Setelah mengobati lecetku, berendam, dan memesan delivery chinese food, aku duduk di sofa hotelku yang besar sendirian. Langit di luar sudah sangat gelap dan hujan mulai turun.
Kuikat mantel tidurku yang sedikit longgar lalu menatap Tv di seberangku dengan pandangan kosong. Satu jam terakhir ini kepalaku sibuk berusaha menebak siapa pria penyelamatku. Well, karena aku tidak bisa menebak namanya jadi paling tidak aku bisa menebak pekerjaannya.
Dengan suara dan wajahnya yang tegas dan mengintimidasi, Ia mungkin seorang Banker muda. Ia tidak terlihat terlalu tua dari umurku, mungkin sekitar 30an? Tapi ada sesuatu di dalam kedua mata birunya yang membuatnya tidak terlihat seperti umur 30an.
Kugigit ujung bibirku sambil mengerutkan kening, lalu suara ketukan membuyarkan pikiranku. Aku berjalan menuju pintu kamar hotelku dan membukanya. Seorang bell boy berdiri membawa delivery ku dan sebuah kotak hitam. Kuberikan uang deliveryku beserta tip padanya lalu mengambil chinese food yang kupesan.
"Miss Heather? Yang ini untuk anda juga." Katanya sambil menyerahkan kotak hitam yang dibawanya.
"Untukku?" aku menatap kotak itu dengan ragu-ragu, kotak itu terlihat seperti bungkus kotak coklat godiva yang mahal hanya saja ukurannya lebih besar dan tanpa label. "Aku tidak memesannya."
"Seorang pria mengantarkannya dua puluh menit yang lalu, Miss." Lalu Ia menyerahkan kertas yang terselip di balik kotak itu. Sebuah amplop kecil bertuliskan Eleanor Heather.
Aku mengambil paket itu darinya lalu berterimakasih padanya, Ia membalasku dengan sopan lalu kembali ke arah lift. Kututup kembali pintu kamarku lalu menaruh deliveryku di meja sebelah Tv.
Kuletakkan kotak misterius itu di pinggir tempat tidur sambil memandangnya dengan ragu-ragu. Saat aku membuka kotaknya, potongan kertas berwarna pink pastel memenuhi kotak itu, kontras dengan warna kotaknya yang hitam.
Lalu sesuatu berwarna hitam dan merah menonjol diantara kertas itu. Tanganku menariknya, membuat serpihan kertas berwarna pink jatuh di sekitarku. Sebuah sepatu? Tepatnya sebuah sepatu yang sama persis dengan milik Lana, hanya saja yang ini baru.
Aku menatap sepatu hitam dengan sol berwarna merah di tanganku selama beberapa saat.
Jantungku mulai berdebar lebih cepat. Kukembalikan sepatu itu ke dalam kotak tanpa melihat pasangannya lalu membuka amplop kecil berwarna putih di sebelahku.
Di dalamnya hanya ada secarik kartu tebal polos berwarna putih dan dua baris kalimat;
'Aku tidak bisa tidur dengan tenang sebelum memastikanmu baik-baik saja. Makan siang besok?'
Lalu sederet nomor handphone di bawahnya.
Aku tidak perlu menebak siapa pengirimnya. Perutku kembali terasa aneh saat membacanya, rasanya seperti ada puluhan kupu-kupu yang berterbangan di dalamnya sekaligus. Tanpa kusadari tubuhku bergerak sendiri ke arah telepon hotel, lalu menekan nomornya.
Saat aku mendongak aku bisa melihat wajahku sendiri di pantulan kaca. Aku tidak bisa menahan sebuah senyuman lebar bodoh di wajahku saat ini.
"Ya?" Sebuah suara bariton menjawabku setelah nada sambungan kedua.
Tidak ada halo? Okay.
"Um, hai!" Aku melirik jam di dinding hotel, pukul 8 malam.
"Eleanor." Nada suaranya berubah menjadi sedikit lebih lembut saat menyebut namaku. Aku harus menggigit bibirku untuk menahan senyuman bodohku yang semakin lebar.
"Aku belum sempat mengatakannya padamu tapi, terimakasih untuk yang tadi sore... Dan untuk sepatunya. Tapi aku tidak bisa menerimanya." Mataku kembali menangkap pantulanku di kaca, kali ini jari-jariku sedang memilin kabel telepon.
