Kedua mataku terbuka dengan sangat cepat.
"Lana?" gumamku sambil menatapnya yang berdiri di depan Nick, kedua tangannya terkepal erat. Greg berdiri tidak jauh darinya. "Apa yang kau lakukan pada Ella?" Ia terdengar sedikit histeris saat bertanya pada Nick, dan sepertinya Nick terlalu terkejut untuk menjawabnya.
"Aku akan membawanya pulang." Ia berjalan melewati Nick yang membeku di tempat. Kedua mata biru Lana terlihat sangat marah... dan tertuju padaku. Tapi baru beberapa langkah, Nick berbalik dengan cepat lalu menarik tangan Lana hingga Ia berhenti. Detik berikutnya Greg mencengkeram lengan Nick, "Lepaskan tanganmu darinya." Suara Greg membuat bulu halus di punggungku meremang.
"Kau tidak bisa membawanya kembali." Nick tidak menghiraukan peringatan Greg sama sekali, pandangannya fokus pada Lana.
Seperti permainan tarik-menarik mereka bertiga terlihat konyol. Walaupun aku tahu atmosfir di ruangan ini berubah menjadi tegang, aku tidak bisa menahan tawa kecilku. Moodku yang sebelumnya sedih berubah drastis saat melihat ketiga orang itu. Kurasa ini salah satu efek kehamilan.
"Tentu saja aku bisa." Balas Lana dengan ketus sebelum kembali memandangku. "Kau. Kembali ke San Francisco sekarang, kita akan berbicara dalam perjalanan."
Aku tidak ingat berapa lama aku tidak bertemu dengannya, rasanya seperti lama sekali. Lana memotong sedikit rambut pirang panjangnya hingga di bawah bahu, Ia mengenakan dress selutut semi formal berwarna biru navy dengan stiletto yang senada. Satu-satunya perubahan yang tidak bisa luput dari mataku adalah, Lana terlihat semakin kurus. Berapa lama kami tidak bertemu? Satu bulan?
"Miss Morrel—"
"Lepaskan tanganmu darinya, Nick." Ulang Greg memotong ucapan Nick.
"Ella, aku sudah memesan tiket untukmu."
Mereka bertiga saling tidak menghiraukan satu sama lain. Aku berdiri dari sofa masih dengan memandang Lana dan posturnya yang semakin kurus. Lalu kusadari ada bau yang berbeda di ruangan ini, kukerutkan keningku sedikit sambil berusaha mengendusnya lagi. Bau asam yang samar...
"Ella!" Lana menarik kedua sudut mulutnya ke bawah dengan kesal. Ia terlihat benar-benar marah.
"Aku tidak bisa." Jawabku sambil berjalan ke arahnya, ekspresi di wajahnya terlihat sedikit terluka saat mendengar jawabanku. "Nick, lepaskan Lana."
Nick langsung melepaskan tangannya dari pergelelangan tangan Lana, begitu juga Greg. "Aku... tidak bisa kembali sekarang, Lana."
"Sekarang dan selamanya." Tambah Nick dengan cepat. Aku meliriknya sekilas sebelum memandang Lana. "Maafkan aku." Tambahku dengan tulus.
Kedua mata birunya terlihat sedikit berkaca, "Ia mengubahmu?" tanyanya dengan nada tercekat. Kubuka mulutku untuk menjawabnya, tapi otakku bergerak lebih cepat. "Darimana... kau mengetahuinya?"
Kami berempat berdiri dalam diam sebelum akhirnya aku membuka mulutku lagi, "Greg?" pandanganku beralih padanya, Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah mencuri. "Kau memberitahunya?"
"Aku tidak—"
"Ia tidak memberitahuku." Potong Lana sebelum Greg menyelesaikan kalimatnya. "Ia hanya memberitahuku tentang... tentang Volder. Tapi aku tahu kau sudah berubah begitu Nick membuka pintu itu, kau terlihat berbeda, Ella. Aku tidak buta."
"Oh." Jawabku dengan lemah. "Aku—aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu..."
Lana tidak menjawabku. Kami kembali berdiri dalam keheningan yang canggung. Bau asing ini semakin tercium kuat, aku tidak bisa menjelaskan seperti apa tapi bau ini tercium seperti bahan kimia dan... darah. Kedua mataku membesar saat menyadari darimana sumbernya. Lalu perlahan pandanganku bergerak pada Greg, Ia sedang mengamati ekspresiku saat ini. Kau akan mengetahuinya saat bertemu dengannya. Kata-katanya kembali terngiang di dalam kepalaku.
"Ella?"
"Y—yeah?" kupandang kembali Lana dengan sedikit rasa bersalah. Apa yang salah dengan Lana?
"Ia tidak melukaimu, kan?" bisiknya. Aku yakin Nick masih bisa mendengarnya dengan jelas. "Kau tidak perlu berbohong padaku." tambah Lana.
Untuk pertama kalinya aku tersenyum padanya. "Tidak. Tentu saja tidak. Aku baik-baik saja."
"Tapi kau terlihat sedih saat aku melihatmu pertama kali tadi."
Well, rasa sedihku karena alasan yang berbeda. Bukan Nick yang menyakitiku, tapi aku yang akan menyakitinya. "Kami hanya sedang membicarakan hal yang sedih." Jawabku setengah berbohong. Aku baru menyadari sejak tadi Nick dan Greg tidak berbicara, ketegangan masih terlihat jelas di antara mereka berdua.
"Kau baru saja tiba di Manhattan?" tanyaku sedikit berbasa-basi.
"Yeah, satu jam yang lalu."
Aku mengangguk kecil lalu berusaha mencari topik yang lain, tapi rasa canggung ini masih terasa kuat di antara kami.
