Baixar aplicativo

Capítulo 24: Terbakar

Fleur dan Justin berjalan beriringan dalam diam, Justin melirik dan menyadari bahwa ia langsung merasa prihatin saat melihat ekspresi sembab dan sedih asisten pribadi Ratunya.

"Jangan menangis," ucap Justin pelan. "Ini bukan salahmu dan Ratu pasti akan segera sadar."

"Aku tahu," bisik Fleur. "Aku hanya sedih melihat Yang Mulia Raja." Justin menaikkan alis menunggu. "Beliau terlihat sedih dan kesakitan sekali. Aku tidak sanggup melihat Yang Mulia terlihat seperti itu."

"Yah," Justin diam. "Bukankah orang yang saling mencintai pasti akan begitu? Jika salah satunya sakit maka yang lainnya juga."

"Cinta itu memang kejam," bisik Fleur muram.

"Yah, memang tapi kadang-," ucapan Justin terhenti saat ia melihat sosok pria berbelok di lorong.

"Apa?" tanya Fleur yang heran karena ucapan Justin yang terpotong.

Justin berdeham, "Kadang kita tidak akan tahu jika tidak menjalaninya ya kan?"

Fleur mengiyakan dengan pelan, dan berhenti berjalan saat pria di sisinya juga berhenti. "Ada apa?"

"Aku meninggalkan sesuatu di kamar Yang Mulia," ia menoleh menatap Fleur. "Pergilah duluan, aku akan menyusul."

Gadis Perancis itu hendak membuka mulut untuk bicara lagi saat Justin berbalik dan menghilang di tikungan koridor. "Aneh ..."

Menaikkan bahu acuh, Fleur melanjutkan langkahnya menuju ke kantin. Sesekali ia menoleh untuk mengamati pasien lain yang berlalu lalang di rumah sakit. Ia kemudian berjalan ke cafetaria dan langsung menuju ke bagian menu.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pria yang sepertinya merupakan staff dapur, dilihat dari apron dan tutup kepalanya.

"Ah. Ya," Fleur mendongak membaca menu. "Aku ingin bubur ayam dan sup," ia menimang-nimang. "Yah, mungkin buah lunak seperti pisang dan pepaya."

"Baik, apa ini untuk di bawa ke kamar?"

"Ya."

"Silahkan tunggu sebentar."

Fleur mengangguk dan memainkan jarinya di atas kounter, ia kemudian menoleh dan mengerutkan kening kala melihat sosok yang tidak asing. "Tuan Louis?" gumannya. Ia mengamati kala pria itu berjalan menuju koridor tapi ia keheranan saat pria itu menuju ke koridor yang berlainan dengan jalan menuju kamar Ratunya. "Kenapa dia menuju ke sana? Bukannya ..."

"Ini pesanan anda," kalimat itu membuat fokus Fleur teralih. Ia menerima kresek yang berisi tiga tumbuk foam putih dengan kedua tangannya.

"Terimakasih," ucapnya sementara kepalanya menoleh lagi. Untuk menemukan sosok Louis yang sudah menghilang.

...

Suara gerusuh di tangga darurat itu teredam oleh pintu besi yang tertutup, seorang pria berkemeja hitam dengan tampang marah menyeret lelaki lain di hadapannya dan memukulnya kuat-kuat hingga tersungkur. Matanya memicing penuh dendam dan ketidakpuasan yang teredam.

"Bukankah sudah aku katakan untuk membunuh Ratu dan Raja tidak berguna itu?" pria berkemeja hitam menggeram marah. "Kenapa sekarang mereka masih bisa bernafas dan lebih parah lagi muncul dalam pengelihatanku dalam keadaan baik-baik saja?!"

"Tapi Yang Mulia Ratu tengah koma sekarang! Dia sekarat!" ucap lelaki lain yang tersungkur di lantai.

"Sekalipun Yang Mulia Ratu sekarat, dia hidup dan bisa bangun kapan saja. Kau tahu definisi mati kan? Dia tidak bernafas, tidak bangun dan lebih baik terpendam di tanah."

"Tapi kenapa sebenarnya kita harus menyerang Ratu?" tanya lelaki itu kesal. "Kenapa tidak langsung menyerang Raja?"

