Baixar aplicativo
35% Pasangan Balas Dendam / Chapter 7: Bertemu Lisa

Capítulo 7: Bertemu Lisa

Maria akhirnya sampai di rumah dan berjalan masuk tanpa memiliki firasat apa pun sampai indera pendengarannya mendengar suara percakapan dua orang. "Lisa, ayo kita pulang. Zen sedang tak ada, tak baik kalau kita di sini terus."

"Tak mau aku ingin ketemu sama Lizzy." jawab suara seorang nenek tapi terdengar nadanya kekanak-kanakan. Maria pun melangkah pelan mendekati suara. Tampaklah dua orang, kakek dan nenek tengah berbicara.

Karena penasaran dia berjalan mendekati mereka berdua. Langkahnya terdengar jelas membuat kakek dan nenek itu memandang Maria. Si nenek tersenyum sedang si kakek membulatkan matanya. "Tidak mungkin." gumam si kakek pelan.

"Lizzy!" Si nenek langsung memeluk Maria sedang wanita itu tak tahu harus menunjukkan ekspresi apa. Dia juga tak tahu siapa mereka.

"Lizzy, aku rindu padamu. Kenapa kau sudah tak datang ke rumah, kau masih marah ya karena menamparmu?" Maria membulatkan mata. Apa maksudnya dengan menampar?

Si kakek langsung menarik si nenek untuk menjauh dari Maria. "Siapa kau? Kau bukan Lizzy karena Lizzy meninggal beberapa tahun yang lalu di tambah dia sudah tua, tak mungkin dia kembali muda." Tatapan si kakek sangatlah dingin sedang nadanya tak bersahabat.

"Mmm ... itu." Banyak pikiran yang berada di benak Maria sekarang. Mungkin kakek ini kenal dengan Ibu angkat dari Zen itu atau punya hubungan yang lebih khusus terutama si nenek.

"Ayo jawab kenapa diam saja?!"

"Dimas jangan kasar pada Lizzy begitu, kau lihat dia agak ketakutan karenamu."

"Lisa, jangan percaya padanya. Wajar kau tak ingat karena penyakitmu tapi Lizzy sudah meninggal beberapa tahun lalu jadi wanita yang di depan kita ini bukan Lizzy tapi penirunya Lizzy."

"Tidak, kau berbohong. Kembaranku belum meninggal, buktinya dia ada di sini." Lisa mencoba untuk mendekati Lizzy tapi suaminya itu tak memberikan dia untuk bergerak lebih leluasa.

"Dimas!"

"Aku minta maaf pada kalian berdua." Suara Maria menginterupsi. Keduanya pun menoleh.

"Aku memang bukan Lizzy tapi aku punya penjelasan tersendiri dan butuh waktu bagaimana kalau Kakek dan Nenek duduk kita berbincang." Lisa melepas cengkraman Dimas. Dia mendekat pada Maria lalu menggenggam tangan Maria.

"Sudah jangan takut, aku ada di sini Lizzy jadi kau tak perlu berbohong. Dimas itu bukan orang yang kasar." Maria tak mengerti tapi dia memberikan senyuman dan mengangguk.

Ketiganya lalu duduk dengan teh yang disiapkan. Diketahuilah nama pasangan tua itu. Si kakek adalah Dimas, seorang dokter yang telah pensiun sedang wanita tua yang selalu mengoceh layaknya anak kecil adalah Lisa. Dia kembaran Lizzy.

Di usianya yang senja, Lisa mengidap penyakit demensia sehingga mengira bahwa saudara kembarnya masih hidup. Maria mengangguk pelan tanda mengerti.

"Sekarang katakan padaku, siapa kau? Kenapa kau bisa sangat mirip dengan Lizzy sewaktu muda?"

"Mmm ... itu karena Zen."

"Zen?"

"Ya ... namaku Maria. Aku diselamatkan oleh Zen beberapa minggu yang lalu, wajahku terluka parah sehingga dia melakukan operasi plastik dan membuat wajahku seperti Lizzy."

Dimas membuang napas. "Dasar Zen bertindak sebesar ini tapi tak mengatakannya pada kami sekeluarga. Apa dia tak pikir perasaan kami terutama anak-anaknya Lizzy?"

"Apa Nona Maria tahu kenapa dia melakukan ini padamu?"

"Ya, karena balas dendam."

"Balas dendam? Apa yang kau maksud keluarga Paulo?" Mata Maria melebar.

