Semalam aku dan Alex mengobrol hingga pukul 2 pagi di ruang kerjanya. Kami membicarakan tentang duel di Tanah Abu yang akan di datang, Alex juga memberitahuku informasi tentang Pack Silver Moon.
Ternyata keluarga Edward Adler memang terkenal kejam dan cukup ditakuti oleh anggotanya hingga banyak dari mereka yang berusaha kabur dari Pack, tapi jika ada yang tertangkap mereka tidak selalu bernasib baik. Alpha Adler terkenal dengan hukuman 'serigala dan kelinci', werewolf yang dijatuhi hukuman diharuskan berlari dari sekelompok werewolf lain yang bertugas memburu dan membunuhnya. Kadang jika moodnya sangat buruk, Adler akan menyuruh sanak saudara atau keluarga korbannya sendiri untuk membunuhnya. Mendengarnya membuatku kembali teringat pada Charmaine dan bekas luka cakaran besar di tubuhnya. Entah kenapa walaupun aku tidak menyukainya, tapi aku merasa sedih setiap mengingat Charmaine.
Rumor juga mengatakan putri bungsu Edward Adler yang masih berusia 20 tahun terlahir sebagai Omega. Alex menjelaskan padaku bahwa Omega adalah werewolf yang tidak bisa merubah dirinya ke wujud serigalanya, karena itu biasanya Omega dianggap lebih lemah dari werewolf biasa. Tidak ada yang bisa mengonfirmasi rumor ini karena Adler mengurung putrinya di wilayah kekuasaan mereka, hanya putra pertamanya sebagai penerus Alpha lah yang diperkenalkan ke publik. Kami sama-sama berpikir karena alasan itulah Adler sangat haus dengan kekuasaan dan kekuatan.
Saat aku kembali ke kamarku, cerita tentang Edward Adler dan Pack Silver Moon terus membayangiku hingga aku baru bisa memejamkan pukul empat pagi. Saat aku terbangun matahari sudah terbit tinggi sejak beberapa jam yang lalu, akibatnya aku melewatkan sparring Alex dan Vincent pagi tadi.
Aku menemukan Alex di ruang kerjanya bersama beberapa anggota Pack lain, sepertinya mereka sedang membahas duel di Tanah Abu. Walaupun Alex dan yang lainnya tidak keberatan aku bergabung tapi aku tidak ingin mengganggu rapat Pack lagipula aku juga tidak ingin mereka semakin menganggapku sebagai Luna Pack ini, jadi aku turun ke dapur untuk sarapan.
Karena di jam seperti ini semua werewolf biasanya sibuk dengan training, kelas, atau pekerjaan mereka, hanya ada aku sendirian di daerah dapur dan ruang makan. Kubuat telur mata sapi dan roti panggang untuk diriku sendiri lalu memakannya sambil membalas chatting dari Jenna dan Eric. Jenna memutuskan untuk mendaftar di universitas lokal di kota ini, sedangkan Eric diterima di universitas swasta yang terkenal walaupun lokasinya cukup jauh. Aku tidak terlalu heran karena diantara kami bertiga Eric lah yang paling menonjol dalam hal akademik. Kami berencana pergi hiking dan piknik sebelum semester baru dimulai karena Eric harus tinggal di luar kota setelah itu. Tapi aku belum yakin sepenuhnya apa aku bisa keluar dengan leluasa di dalam situasi seperti ini, dan tanpa bertanya pun Alex pasti juga akan melarangku.
Kugigit roti panggangku sambil melamun memandang ke arah halaman belakang yang cukup sepi. Hanya ada lima werewolf muda yang baru saja kembali dari arah hutan. Werewolf memang harus sering berada dalam wujud serigala mereka agar sisi serigala mereka tidak merasa terkekang dan berubah menjadi liar. Alex biasanya melakukannya saat malam sembari patroli perbatasan wilayah.
Seperti apa rasanya berlari dalam wujud serigala? Pikirku dengan sedikit perasaan iri.
"Apa kau tidur dengan nyenyak?"
Aku menoleh ke arah Alex yang baru saja memasuki ruang makan, kedua mata coklatnya memandangku dengan hangat. "Kenapa tidak ada yang membangunkanku?" protesku sambil meletakkan sisa roti panggangku ke piring.
Alex mengambil rotiku lalu menghabiskannya dalam satu gigitan. "Jake bermaksud membangunkanmu tadi, tapi aku tahu kau pasti baru saja tidur karena begadang. Lagipula aku tidak berkonsentrasi jika kau ada di dekatku, Cara."
"Padahal aku sudah menantikannya..." gerutuku dengan wajah cemberut, walaupun sebenarnya aku lebih khawatir daripada menantikan sparring antara Alex dan Vincent. Tapi jika dilihat lagi, sepertinya Alex baik-baik saja. Tidak ada luka sedikitpun di wajahnya dibandingkan dengan saat sparring bersama Paman Brent kemarin. Hanya ada memar di beberapa bagian lengannya. "Siapa yang menang?" tanyaku padanya.
"Menurutmu siapa yang menang?" tanyanya balik dengan lirikan sekilas sebelum menghabiskan sisa telur gorengku.