Pria berkemeja hitam mendecih, "Apa kau bodoh? Kita akan membuat dia hancur pelan-pelan. Sebelum membunuhnya. Jadi jangan banyak bicara dan lakukan tugasmu. Ratu itu akan mati bagaimanapun juga."

"Tapi-"

"JANGAN BICARA!" geram pria berkemeja hitam. "Aku mau kau mengalihkan perhatian, sementara dia akan bergerak. Kita akan membawa Ratu itu dan memastikannya mati. Jangan gagal, kau tahu kau akan dapat akibatnya."

Dan tak seorang pun menyadari sosok lain yang berada di balik tembok. Diam mendengarkan mereka dengan seksama sebelum berlalu pergi tanpa suara.

Tangan pria itu merogoh ponsel di sakunya, sebelum kemudian menekan beberapa digit nomor dan bicara dalam nada rendah yang mengancam.

"Mereka akan membunuh Ratu. Kau tahu apa yang harus kita lakukan, kita yang harus membunuh Yang Mulia Ratu lebih dulu."

...

Fleur masuk ke dalam ruang rawat sembari meneteng keresek di lengan kanan. Ia menutup pintu dengan perlahan dan tersenyum pada Charles yang masih berdiri di sisi ranjang Ratunya. Pria itu membuat gesture diam dengan telunjuknya, sementara matanya mengerling ke arah sang Raja yang tengah terlelap di lengan Redd.

"Dimana Justin?" tanya Charles heran.

"Oh," Fleur menaruh kresek itu di atas meja kaca di sisi kamar. "Dia bilang dia kembali ke sini untuk mengambil barang dan menyusul saya. Tapi sepertinya dia belum kembali."

"Begitu?" Charles diam dengan ekspresi ganjil. "Dia kemari," nadanya menimbang. "Sudah dari tadi padahal."

"Ah," guman Fleur sopan. "Mungkin dia ada urusan."

"Ya," nada suara Charles skeptis. "Mungkin dia ada urusan. Apa yang kau beli untuk Yang Mulia Raja?"

"Sup, bubur dan buah lunak. Itu tidak akan membuat beliau mencerna terlalu berat."

Charles tersenyum, "Bagus, dan oh, Fleur."

"Ya?"

"Bisakah kau meminta obat Yang Mulia Raja ke ruang perawat? Akan bagus jika ia minum obatnya saat ia bangun nanti."

"Ya," Fleur bangkit berdiri. "Tentu saja. Saya akan ke sana."

Charles tersenyum dan memandang Fleur hingga gadis itu keluar dari ruangan. Ia kemudian memandang Rajanya dan membungkuk dalam dengan sorot menyesal.

"Maafkan saya Yang Mulia, ini semua untuk kebaikan anda."

Pintu kamar terbuka lagi kali ini, seorang wanita dengan surai kecoklatan melangkah masuk, ia memandang Charles dengan matanya yang berkaca-kaca. Namun ia tetap melangkah ke tepi ranjang dengan mantap dan memandang jarus infus dengan sedih.

"Lakukan dengan cepat. Kau tahu kita tidak punya waktu."

"Kenapa harus begini?" tanya wanita itu sendu.

"Harus, karena hanya dengan ini mereka akan baik-baik saja."

Wanita itu mendesah panjang, ia kemudian mengeluarkan jarum suntik dari sakunya dan menyuntikannya ke jalur infus. Ia nyaris terisak saat menyingkirkan jarum itu ke dalam sakunya. Wanita itu berbalik dan melangkah ke pintu.

"Semoga ini berhasil, kau tahu. Mereka tidak berhak untuk menderita seperti ini." bisik wanita itu sebelum meninggalkan pintu tertutup di belakangnya.

"Ya," Charles mendesah. "Mereka sama sekali tak berhak. Tapi mereka juga tidak punya pilihan."

...

Richard terbangun saat ia merasakan guncangan keras dan nada panik di sekitarnya. Ia membuka mata dengan cepat, dan terkejut saat merasakan lengannya ditarik dan segerombol dokter menerjang masuk ke dalam ruang rawat. Raja muda itu berdiri kebingungan, ia bisa merasakan lengan Justin dan Charles yang menahannya. Menyeretnya keluar.

"Apa ini?" dia memberontak. "AKU BILANG APA INI?!"

"Yang Mulia," Charles menjawabnya dengan nada khawatir. "Yang Mulia Ratu mengalami kejang dan dia harus ditangani oleh dokter."