Ya Tuhan, aku terlihat seperti anak perempuan berumur 16 tahun yang sedang jatuh cinta. Kulepaskan jariku saat itu juga karena jijik.
Ia terdiam sejenak sebelum membalasku lagi, "Apa ukurannya tidak cocok?"
"Bukan itu." Aku tidak bisa menerima sepatu seharga satu kali gajiku begitu saja. "Anda tidak perlu menggantinya. Aku tidak bisa menerimanya."
"Dan kau tidak bisa mengembalikannya padaku. Aku tidak menginginkannya."
"Okay..." aku menggigit bibirku lagi, berusaha mencari cara lain, "Bagaimana jika aku menggantinya?"
"Dengan?" suaranya berubah menjadi lebih dalam membuat debaran jantungku semakin tidak terkontrol. Mungkin aku akan mendapat serangan jantung jika mendengar suaranya lebih lama lagi.
"Aku bisa mengirimkan cek—"
"Aku tidak menginginkannya juga." Potongnya sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Ia benar-benar keras kepala. Tapi aku juga tetap harus mengembalikan uangnya bagaimanapun caranya nanti. Mungkin aku bisa mengirimkan cek ke kantornya? Tapi yang pertama aku harus mengetahui namanya lebih dulu.
"Aku belum tahu namamu." Lanjutku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ia kembali terdiam, tapi kali ini entah kenapa aku bisa membayangkan wajahnya sedang tersenyum.
"Aku akan memberitahumu namaku, jika kau makan siang denganku besok, Eleanor."
Kurasa Ia tidak pernah mendengar kata tidak. "Okay, bagaimana kalau jam setengah satu siang?"
"Erik akan menjemputmu di tempat kerjamu."
"Oh, tidak! Tidak perlu. Aku harus pergi ke tempat lain dulu sebelumnya." Aku harus membeli handphone baru sebelum lupa lagi.
"Kau yakin? Erik tidak akan keberatan mengantarmu."
Erik. Erik. Erik.
"Yeah, aku bisa pergi sendiri. Dimana tempatnya?"
"Antonio Lombardi. Dua blok dari gedung Bank Finley." jawabnya.
Aku melewati restauran itu tadi pagi, tepat di sebelah butik Laduree, dari namanya kurasa itu restauran Italia atau Perancis. "Kurasa aku tahu tempatnya."
"Bagus. Sampai jumpa besok, Eleanor."
Sedikit rasa kecewa menyusupiku, aku masih ingin berbicara dengannya. "Sampai jumpa besok, um..." Ugh. Aku tidak tahu namanya, "—bye."
Lalu setelah dua detik menunggu akhirnya Ia menutup sambungan teleponnya. Aku memandang telepon di depanku, sebagian diriku tergoda untuk menelepon Lana. Tapi menelepon lewat telepon hotel cukup mahal, kuurungkan niatku lalu mengambil bungkusan chinese foodku dan membukanya. Bau kungpow chicken langsung memenuhi kamar hotelku, mengingatkanku pada rasa laparku. Kugigit potongan ayam terbesar lalu mengunyahnya sambil memasang senyum bodohku.
***
Mrs. Lynch sudah mengecekku tiga kali sepanjang pagi ini, dan Ia menanyakan hal yang sama berulang kali hingga membuatku sedikit kesal. Aku bahkan belum mendekati seperempat bagian audit karena flashdisku yang tertinggal kemarin.
Kugigit bagel Herring Julio yang kubeli untuk sarapan pagi tadi sambil menatap layar laptopku. Rasa gurih dan asin dari ikan herringnya lumer di dalam mulutku bercampur dengan sausnya. Aku akan merindukan Julio dan bagelnya setelah pulang nanti.
Kedua mataku melirik jam di dinding untuk yang kesekian kalinya. Dua jam lagi. Aku sudah menyiapkan cek untuk mengganti sepatu Lana. Bagaimanapun caranya, hari ini aku harus mengembalikan biaya sepatu yang kemarin kepada pria bermata biru itu.
***
Tepat lima belas menit sebelum waktu istirahat makan siang, kumatikan laptopku lalu mengecek wajahku sekilas di toilet. Rambut auburnku kubiarkan terurai hingga di atas dadaku, aku menatap pantulanku di kaca lalu memoleskan lipstik yang sudah memudar. Dua titik berwarna merah di leherku sudah mulai memudar, tapi aku tetap harus menutupnya dengan concealer setiap pagi agar tidak terlihat. Pikiranku selalu kembali ke malam itu setiap melihat luka di leherku.