"Vincent." jawabku dengan cepat dan tanpa keraguan sedikitpun.
Alex tersedak telur yang sedang Ia telan, dengan ekspresi tidak percaya yang tertuju padaku mulutnya terbuka lalu tertutup lagi seakan Ia sudah kehabisan kata-kata. "Cara... Aku tidak tahu kenapa kau sangat meremehkan skill berkelahiku. Aku hampir menjadi anggota Enforcer jika bukan karena gelar Alphaku saat ini."
Kuangkat kedua bahuku dengan seenaknya, "Bagaimanapun juga Vincent masih memiliki darah Leykan di dalam dirinya."
"Tapi aku yang menang!" sahutnya dengan ego yang terluka. "Yah... walaupun aku juga menang dengan curang."
"Huh?"
"Aku mengundang semua anggota Pack yang masih muda untuk menonton. Vincent tidak bisa menunjukkan seluruh kekuatannya walaupun aku yakin Ia sangat ingin melakukannya." jelas Alex dengan sebuah senyuman samar. "Sudah kubilang, pamanmu bukan orang yang ceroboh. Ia sudah berencana mengalah sejak awal, tujuannya menerima ajakan sparringku adalah hanya untuk menghajarku."
Aku melihatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan kening berkerut bingung, "Tapi kau tidak terlihat seperti baru saja dihajar."
"Ah... Vincent bilang tidak akan melukai wajahku karena tidak ingin membuatmu sedih." jawabnya sambil mengangkat kaos hitam yang Ia kenakan hingga ke dada. Dengan ngeri aku memandang bilur-bilur dan lebam berwarna biru semu keunguan di seluruh tubuh atletis Alex, bahkan pinggangnya harus diperban karena mengeluarkan darah.
"A—Apa kau baik-baik saja?" tanyaku dengan panik sambil berdiri dari kursiku dan menghampirinya. Aku ingin menyentuh lukanya untuk memastikan tapi akhirnya menahan diriku agar tidak membuat Alex semakin merasa kesakitan.
"Ini bukan apa-apa." balasnya dengan santai sebelum menarik kaosnya hingga menutupi tubuhnya. "Besok juga sudah memudar, Cara." tambahnya saat melihat ekspresi khawatirku yang masih jelas terpampang di wajahku.
"Apa Vincent sudah bisa menghubungi Evelyn pagi tadi?" tanyaku masih dengan wajah cemas.
"Yeah, walaupun agak merepotkan karena aku harus meminta bantuan Sam untuk menjadi penghubung."
"Sepertinya kita berhutang banyak pada Alpha Sam." imbuhku.
Tiba-tiba Alex meraih kedua tanganku dan menatapku dengan serius, "Cara, apa kau yakin ingin menyaksikan duel di Tanah Abu nanti?"
"Apa? Memangnya kenapa?"
"Walaupun aku yakin dengan hasilnya nanti, tapi tidak ada yang bisa memastikan apa Edward Adler akan bertanding dengan adil... dan aku tidak ingin melihatmu khawatir jika aku terluka nanti." ungkapnya dengan sebuah senyuman kecil yang hanya ditujukan untukku.
Rasanya tidak adil jika Ia memohon dengan wajah tampannya seperti ini. Aku memang harus berterimakasih pada Vincent nanti karena tidak melukai wajah Alex. Kuremas tangannya yang masih menggenggamku lalu menatapnya lekat-lekat, berusaha mengingat setiap detail wajahnya saat ini. "Aku ingin berada di sebelahmu dalam keadaan apapun."
"Ada kemungkin Adler akan menggunakanmu untuk memancingku jika Ia kalah." tambahnya lagi.
"Alex, jika duel di Tanah Abu nanti berubah berbahaya karena Adler... aku yang akan melindungimu. Apa kau lupa matemu adalah seorang Leykan?" Walaupun aku belum bisa mengendalikan kekuatan ini, tambahku dalam hati.
Senyuman kecil di wajahnya memudar dan sesaat ekspresi wajahnya berubah terpana lalu Ia tertawa. "Cara... jantungku baru saja berdebar kencang saat kau mengatakan akan melindungiku."
Aku tidak bisa menahan tawaku juga, "Apa kau baru saja mengaku jatuh cinta padaku?"
Tiba-tiba Alex mengangkat tanganku lalu mengucup punggung tanganku dengan lembut sementara kedua mata coklatnya menatapku tanpa berkedip, "Apa aku harus mengaku setiap kali aku jatuh cinta padamu? Karena itu artinya aku harus mengatakannya padamu setiap hari."
Rasanya perutku seperti dihuni ratusan kupu-kupu yang sedang mengepakkan sayapnya. Saat aku membuka bibirku untuk membalasnya, sudut mataku menangkap seseorang yang sedang bersandar di sudut dinding ruang makan. Vincent melipat kedua tangannya sambil menonton kami dengan ekspresi seperti ingin muntah.
"Ah..." gumamku saat mata kami bertatapan, seketika kepakan sayap kupu-kupu dalam perutku menghilang begitu saja. Alex melepaskan tanganku lalu mengikuti arah pandangku.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya dengan suara kesal.