"Bagaimana-," tapi ucapan Raja itu terhenti saat pintu ruang rawat terbuka dan ranjang Redd dibawa keluar dengan tergesa. "Kemana kalian akan membawanya?"desisnya marah sambil menahan ranjang itu di depan pintu.

"Yang Mulia," seorang dokter menjawab cepat. "Ratu harus dipindahkan ke ruang ICU, tekanan darahnya turun lagi. Beliau kembali ke fase kritis lagi."

Richard mengerjap tidak percaya, "Apa?" Raja itu mematung tanpa suara, ia bahkan tidak melawan saat tangan yang menahan sikunya menariknya mundur dan ranjang Redd kembali di dorong dengan suara bising di koridor. "Bagaimana bisa?"

Dengan cepat ia melepaskan diri dan berlari menyusul ranjang Redd. Ia menyeruak di sisi wanita itu dan menatapnya. Wajah wanitanya memucat menjadi lebih buruk dan ia bisa melihat keringat yang membasahi kening serta pelipisnya. "Redd, Redd," ia memanggil nama itu putus asa. "Kau tidak boleh begini."

"Yang Mulia," seorang dokter menahan lengannya. "Anda tidak diizinkan masuk. Silahkan menunggu di sini."

"Apa maksudmu?" Richard menyalak marah. "Kau melarangku menemani Redd? Menemani Ratuku?"

"Bukan-"

"Apa kau-"

"Yang Mulia hentikan," kali ini Charles yang baru mumcul menahan pundaknya kuat-kuat. "Anda tidak diizinkan masuk. Yang Mulia Ratu akan ditangani tolong Yang Mulia."

Richard menggeram rendah, ia kemudian menatap wajah pucat Redd dan menghela nafas. Menurut untuk mundur. Ranjang Redd didorong dengan cepat ke dalam ruang ICU yang lampunya menyala menandakan ruangan itu tengah digunakan.

Raja itu mundur ke tembok dengan langkah kuyu, sebelum merosot dan tenggelam dalam lipatan lututnya.

"Yang Mulia," Charles berucap khawatir. "Luka anda akan terbuka lagi jika anda duduk dengan posisi seperti itu."

"Luka," Richard berbisik parau. "Dia tidak sakit Charles, dia tidak sesakit itu. Luka ini tidak sebanding dengan Redd."

"Yang Mulia tapi ini,-"

Suara-suara jeritan dan tembakan dalam ruang ICU memotong kalimat Charles begitu saja. Raja Muda itu langsung berdiri tegak dan berlari ke dalam ruangan. Ia menerjang pintunya dan masuk dengan mata terbelangak. Ruangan itu berantakan, dokter dan perawat yang ada di dalam terkapar di lantai sementara beberapa bersimbah darah.

Matanya melirik ranjang Redd yang kosong dan melihat kabel kabel serta selang yang dilepas paksa dari asalnya. Ada darah yang menetes sepanjang lantai dan ia menatap nyalang pada sosok berbaju hitam yang menggendong istrinya. Sosok itu tampak tegap dan ia bisa melihat tangan kiri Redd yang berdarah karena infus yang pasti ditarik paksa. Dengan panik ia berlari menuju sosok itu yang juga langsung berkelit dan masuk ke lift yang secara mengejutkan ada di belakang ruangan.

Raja itu melangkah cepat dan menahan pintu lift yang nyaris tertutup.

"Keluar kau bajingan," desis Richard.

Sosok itu mendecih, matanya berkilat mengejek dan dengan satu sentakan ia menyelipkan kakinya di pintu lift untuk menendang Richard mundur.

Raja itu terbatuk kala perutnya langsung mengalami nyeri, dengan tertatih ia meraih pintu lift yang tertutup dan meninjunya marah.

Tergesa ia berlari ke luar mengabaikan perutnya yang kram, ia bisa melihat Charles menolong pendarahan yang dialami oleh para dokter dan beberapa bodyguard berlalu lalang di sana.

"Yang Mulia," ucap Charles sambil menghampirinya tergopoh. "Yang Mulia."

"Tutup semua pintu masuk dan matikan operasi lift," perintah Richard cepat. "Tinggal di sini dan suruh Justin menuju ke lantai bawah!"

"Tapi Yang Mulia,-"

"SEKARANG!!!!"

