Happy reading!
💝💝💝
"Danuar!"
Sekali lagi kemesraan kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu terusik. Danuar langsung beranjak berdiri saat memandang wajah orang yang memanggil namanya.
Danuar menunduk gugup di hadapan dua wanita paruh baya yang sedari tadi memperhatikan polah tingkahnya bersama Elena kekasihnya. Di hadapannya telah berdiri ibunya dan Nyonya Aliya, ibunya Ayushita.
"Siapa mereka, Sayang?" tanya Elena yang juga berdiri dan menggelayut mesra di lengan Danuar.
Pria itu melirik Elena sejenak lalu beralih ke wajah Nyonya Rosita yang menggelap.
"Elena, ini Mamaku," jawab Danuar gugup. "Ma, ini Elena."
Elena hanya ber-Oh seraya memasang wajah seceria mungkin.
"Apa kabar, Tante?" sapa Elena mengulurkan tangan yang tidak disambut oleh Nyonya Rosita. Wanita paruh baya itu hanya mengarahkan pandangan geram ke arah putranya. Elena menurunkan tangannya dengan canggung.
Bagaimana tidak geram. Setelah membuat kekacauan, putranya itu langsung pergi bersama kekasihnya dan tidak pernah pulang ke rumah. Kini, dengan tidak tahu malu mengumbar kemesraan dengan kekasihnya di mana- mana. Bahkan saat ini Ibu Ayushita harus menyaksikan kelakuan putranya itu.
"Sepertinya kamu sudah lupa untuk pulang ke rumah setelah mempermalukan keluargamu. Apakah hotel begitu menyenangkan untuk ditinggali?" dengus Nyonya Rosita tajam.
"Maaf Tante itu salah saya ...," sela Elena.
"Aku tidak bicara denganmu." Suara Nyonya Rosita meninggi. Beberapa pengunjung kafe sampai menoleh ke arah mereka.
"Ma, jangan marah sama Elena. Dia tidak salah. Aku yang salah," sanggah Danuar.
"Ya dia memang tidak salah. Tapi kamu yang tidak tahu diri," desis Nyonya Rosita penuh emosi. Elena melipir ke belakang Danuar melihat tatapan marah wanita itu.
"Sudah, Ros. Malu dilihat orang. Sebaiknya kalian bicarakan baik-baik di rumah." Nyonya Aliya mengelus punggung sahabatnya untuk menenangkannya.
"Danu, sebaiknya kamu pulang ke rumah dan bicaralah baik-baik dengan orang tuamu." Danuar mengangguk lemah mendengar saran dari Nyonya Aliya.
'Ya Allah, terbuat dari apakah hati orang tua ini. Aku sudah menyakiti hati anaknya dan mengecewakan mereka. Tapi tak sedikit pun dia marah padaku,' batin Danuar.
Nyonya Aliya lalu menggandeng sahabatnya pergi dari tempat itu meninggalkan Danuar dan Elena yang masih terpaku di tempatnya.
"Sayang, sepertinya Ibumu tidak menyukaiku. Dan siapa perempuan satunya?" tanya Elena.
Danuar mengembuskan napas berat, "Dia ibu calon tunanganku, Ayu. Tenanglah, aku akan memperjuangkanmu di depan orang tuaku," hibur Danuar.
"Benarkah?" Elena kembali bergelayut manja yang disambut senyum Danuar.
***
Akhir pekan yang cerah. Matahari baru sepenggalan naik.
Dengan gontai Ayushita menyusuri jalanan kampung yang sedikit berdebu. Sejak dia menjejakkan kaki di kampung Petak Hijau, belum satu pun tetes hujan menyapa bumi.
Meski hujan jarang turun, penduduk kampung tidak khawatir akan kekurangan air karena area mereka dikelilingi sungai yang menjadi salah satu sumber air penduduk sekitar. Sumur warga pun tak mengering karena air tanah di wilayah ini masih melimpah.
Dengan menenteng sekantung buah dan beberapa kue kemasan, Ayushita memasuki pelataran Puskesmas. Dian yang melihat kedatangannya dari jauh mengerutkan kening tidak suka. Perawat itu mengira Ayushita akan menemui Dokter Arjuna.