Setelah puas aku menatap pantulanku untuk yang terakhir kalinya lalu keluar dari toilet. Janji makan siangku masih setengah jam lagi, tapi aku harus mampir ke toko handphone dulu. Kuambil tasku lalu berjalan menuju lift.
Langit sudah sedikit mendung saat aku keluar dari gedung Shaw&Partner. Dua hari ini hujan tidak pernah absen di Manhattan, aku membuat note di dalam kepalaku untuk membeli payung nanti. Yang pertama handphone dulu.
Setelah lima menit mencari akhirnya aku menemukan sebuah toko handphone, aku membeli model handphone dengan fitur minimal dan harga paling murah. Setelah memasukkan simcard baruku dan menyalakannya, hal pertama yang kulakukan adalah menghubungi Lana. Jari-jariku menekan nomor Lana yang sudah kuingat di luar kepala. Ia mengangkatnya pada nada sambung ke lima.
"Hey." Sapaku sambil keluar dari toko, angin menyapu rambutku saat aku berjalan. Kurapatkan blazerku dengan salah satu tanganku.
"Ella! Aku menunggumu sejak kemarin. Bagaimana Manhattan?" suara Lana yang terdengar ceria membuatku tersenyum.
"Tidak begitu buruk. Kau masih bekerja?"
"Aku baru akan pergi makan siang. Apa kau bertemu dengan Shaw bersaudara?" Lana sangat payah dalam berbohong. Aku bisa mendengar nada penasarannya yang berusaha Ia sembunyikan.
"Tentu saja tidak, aku hanya berurusan dengan manager keuangannya saja... Tapi aku bertemu seseorang."
"Seseorang?" suara Lana terdengar curiga.
"Yeah. Ia menolongku saat aku hampir ditabrak���"
"Tunggu dulu, kau hampir ditabrak?" potongnya dengan nada panik.
"Hh-mmm. Aku baik-baik saja. Kembali ke pria itu—"
"Tunggu dulu, yang menolongmu pria?"
Aku mulai sedikit kesal dengannya. "Kau pikir aku akan menceritakan padamu jika yang menolongku wanita?" tanyaku dengan kesal. Lana hanya tertawa mendengar pertanyaanku. Aku berbelok di perempatan dari gedung Shaw&Partner, hanya beberapa menit lagi sebelum sampai di restauran yang kutuju.
"Well, teruskan."
"Kurasa Ia seorang banker. Ia bahkan menyuruh supir pribadinya untuk mengantarku kembali ke hotel setelah itu."
Lana bersiul cukup keras. "Whoa. Bagus, Ella. Kemajuan yang cukup jauh dari Oliver. Apa Ia tampan?"
Kali ini giliranku untuk tertawa.
"Okay, Ia sangat tampan." Lana tidak perlu menunggu jawabanku untuk tahu, Ia mengetahuinya dari suara tawaku. "Siapa namanya?"
"Aku belum tahu namanya." Jawabku dengan jujur.
Lana terdiam selama beberapa detik lalu kembali tertawa, "Okay, berarti Ia sangat sangat tampan, huh?"
"Aku tidak sempat bertanya, tapi Ia akan memberitahuku saat makan siang."
"Ia mengajakmu makan siang?" suara Lana semakin meninggi. Kedua mataku menangkap bangunan restauran Antoni Lombardi dari tempatku berjalan.
"Yeah, aku akan memberitahumu nanti. Aku sudah hampir sampai. Bye, Lana." Aku menutup teleponku tanpa menunggu jawaban darinya.
Kumasukkan handphoneku ke dalam tasku lalu melihat jam tanganku, aku datang lima belas menit lebih awal. Yah, lebih baik awal daripada terlambat.
Seorang waiter berseragam membukakan pintu restauran untukku, aku masuk ke dalam restauran elegan ini lalu berhenti di depan antrian yang cukup panjang.
Apa harus mengantri dulu? pikirku sambil menatap antrian di depanku dengan ragu-ragu lalu menatap jam tanganku. 45 menit lagi aku harus kembali ke kantor. Kugigit bibirku sambil berdiri di antrian paling belakang, tiba-tiba seorang waiter menghampiriku lalu tersenyum. "Miss Heather?"