Raja itu berderap ke tangga darurat dan merasa beruntung dengan letak kamar yang berada di lantai dua sehingga ia bisa langsung menuju lobi rumah sakit. Ia bisa melihat kepanikan karena serbuan bodyguard istana di lobi, tapi ia jelas mengabaikannya. Matanya bergerak cepat dan ia bisa melihat kepala pasukan istana berlari menghampirinya.

"Yang Mulia kami sudah mematikan lift dan menutup pintu masuk. Juga Tuan Charles memerintahkan saya menemui anda."

"Aku minta Justin bukan kau," Richard mengomel namun berhenti saat mata Richard menangkap sosok gelap yang membawa Redd berada di luar menuju ke sebuah mobil dan memasukkan Redd ke kursi depan. "Sial!"

Dengan cepat ia menuju ke pintu yang sudah di blokade dan menerobosnya sementara jeritan panik menggema di belakangnya dengan berisik.

"Yang Mulia," kepala keamanan istana bicara lagi. "Ada apa ini?"

"Mobilmu di luar?"

"Ya."

"Bagus, nyalakan."

"Ap, apa?"

"SEKARANG!"

Kepala pengawal itu tampak kikuk ketakutan saat meraih kuncinya di saku dan menyalakan mobilnya degan bunyi 'pip' keras. Richard merampas kunci itu dengan tangannya dan dengan cepat menuju ke mobil audi silver yang menyala menyahut kuncinya. Ia masuk dengan bantingan keras dan langsung menekan pedal gas tepat pada saat mobil sedan hitam yang berisi pria berpakaian hitam itu melaju.

"Suruh bawahanmu mengikuti mobil sedan hitam itu sekarang," perintah Richard pada kepala keamanan sebelum melaju cepat.

Matanya terpancang pada mobil hitam itu lekat, ia melihat kala mobil itu berbelok di jalan utama dan melaju lebih cepat. Mengikuti ia menekan pedal gasnya lebih dalam dan menempel di bemper belakang mobil itu tanpa jarak.

Menyadari, sosok berpakaian hitam yang mengemudi mobil itu melaju lebih kencang lagi. Richard menggeram rendah, dengan marah ia berusaha menyalip mobil itu walaupun pada akhirnya gagal karena mobil itu menghalangi jalannya.

Dengan lincah sedan hitan itu menelusup diantara mobil-mobil. Dikejauhan Richard bisa mendengar gaung dari puluhan mobil polisi dan saat ia melirik kaca spion ia bisa melihat mobil BMW hitam yang melaju di belakangnya. Mobil itu jelas milik istana.Richard masih mengikuti kala mobil sedan itu melesat maju ke jembatan layang yang berada di atas sungai Alexandra. Sungai itu sungguh indah sebenarnya, karena menjelang petang seperti sekarang sungai itu akan berpendar seperti permata dan rerumputan di tebing sungai akan meliuk dengan tenang.

Indah, harusnya. Jika saja keadaanya tidak begini.

Richard nyaris menghantamkan kepalanya ke stir saat mobil hitam lain melaju di sisinya dengan klakson nyaring. Ia mengumpat keras, karena akibat hal itu mobil sedan yang membawa Redd berhasil menyalip dua mobil darinya dan menghilang di telan jajaran mobil lainnya. Dengan kekesalan dan kepanikan yang memuncak Raja itu menyalip mobil lain dan bahkan ia yakin jika ia baru saja menggores bemper samping mobil merah yang dilewatinya.

Masa bodoh.

Raja Muda itu menekan klaksonnya kuat-kuat dan seakan paham jajaran mobil kerajaan di belakangnya melaju di sisi kanan kirinya untuk memberi jalan. Sekalipun Richard sudah menabrak dan menggores setidaknya lebih dari dua belas mobil.

Richard masih kesulitan untuk bisa menghampiri mobil itu karena jarak, walau dari sini ia bisa melihat sepertinya mobil sedan itu tengah kesulitan karena diapit oleh mobil lain dan terus bergerak random ke kanan dan kiri. Sebuah umpatan yang kasar sekali lagi diteriakan Raja itu saat mobil di depannya berhenti dan macet. Dengan kesal ia keluar dari mobil, membanting pintunya dan berlari menyelinap di antara kendaraan lain yang terhenti.