"Aku akan kembali ke hotelku." Kata Lana tiba-tiba. "Kalau kau tidak terlalu sibuk kau bisa mengunjungiku..."
"Okay. Aku pasti akan datang." Jawabku sambil tersenyum lagi. Kami berdua sama-sama memiliki banyak pertanyaan untuk dijawab.
"Okay." Lana terlihat ragu-ragu saat memandang Nick sekilas, "Well, bye. Telepon aku jika terjadi... sesuatu." Ia melemparkan pandangan ketus ke arah Nick lalu keluar bersama Greg. Sebelum pintu lift pribadi yang mereka gunakan tertutup aku bisa mendengar ucapan Lana pada Greg. "Aku tidak menyukai saudaramu."
***
Nick tidak menyinggung Lana sedikitpun selama sisa siang itu, begitu juga dengan Greg. Ia kembali ke pekerjaannya satu jam setelah Lana pergi. Kami berencana akan makan malam bersama di hotel tempat Lana tinggal. Aku tahu Lana tidak akan kembali ke San Francisco sebelum Ia memastikan aku benar-benar baik-baik saja, aku juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya.
Tanpa bertanya padaku, Nick menyuruh sekretarisnya membeli sebuah gaun untukku, aku memang tidak membawa banyak pakaian saat tiba di Manhattan. Yah, saat itu aku tidak berencana ke Manhattan sama sekali. Sebuah gaun berwarna champagne diantarkan dari sebuah butik yang masih satu blok dengan kantor Nick, lengkap dengan high heels warna nude dan sepasang anting emas. Kupandang bungkusan kotak berisi seluruh barang mewah itu dengan wajah kesal. Nick tidak perlu membelikanku barang-barang ini hanya untuk makan malam bersama Lana.
Aku menunggunya kembali, tapi sampai pukul 6 malam Ia belum kembali juga. Tanganku mengusap perutku tanpa kusadari. Rasa laparku mulai terasa lagi walaupun siang ini aku baru saja meminum darah Nick, sejauh ingatanku hanya ada dua darah yang ditoleransi oleh tubuhku saat ini; Nick dan Alastair. Alastair memberi darahnya lewat tranfusi saat Ia menculikku, tidak ada efek samping dari darahnya malahan darahnya memberiku kekuatan lebih lama daripada darah Nick. Pandanganku kembali ke arah pintu penthouse untuk yang kesekian kalinya sebelum akhirnya memutuskan untuk mandi.
"Eleanor?" suara Nick terdengar dari ruang tengah saat aku baru saja selesai mandi. Kupakai mantelku lalu keluar dari kamar, Nick sedang menuangkan dua gelas Wine bercampur darah di atas counter dapur lalu menyodorkannya padaku. Ugh. "Aku tidak terlalu lapar." Gumamku walaupun aku tetap menerima gelas itu.
"Minum, Eleanor." Jawabnya pendek sebelum meminum Wine miliknya dalam satu tegukan. Kedua matanya terpaku padaku saat Ia minum, menungguku. Kutempelkan pinggiran gelas pada bibirku, berpura-pura sedang minum. Bau anyir menusuk hidungku membuatku kembali mual, kukerutkan hidungku sambil meletakkan kembali gelas itu ke atas counter. Nick menarik kedua sudut mulutnya ke bawah tapi tidak berkomentar apa-apa.
"Ada apa?" tanyaku saat Ia tidak mengalihkan pandangannya dariku.
Nick meletakkan gelas kosongnya lalu menggeleng sekali. "Kau terlihat berbeda."
"Kau sudah mengatakan hal yang sama dua kali, Nick."
Ia tersenyum samar sebelum melangkah mendekatiku lalu menarikku ke dalam pelukannya. "Yeah, mungkin karena aku belum terbiasa." Katanya sambil mengecup pelipisku sekali. Perlahan ciumannya turun ke bibirku dengan lembut, salah satu tangannya berada di simpul tali mantelku, jari-jarinya memilinnya sesaat. "Nick," bisikku di tengah ciuman kami, "Kita tidak mempunyai waktu untuk ini." Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang mulai kering, bau Nick membuat rasa laparku semakin terasa menjadi.
Ia menarik kepalanya dengan wajah cemberut lalu menghela nafasnya. "Beri aku waktu 10 menit untuk mandi." Gerutunya sebelum menciumku sekilas lalu melepaskan pelukannya. Aku tersenyum melihat wajah kesalnya walaupun Ia tetap menurutiku.
Setengah jam kemudian kami sudah siap, Nick sedang menungguku berpakaian di ruang tengah. Saat aku keluar dari kamar Ia sedang duduk di sofa yang menghadap ke taman penthouse, jas hitamnya disampirkan di sebelahnya. Dari samping aku bisa melihat siluet tampannya, rahangnya yang keras, rambut coklatnya yang rapi, dan mata birunya yang sedang menatap lurus ke gemerlap malam di Manhattan. Kurasa saat ini Ia sedang berpikir sangat serius. Aku tidak tahu bagaimana bisa pria sepertinya menyukaiku, Ia bisa mendapatkan wanita mana saja yang Ia inginkan. Tapi Ia memilihku. Aku.
Perasaan bersalah menghantamku seketika, aku tidak bisa menyimpan rahasia ini lebih lama lagi. Perlahan kepalanya menoleh ke arahku dan selama beberapa detik pandangannya tidak berkedip. Ia berdiri sambil menyelipkan kedua tangannya di saku celananya tanpa memutuskan pandangannya dariku sedikitpun. Atmosfir di antara kami berubah drastis, seakan-akan ada tarikan magnet di antara kami yang sangat kuat. Kubuka bibirku sedikit untuk berbicara tapi ada sesuatu yang mencegahku untuk berbicara. Begitu juga dengan Nick.
Saat ini hanya ada kami berdua di dunia ini.