"Siapa?"
Richard mendongak dari mejanya dengan kening berkerut, ia menghentikan ketikannya di tablet dan bersandar lugas. Menatap Charles yang terdiam dan Justin yang membatu. "Katakan padaku, siapa yang datang?"
"Tuan Andrew," jawab Charles tenang. "Pihak otoritas bandara mengatakan bahwa seorang pria yang memiliki gelar tertulis Duke of Northland tiba di Chevailer pada pukul satu siang, dan seperti yang kita tahu. Hanya ada satu Lord Of Northland di dunia."
"Wah," Richard menyeringai antara kaget dan geli. "Aku tidak menyangka ia masih berani datang ke sini."
"Tuan Andrew mungkin datang untuk mengurus bisnisnya, saya dengar salah satu pabrik mereka mengalami kesulitan"
"Tentu saja akan kesulitan," Richard mendengus. "Dia bekerja dengan para orang yang selalu dicari oleh masalah dalam hidupnya"
"Yang Mulia," Charles berguman. "Saya pikir anda harus berhati-hati."
"Soal apa?" Richard kembali sibuk pada perkerjaanya. "Andrew?"
"Ya."
"Aku berhati-hati tentu saja," Richard melipat bibirnya ke dalam. "Tapi bukan berarti aku akan menodongkan pistol di depannya dan memberinya sikap waspada, itu namanya pengecut," Richard melanjutkan dengan nada kalem. "Hal yang terbaik adalah melihat sejauh mana ia bisa bertindak."
"Tapi saya pikir dia bisa lebih berbahaya sekarang Yang Mulia," Charles berucap tidak setuju. "Anda jelas tidak akan lupa apa yang dia lakukan dulu bukan? Tuan Andrew terlibat perkelahian, mabuk dan yang anda tahu sendiri mencoba membunuh wanita yang mengandung putranya. Dia berbahaya."
"Itu karena ayahnya sakit dan meninggal secara tiba-tiba. Dia tertekan."
"Saya tidak sependapat," Charles berucap cepat. "Dia pernah nyaris mencelakai anda, dia mencoba membunuh anda."
Suara kertas yang digeser kasar, dan hening menegangkan tercipta begitu kalimat itu terlepas dari bibir ajudan Raja. Pria itu diam dengan tenang, mengabaikan Richard yang menatapnya memperigatkan.
"Charles," Richard berucap lamat-lamat. "Itu kecelakaan."
"Ya," Charles mengiyakan. "Bagi anda, karena saya tidak sependapat."
"Charles ..."
"Tidak ada," Charles memotong. "Kecelakaan yang serapi itu Yang Mulia, tidak ada kecelakaan yang hanya ditujukan untuk melukai satu orang saja. Anda tahu itu bukan ketidaksegajaan, Tuan Andrew memang berbahaya"
"CHARLESS!!!"
Justin tersentak nyaris terjungkal karena teriakan geram Rajanya. Pria muda itu meringis dan mengelus dadanya pelan. Ia menatap pada dua pria di depannya yang saling tatap tanpa cela, tanpa sadar ia bergidik. Ia hanya pernah melihat Rajanya mengeluarkan aura macam itu saat mendiang Ratu diancam akan dibunuh oleh para penculik waktu itu, ia kaget sekali. Nasib penculik itu juga agak mengenaskan setelahnya-
Eh, Justin membantin. Penculik?
"Yang Mulia," Justin memecah aura mencekam di ruangan itu dengan pelan. "Bagaimana dengan keadaan penculik yang ditangkap itu? Apa anda akan menyetujui usulan hukuman matinya?"
Richard bersandar pelan di kursinya, "Aku masih akan mengunjunginya," nadanya kalem lagi dan entah kenapa Justin jadi lebih merinding. "Urusan kami masih belum selesai."
Charles menatap Justin dengan tatapan tidak terjelaskan, "Tidakkah anda pikir anda harusnya berhenti mendatanginya? Dia sudah divonis."
"Vonis?" Richard membalik berkas di tangannya. "Bahkan seorang Raja juga memiliki dendam Charles, itulah sebabnya dia perlu bertahan sedikit lebih lama lagi," Richard menghela nafas "Lagipula bicara soal itu. Justin," ia menoleh ke arah pemuda itu. "Ayo kita pergi ke selnya. Aku belum menanyakan kabarnya seminggu ini."
Justin membuat gesture mengiyakan sebelum berjalan mengikuti Richard yang sudah meraih jasnya. Raja Muda itu berderap dengan cepat ke pintu, sementara Justin berhenti di sisi Charles yang masih diam membatu.
"Sampai kapan?" ajudan Raja itu bertannya dengan nada dingin. "Kau akan terus menipunya?"
Justin tersenyum tipis, "Sampai permainan penuh dendam ini berakhir."
...
Sel penjara itu terasa begitu dingin dari sisi manapun, ada tekanan yang terasa begitu menganggu di sana. Seakan seluruh tempat itu diisi oleh penderitaan dan kesakitan tiada akhir. Sepasang kaki berbalut fantofel hitam berhenti di depan sebuah sel yang letaknya di ujung. Pemilik kaki itu lantas berjongkok, dan menanti respon dari penghuni sel yang masih meringkuk di ujung sel.
"Aku pikir kau akan menyerah."
Sosok yang berada di ujung sel lantas menegang, ia beringsut sedikit dan melirik sosok si seberang jeruji selnya melewati lengannya. "Kau datang," suaranya parau.
"Ya, aku datang."
Sosok dalam sel yang merupakan seorang pria dengan surai gelap, itu menyeret badannya ke tepi jeruji. Ia menatap sosok pria di luar sel nya dengan mata penuh harap, "Kau akan mengeluarkanku?"
"Aku?" pria diluar sel berucap dingin. "Ya. Aku akan mengeluarkanmu." Ujung bibirnya terangkat sedikit. "Jangan khawatir,"si pria tertawa kecil."Tempat ini begitu buruk, apa kau sudah makan?"
Si pria dalam sel menggeleng cepat.
"Bagus," pria di luar sel kemudian mengulurkan tangan ke belakang. Sesosok polisi yang sedari tadi ada di belakangnya mengulurkan nampan besi berisi makanan ke dalam sel, yang kemudian langsung dilahap pria dalam sel dengan cepat. "Makanlah yang banyak," si pria di luar berucap dengan nada janggal. "Kau adalah orang yang sudah berjasa ikut membunuh Ratu. Harusnya kau hidup lebih baik dari ini ..."
Si pria kemudian berdiri dengan tangan dalam saku, matanya memandang jijik pada sosok dalam sel.
"Aku pergi. Tunggu saja saat kebebasanmu dari sini."
Pria itu kemudian berjalan pergi dengan polisi itu di belakangnya, matanya memicing dan ada senyum menggelisahkan di wajahnya.
"Anda akan benar benar membebaskannya sir?"
"Aku?" si pria tertawa sinis. "Ya tentu, aku akan mengeluarkannya," ia mendengus. "Dalam keadaan diam. Mati."
...