Ternyata Ayushita berbelok menuju bangsal tempat pasien dirawat. Setelah bertanya pada beberapa keluarga pasien di sana, akhirnya Ayushita menemukan ruang rawat Joe.
"Assalamu'alaikum," salam Ayushita.
"Wa'alaikumussalam," Sebuah suara renta membalas salamnya. Nenek Joe keluar menyambut kedatangan Ayushita.
"Mari, Neng Bu Guru. Silahkan duduk," sambut Nenek Joe lalu menarik sebuah kursi tua untuk Ayushita.
"Terima kasih, Nek. Ini ada sedikit buah tangan untuk Joe," kata Ayushita sambil melirik Joe yang terbaring di atas ranjang rawat sempit. Nenek Joe menerima pemberian Ayushita dengan ucapan terima kasih.
Pria itu menoleh sejenak lalu mengalihkan wajahnya ke arah lain. Dia malu.
"Kok Neng Ibu Guru repot-repot jenguk Joe? Padahal dia sudah kurang ajar sama Ibu Guru," lirih sang nenek dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak repot kok, Nek. Sebagai sesama Muslim salah satu kewajiban kita adalah menengok saudara kita yang sakit. Justru saya minta maaf karena baru sempat datang sekarang." Ayushita menggenggam tangan keriput Nenek Joe. Nenek itu mulai menangis sesenggukan.
"Neng Ibu Guru baik sekali. Padahal cucu Nenek sudah menyakitimu. Kalaupun Joe ditangkap polisi... Nenek ... sudah pasrah." Napas Nenek Joe tersengal dengan suara parau saat dia berbicara di sela isaknya.
Lalu mengalirlah cerita tentang kehidupan Joe dari bibir keriput sang nenek.
Joe memiliki nama asli Johan Saputra. Saat baru berusia dua tahun, ibunya meninggal karena radang paru-paru. Joe lalu hidup bersama ayahnya karena dia anak tunggal. Lima tahun kemudian, ayahnya menyusul ibunya dengan penyakit yang sama. Jadilah Joe kecil diasuh kakek dan neneknya.
Kehidupan yang sulit membuat Joe yang yatim piatu tidak bisa menamatkan sekolah menengah pertama. Dia lalu membantu kakeknya berjualan hasil kebun dan sesekali membantu tetangganya panen di sawah.
Tubuh ringkih kurus Joe ditempa kerasnya kehidupan. Sering kali Joe harus menahan lapar saat tak ada uang untuk membeli beras.
Akhirnya Joe luntang lantung bertahan hidup dari belas kasihan orang. Terkadang dia mendapatkan penghinaan atau perlakuan kasar dari orang lain. Hingga dia mulai bergaul dengan pemuda-pemuda kampung seberang yang kebanyakan adalah preman. Mereka suka memalak dan menarik pajak di jalanan atau di pasar. Kadang mereka tidak segan melakukan kekerasan pada korbanya jika melawan. Tindakan mereka benar-benar meresahkan warga.
"Sebenarnya Joe anak baik. Waktu kecil dia penurut dan rajin. Joe hanya tidak beruntung. Nenek bukan membela Joe. Di dunia ini tinggal Joe yang kami punya. Kakek dan Nenek selalu berdoa kelak Joe sadar dan kembali menjadi anak baik." Nenek Joe menutup ceritanya.
Ayushita menyusut air bening yang menggenang di pelupuk matanya mendengar cerita Nenek Joe. Pandangannya beralih ke pria muda yang berbaring sambil memejamkan matanya. Tangannya masih dibalut perban.
Ayushita lalu bangkit dan menghampiri tempat tidur Joe.
"Joe, bagaimana keadaanmu?" tanya Ayushita lirih. Pria yang ditanya hanya diam dan tidak membuka matanya.
"Maafkan aku karena bikin kamu kaya begini. Kamu tahu kan kalau aku hanya membela diri," tutur Ayushita. Lagi. Tidak ada jawaban.
"Semenjak masuk ke sini Joe jadi pendiam, Bu Guru. Bahkan pertanyaan Pak Dokter pun tak digubrisnya." Ayushita hanya manggut-manggut sambil masih menatap Joe yang terbaring tak berdaya.