"Bagaimana Kakek bisa tahu?"

"Zen dan Lizzy selalu menceritakan hal itu ketika mereka datang ke rumah terutama Zen. Dia terlihat sangat membenci mereka. Lalu kenapa kau ikut juga? Kau dibayar?"

"Tidak, aku pun punya kebencian terhadap mereka." Sorot mata yang dingin sudah menjadi bukti kuat ada sesuatu antara Maria dan keluarga Paulo. Sebab itu juga Dimas mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh.

"Baiklah, aku tak akan bertanya lebih banyak tapi aku juga membutuhkan bantuanmu sedikit."

"Terima kasih Kakek dan bantuan apa yang dibutuhkan?"

"Lizzy, ayo kita jalan-jalan. Aku mau mengenang masa kita muda dulu. " ucapan Lisa sukses menyita perhatian Maria.

"Tolong pura-puralah sebagai Lizzy di hadapan istriku. Penyakitnya kambuh saat mengetahui kabar kalau Lizzy meninggal dunia dan dia selalu datang ke mari seakan Lizzy masih hidup. Kau bisa bukan meladeninya?" Maria menatap sendu pada Lisa yang menorehkan senyuman.

Pasti nenek Lisa sangat terpukul. "Bertahun-tahun aku mencoba untuk melakukan beberapa alternatif tapi tidak ada yang membuatnya ingat jika saudara kembarnya telah tiada. Aku merasa sangat buruk melihat kondisinya sekarang."

"Aku mau Kakek." jawab Maria lugas tanpa terlihat sedikit pun ada guritan kekesalan melainkan senyuman manis.

"Aku akan merawat Nenek Lisa dengan baik jadi jangan khawatir." Dimas agak sedikit tenang dengan perkataan Maria. Dia bernapas lega sambil bergumam terima kasih.

Didekatinya Lisa dan mengusap kepala sang istri. "Ayo kita pergi, kau harus pergi cek ke dokter."

"Tapi aku mau berbelanja dengan Lizzy,"

"Iya besok sekarang lebih penting kita cek ya." Lisa menggeleng dan menahan dirinya dengan memegang erat tangan Maria.

"Mm ... Lisa." Wanita tua itu langsung menoleh begitu namanya di panggil.

"Pergilah, nanti aku akan menunggumu di sini lalu kita berbelanja puas besok. Kamu harus cek karena itu lebih penting."

"Baiklah, kalau Lizzy mau itu aku mau pergi ke sana." Lisa buru-buru pergi dengan menggandeng tangan Dimas layaknya seorang anak kecil. Mereka lalu pamit pulang meninggalkan Maria seorang diri.

"Nyonya makan siang sudah siap?" Kepala pelayan membuat Maria terperanjat.

"Ah iya ... Gerald terima kasih atas informasinya tapi Nyonya? Tolong jangan panggil saya seperti itu, saya tidak menikah dengan Tuan kalian."

"Tapi Tuan Zen yang mengatakan pada kami bahwa anda adalah istri Tuan dan harus dipanggil Nyonya." Dalam batin Maria menggeram kesal. Selain karena Zen memberitahukan hal tersebut pada semua pelayan, Gerald mengatakan alasannya dengan memasang wajah datar. Tak memiliki beban sama sekali.

"Oh begitu ya baiklah aku akan makan." Maria bangkit lalu berjalan menuju meja makan. Di belakangnya ada Gerald yang mengikuti.

"Hei lepaskan! Apa kau tahu kau menyentuh siapa? Aku ini tunangannya Zen." Sontak langkah Maria berhenti dan berjalan mendekat ke asal suara. Di arah pintu seorang wanita berjalan masuk ke dalam, dari caranya berjalannya Maria merasa sifat wanita ini pastilah angkuh.

"Zen! Zen!" Maria membuang napas pendek lalu berjalan mendekat pada si wanita sombong.

"Maaf anda mencari siapa?" Si wanita bukannya menyahut malah melihat pada penampilan Maria. Dia pun memberikan senyuman mengejek dan berjalan ingin ke lantai dua.

Maria tak tinggal diam dan menarik si wanita hingga mundur beberapa langkah. "Apa yang kau lakukan?!"

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu, kau untuk apa menarikku? Memang ini rumahmu apa?!"

"Ini memang bukan rumah saya tapi saya tahu sopan santun!" balas Maria sengit.


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C7
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login