Aku melihat jam di dinding menunjukkan pukul 04.47 pagi. Aku tak melihat keberadaannya di sofa. Apakah dia sudah bangun? Atau malah tidak tidur.

Aku bergegas membasuh mukaku dan segera keluar untuk mencari keberadaan. Aku melihat dia sedang duduk di tepi kolam renang. Ada apa dengannya?

"Mas, mau aku buatin kopi?" Tanyaku ragu.

"Ga, nanti aku buat sendiri." Ucapnya tanpa melihat kearahku.

"Mas mau dimasakin apa buat sarapan?" Tanyaku karena mengkhawatirkannya.

"Terserah." Dia masih memandang layar ponselnya.

Aku kembali menuju dapur segera membuatkan sarapan untuk suamiku. Aku tahu mungkin dia masih enggan untuk menyantap masakan yang aku buat.

Baru juga aku mau memulainya, dia sudah meraih jaket dan kunci mobilnya yang ternyata sudah tergeletak di sofa ruang TV.

"Mas mau ke mana?" Tanyaku yang sepertinya tidak di dengar olehnya.

Dia terus menuju ke garasi mobil dan melesat meninggalkan rumah ini. Aku melepaskan apron yang tadi sudah kupakai.

Kenapa dia tidak pernah menganggap aku? Sudah selama ini apakah dia tidak sekalipun tertarik padaku?

***

Hari ini jadwalnya Mama untuk kontrol kesehatan. Mama memang memiliki riwayat penyakit Hipertensi atau yang sering kita kenal tekanan darah tinggi.

Aku segera menghubungi dokter langganannya. Aku meminta waktu jika bisa untuk datang ke rumah saja. Rasanya tidak tega kalau harus melihat beliau pergi ke rumah sakit atau tempat praktik dokter.

"Ma, dokter Amel bilang, mungkin jam sepuluh baru bisa ke sini. Selesai dari rumah sakit langsung ke sini." Aku segera menyampaikan pesan dari dokter langganan Mama.

"Iya. Tadi Banyu berangkat jam berapa?" Tanya Mama tiba tiba.

Apa mungkin Mama kepikiran Mas Banyu yang pulang telat? Tadi pagi juga sudah berangkat lagi padahal hari belum terang.

"Jam lima pagi Ma sepertinya. Mas Banyu bilang mungkin hari ini sibuk." Ucapku mengada ada.

"Kamu telepon dia. Siang ini suruh makan di rumah."

"Mas Banyu kan lagi sibuk Ma. Bukannya Mama hari ini mau makan ke luar sama Papa?" Mungkin Mama lupa kalau siang ini harus menemani Papa menemui kolega bisnis.

"Oh iya, Mama hampir lupa." Mama segera menggandengku ke kamar utama

Beliau memintaku untuk memilih baju yang pas. Rasanya seperti mendandani teman yang mau kencan. Begitu bahagianya Mama saat Papa selalu melibatkan dirinya. Bukan karena sebagai istri sah saja tapi sebagi orang yang dicintai. Mama sudah berdamai dengan Papa. Lalu kapan aku berdamai dengan Mas Banyu?

"Ma, sepertinya dokternya sudah datang. Biar aku suruh masuk ke sini saja ya?"

"Ya udah. Mama tunggu di kamar aja."

Dokter Amel segera masuk dan memeriksa kondisi Mama saat ini. Seperti biasanya Mama selalu di minta untuk istirahat yang cukup. Jangan sampai stress. Ada juga pantangan makanan yang pasti kami sudah hapal.

Sesaat aku selesai mengantar dr Amel keluar, ternyata Mas Banyu pulang. Entah apa yang terjadi, tapi sepertinya wajahnya sudah tidak lagi murung. Mendung yang kemarin datang sepertinya sudah hilang.

"Mama kenapa?" Tanyanya sedikit panik.

"Ga kenapa kenapa kok Mas. Jadwal kontrol aja." Jawabku sambil menunduk.

Dia hanya menanyakan Mama saja. Apakah dia tidak ingin tahu bagaimana kabarku meskipun sedikit saja?

Selama ini aku selalu mempertahankan tradisi untuk tetap cantik di depan suami. Seperti gadis gadis Jawa jaman dulu yang selalu menjunjung martabat suami. Selalu mendahulukan kepentingan suami.

"Loh, Mama udah rapi mau ke mana?" Suamiku begitu heran melihat Mama malah pergi siang ini.

"Mama ada janji makan siang sama Papa dan kolega bisnisnya." Ucap Mama sumringah.

"Kenapa mau?" Pertanyaan yang sangat ambigu itu keluar begitu saja.

"Kamu ini bagaimana sih Banyu? Mama kan harus menemani Papa. Papa juga mau ajak Mama jalan jalan selesai makan. Papa udah jemput Mama. Mama pergi dulu ya."

Aku mengantar Mama sampai masuk ke mobil Papa. Papa memang sudah menunggunya dengan senyum manis yang tulus.

"Mas mau ke mana?" Tanyaku yang melihat dia menuju ke garasi.

"Ambil berkas." Jawabnya tanpa menoleh ke arahku.

"Mas mau makan siang sekarang atau nanti? Mau di masakin apa?" Tanyaku sopan saat dia sudah kembali dari mobilnya.

"Kita masuk dulu. Aku mau bicara sama kamu." Dia berlalu melewati aku begitu saja.

Aku memang selalu mengharapkan kalau dia menggandeng tanganku. Mengajakku masuk ke kamar dengan romantis. Apalagi siang ini Mama sedang keluar. Tapi pasti dia tidak akan pernah mau melakukannya.

Entah mengapa. Apakah aku kurang cantik? Apakah tubuku kurang seksi? Apakah terlalu kurus? Atau malah terlalu gemuk? Atau ada wanita lain?

Hatiku kembali berdegup tanpa kendali saat kembali mengingat nama "Laras" yang masih membuatku penasaran.

Ingin rasanya aku memaki dia dan bertanya langsung siapa Laras. Tapi semua itu harus aku urungkan. Aku bukan tipe orang yang langsung gegabah dan bertindak bodoh. Aku akan mencari tahu siapa Laras sebenarnya.

"Garin, hari ini sahabatku mengundang makan siang. Kamu ikut aku. Ini cuma jamuan makan siang biasa. Kamu jangan pakai baju formal. Pakai biasa aja." Dia berbicara tapi masih enggan melihatku.

"Iya Mas." Dia bergegas meninggalkan kamar.

Aku segera bersiap siap untuk pergi. Aku tidak ingin membuat Mas Banyu menunggu terlalu lama. Jadi aku mencari baju yang nyaman untuk di pakai.

Untung saja hari ini weekend jadi aku libur. Berbeda dengan Mas Banyu yang sibuk jika weekend.

Aku segera menuju ke mobilnya. Aku melihat dia sedang membalas chat yang entah aku tidak tahu untuk siapa.

Dia kembali meletakkan ponselnya. Mulai menyalakan mesin mobil tapi tiba tiba saja Laras meneleponnya. Dia segera menjawabnya dengan mematikan mesin dan keluar dari mobil.


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C4
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login