"Saya mau pamit dulu, Nek. Sudah siang masih ada urusan lain," kata Ayushita. Lalu gadis itu meraih tangan Nenek Joe dan mengangsurkan sebuah amplop ke tangan sang nenek.
Nenek Joe terkejut, "Apa ini, Bu Guru?" tanya nenek bingung.
"Ini sedikit rezki untuk Nenek untuk keperluan sehari-hari," bisik Ayushita. "Saya harap Nenek tidak menolak."
Nenek Joe merangkul Ayushita dengan sedu sedan. Ayushita balas memeluk tubuh ringkih Nenek Joe dengan erat. Dia membayangkan jika Nenek Joe adalah ibunya. Alangkah miris kehidupan keluarga itu.
"Ya Allah, apakah aku sanggup bertahan jika aku berada di posisi mereka? Kasihani dan sayangilah keluarga ini," doa Ayushita dalam hati.
Ayushita lalu melerai pelukan mereka dan kembali pamit pada Nenek Joe. Saat akan menekan hendel pintu ruang rawat, Ayushita menoleh ke arah Joe bersamaan dengan pria itu menoleh ke arahnya. Ayushita tersenyum padanya dan pria muda itu hanya menatap Ayushita dengan tatapan yang rumit.
Keluar dari bangsal rawat Ayushita malah bertemu Anjuna. Hal yang wajar jika mereka bertemu karena Puskesmas ini adalah wilayah jajahan sang dokter.
"Aku dengar dari Dian kalau kamu datang ke sini menjenguk Joe," kata Arjuna membuka percakapan.
"Iya," jawab singkat.
"Untuk apa kamu ketemu Joe?" tanya Arjuna ingin tahu disamarkan dengan nada datarnya.
"Emang tidak boleh menjenguk orang sakit?" jawab Ayushita tak kalah datar.
Arjuna kesal dengan jawaban Ayushita. Dia merasa gadis itu selalu menolak berinteraksi dengannya.
Tanpa basa-basi Ayushita langsung pamit meninggalkan Arjuna yang masih bengong di belakangnya.
Sementara Dian yang mengamati interaksi Ayushita dan Arjuna dari jauh hanya bisa menggeram kesal.
'Ini tidak bisa dibiarkan,' gumamnya sambil mengepalkan tangannya.
Dengan segera Dian menyusul Ayushita yang sudah keluar dari halaman Puskesmas.
"Ibu Sita, tunggu!" panggil Dian. Ayushita berhenti dan berbalik. Dian berhenti dua meter di depan Ayushita.
"Ada apa?" tanya Ayushita dengan nada dingin.
"Aku cuma mau memperingatkan kamu." Dian langsung menyerang tanpa basa-basi.
"Apa itu?" sergah Ayushita. Ekspresi wajahnya tidak berubah takut sedikit pun. Dian sedikit gentar dibuatnya.
"Jangan dekati Dokter Arjuna. Kamu tidak pantas untuk dia. Dokter Arjuna adalah idola dan panutan orang-orang di sini. Dia pun tidak punya perasaan sama kamu. Jadi jangan berharap," ucap Dian to the point.
Ayushita tersenyum miring.
"Jadi maksudmu ... hanya kamu yang pantas mendekati Dokter Arjuna?" Ayushita juga berucap tanpa tedeng aling-aling.
Dian tergeragap. Dia tidak menyangka Ayushita akan mengatakan hal itu.
"Apa maksudmu?" bentak Dian dengan nada tinggi menutupi salah tingkahnya.
"Ada apa ini? Mengapa kalian ribut di sini?" Tiba-tiba Arjuna sudah ada di belakang Dian. Awalnya sang dokter berniat pulang ke rumahnya. Namun dia melihat Ayushita dan Dian sedang berdiri berhadapan di depan pintu pagar dengan aura sedang menunggu genderang perang ditabuh.
"Dokter Arjuna?" Seketika wajah Dian pias. "Tidak ada apa-apa, Dok," Raut Dian tampak berubah-rubah dari pucat ke kuning lalu ungu.
"Kalau tidak ada lagi yang ingin kamu sampaikan maka aku permisi. Assalamu'alaikum." Ayushita berlalu.