"Ya?"
"Meja anda sudah siap, Miss. Di sebelah sini."
Aku menatapnya selama satu detik dengan pandangan bingung sebelum mengikutinya melalui lorong dengan karpet berwarna merah. Berbagai lukisan memenuhi salah satu sisi lorong panjang ini, sedangkan sisi yang satunya dipenuhi jendela besar.
Restauran ini cukup penuh saat jam makan siang, aku hampir tidak melihat meja kosong. Kuedarkan pandanganku ke seluruh restauran. Lalu aku melihatnya.
Ia duduk di meja yang berada di ujung ruangan, di depannya ada segelas Wine merah yang tinggal seperempat gelas. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku saat berjalan ke arahnya. Ia mengenakan jas berwarna biru gelap yang serasi dengan warna matanya dan kemeja putih gading, tanpa dasi.
Bahkan saat sedang duduk seperti biasa pun Ia memancarkan aura yang mendominasi. Kedua matanya sudah menatapku sejak tadi. Saat pandangan kami bertemu jantungku kembali berdebar lebih keras. Salah satu tangannya diletakkan di atas meja yang bertaplak putih, jari-jarinya sedang mengetuk-ketuk dengan santai.
Waiter di depanku menarik kursi untukku lalu memberiku buku menu. Setelah aku mengucapkan terimakasih Ia pergi. Perhatianku kembali ke pria di depanku.
"Hai." Sapaku sambil menaruh tasku di sebelah kursiku. Ia tidak menjawabku, tapi kedua matanya masih menatapku dengan ramah.
"Kau tidak memakai sepatu yang kukirim." Gumamnya sambil sedikit mengerutkan keningnya.
"Aku tidak ingin merusaknya lagi. Sepatu itu bukan milikku." jawabku sambil tersenyum.
Kali ini kedua sudut mulutnya sedikit ditarik ke bawah. "Eleanor, aku sudah memberikannya padamu. Aku tidak akan menerimanya kembali."
Aku tersenyum lagi padanya, "Sepatu yang kurusak kemarin milik temanku. Ia meminjamkannya padaku jadi aku harus mengembalikannya." Aku tidak akan bisa membeli sepatu semahal itu, tambahku dalam hati.
Saat Ia tidak membalasnya lagi, kubuka menu di tanganku lalu mulai melihat-lihat barisan menunya. Tidak ada harga yang dicantumkan di dalamnya, yang artinya hanya ada satu hal; seluruh menunya mahal.
Kugigit bibirku sambil menebak menu apa yang paling murah. "Kau sudah memesan?" tanyaku sambil meliriknya. Ia lebih banyak diam kali ini, membuatku semakin gugup.
Ia hanya mengangguk, "Kau sudah siap memesan?" tanyanya sambil mengangkat tangannya untuk memanggil waiter. Dua detik kemudian seorang waiter muncul di sebelah meja kami. "Sudah siap, Sir?"
"Seperti biasa, Giorgio." Balasnya tanpa mengalihkan pandangannya dariku, "Eleanor?"
"Caesar Salad." Salad tidak mungkin terlalu mahal, kan? "Dan... Chamomile dingin." Waiter bernama Giorgio itu mengangguk, tersenyum, lalu menghilang secepat datangnya. Tiba-tiba aku lebih ingin berada di restauran bagel milik Julio. Aku bisa makan dengan nyaman dan tidak perlu mengkhawatirkan tentang harga di restaurannya.
"Eleanor." Suaranya membuyarkan pikiranku, aku mendongak ke arahnya lagi. "Apa yang sedang kaupikirkan?"
Tanpa kusadari aku masih menggigit bibirku. "Oh, bukan apa-apa. Hanya pekerjaan. Jadi kau sudah siap memberitahu namamu?"
"Aku belum tahu dimana kau bekerja."
Aku bahkan belum tahu namamu!
Kusebutkan nama perusahaan akuntan tempatku bekerja. "Tapi aku sedang mengaudit perusahaan klien. Perusahaan Shaw&Partner." Tambahku.
Ekspresi terkejut menghiasi wajahnya lalu Ia mengerutkan kedua alisnya, "Kau bekerja untukku?"
Huh? Perasaan gugugpku perlahan berubah menjadi sedikit tidak enak. "Maaf, apa?"
"Eleanor, Shaw&Partner adalah perusahaan milikku."