Arjuna sekali lagi hanya bengong memandang kepergian Ayushita. Sedangkan Dian sibuk menenangkan debaran jantungnya karena gugup.
'Apa Dokter Arjuna mendengar ucapanku tadi ya? Bisa gawat kalau dia dengar,' rutuk Dian dalam hati.
Sebelum Arjuna bertanya lebih lanjut, Dian sudah melarikan diri demi menyelamatkan harga dirinya seandainya benar Arjuna mendengar ucapannya.
Sementara Arjuna masih fokus menatap punggung Ayushita yang makin menjauh.
'Hmm ... sepertinya tadi Ayu menyebut namaku deh. Terus, siapa yang mau pedekate sama aku ya? Apakah mereka bertengkar karena aku?' monolog hati Arjuna.
***
Malam hari di kediaman Keluarga Danuar.
Nyonya Rosita menyiapkan makan malam seperti biasanya. Pak Yuda, suaminya, dan putranya sudah duduk di kursi masing-masing. Mereka makan malam dalam keheningan tanpa ada yang berniat membuka obrolan.
Setelah makan malam, Pak Yuda menyuruh anaknya duduk di ruang tamu di hadapan dia dan istrinya.
"Setelah kabur dari rumah dan dari pertunanganmu, akhirnya kamu pulang juga," sarkas Pak Yuda memecah keheningan di antara mereka.
Danuar hanya membisu sambil menundukkan kepala memandang meja di depannya.
"Apa ada yang ingin kamu katakan sekarang?" sergah Pak Yuda.
Danuar menggerakkan mulutnya hendak berucap tapi suaranya hanya tersangkut di tenggorokannya.
"Anak tak tahu diri. Begitu balasan kamu sama kedua orang tua kamu? Begitu balasan kamu pada kebaikan Sita dan keluarganya?" Pak Yuda berdiri lalu menunjuk-nunjuk putranya. Pria itu berang dengan sikap diam anak semata wayangnya itu. Nyonya Rosita hanya terisak di dekatnya.
"Maaf ...," Hanya itu yang keluar dari mulut Danuar.
"Maaf? Sekarang kamu baru mengatakan maaf. Kamu tahu betapa malunya saya di depan keluarga Pak Ruslan. Demi perempuan itu kamu menghancurkan semua kepercayaan orang tua sama kamu. Demi perempuan itu kamu menyakiti Sita. Bahkan Mamamu bilang kamu dan perempuan itu dengan tidak tahu malu mengumbar kemesraan di depan umum saat keluarga kita mendapat hujatan dari banyak orang. Bahkan ibunya Sita menyaksikan kemesuman kalian berdua. Apa yang ada di pikiranmu, hah??? hardik Pak Yuda dan sudah mengangkat tangannya. Nyonya Rosita segera menghalangi suaminya yang hendak memukul anaknya.
"Pa, jangan salahkan Elena. Saya yang salah," Danuar memelas.
"Bela terus perempuan itu. Terserah apa maumu. Papa tidak peduli lagi. Suatu saat kamu akan menyesal, Danu." Pak Yuda beranjak dari hadapan Danuar disusul Nyonya Rosita.
Danuar membeku di tempatnya. Wajahnya mengeras menahan amarah.
'Aku tahu aku salah. Tapi bisakah kalian membiarkan aku memilih cintaku. Mengapa kalian terus saja memandang tinggi Ayu tanpa mau memberi kesempatan pada Elena. Ini tidak adil,' geram Danuar dalam hati.
Tanpa menghiraukan panggilan ibunya Danuar melangkah keluar dari rumahnya dengan membanting pintu dengan keras. Nyonya Rosita hanya bisa berucap Istigfar melihat sikap keras kepala putranya.
Bersambung ...
💝💝💝
Mohon untuk mampir di lapak novelku berjudul Sekretarisku Pengawalku, dan berikan dukungan Power Stone karena novel ini sedang author ikutkan kontes. Dukungan pembaca sangat berarti bagi author.
Feed back dari pembaca berupa penilaian yang layak dan komen-komen membangun sangat author harapkan untuk pengbangan karya author ke arah lebih baik.
Terima kasih dan sampai jumpa di BWW #9.