Di belakangnya beberapa pengawal mengikuti, dan ia terkejut kala mendengar suara tabrakan keras yang dihasilkan oleh mobil sedan. Ya, mobil itu tengah menabrak banyak mobil atas usahanya untuk tetap maju dan menerobos kemacetan.

Richard merasa marah, ia geram. Redd ada di sana, dan ia terluka. Ia koma bahkan ia sekarat, dan pria itu menabrakkan mobil seperti mainan anak-anak. Sungguh jika ia pada akhirnya berhasil menangkap sosok itu ia akan memastikan ia menembaknya dengan pistol.

Pistol? Tunggu-

Richard merutuki dirinya yang terlihat begitu bodoh, ia berbalik untuk menghadap pengawal yang mengikutinya dan mengulurkan tangan. "Berikan pistolmu."

Pengawalnya kebingungan, "Ya?"

"Berikan pistolmu," Richard mulai tidak sabar.

Pengawalnya gelagapan saat meraih pistol di sisi sabuknya, ia menyerahkannya pada Richard dan Raja itu berputar ke depan dengan cepat untuk menembak sedan hitam itu. Tepat. Dibagian bannya.

Ban belakang mobil hitam itu meletus dan oleng ke kiri menabrak sebuah van dengan keras hingga berdebam. Suara mobil yang direm terdengar keras dan nyaring, Richard berlari ke arah mobil itu cepat dan seakan sadar mobil itu melaju cepat ke celah di sisi kirinya dan membanting setir.

Menabrak sisi jembatan hingga hancur dan terjun, jatuh ke bawah jembatan layang.

Richard bisa merasakan jantungnya mencelos ke perut dan kakinya terpaku di tanah saat mobil sedan itu meluncur begitu saja menuju gravitasi dan menghantam tebing di sisi jembatan. Meledak dan terbakar, dengan asap hitam yang membumbung tinggi.

"Tidaakk!!"

Richard merasa telinganya berdengung dan kepalanya terasa begitu kosong. Matanya menatap nanar pada gumpalan kelam yang membumbung naik ke udara. Richard melempar pistolnya ke tanah dan berlari cepat ke tepi jembatan. Beberapa orang keluar dari mobil mereka untuk melihat dan ia bisa mendengar bisik-bisik yang memanggil namanya dengan terkejut.

"Tidak, tidak," Richard mengguman sementara langkahnya melaju makin cepat. "Tidak."

Richard mencengkeram sisi jembatan dan merasakan desakan panas di matanya. Ia merasa lemas dari ujung hingga ujung dan saat ia merasakan ada tangan yang mencengkeram lengannya ia tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak.

"TIDAKKKK!!! REDDDDDD!!! TIDAKKKKKKK!!! TIDAK MUNGKIN!"

"Yang Mulia,-" suara itu terdengar sementara lengan-lengan lain menahannya kuat-kuat.

"Tidak mungkin!" ia memberontak dan menyingkirkan lengan yang menahannya. "Lepaskan aku! Menyingkir!"

"Yang Mulia, anda harus menahan diri."

"Apa maksudmu menahan diri!?" ia membentak pengawal yang menahannya, "Redd disana! Ratumu! Kita harus ke tebing itu, panggil pemadam. Panggil pemadam sekarang!"

Pengawal itu tampak takut, namun ia mundur untuk meraih ponsel dan menghubungi pemadam.

"Yang Mulia," kali ini Charles yang muncul dari balik kerumunan menyeruak dan menahannya. Pria paru baya itu menangkap lengannya tepat sebelum ia jatuh dan terisak keras. "Yang Mulia."

"Redd," bisiknya parau antara tak kuasa dan terguncang. "Kita harus ke tebing itu," ia mulai memutar badanya dengan linglung. "Kita harus. Aku menembak mobilnya jatuh. Aku ..."

"Yang Mulia, ini bukan salah anda-,"

"Aku yang menembaknya! Kita harus kesana!" Raja itu membentak dengan dada yang menghimpit. "Kita harus Charles," ia menatap netra ajudannya yang basah dengan matanya yang merah. "Reddku, dia di sana. Kita harus."

"Yang Mulia," bisik Charles.

"Redd," bisik Richard sebelum ia benar-benar merosot ke tanah dan menangis. Bahunya berguncang sementara ledakan lain terdengar di telinganya dan matanya menatap kaku pada asap serta api yang makin berkuasa. Suara sirinie terdengar dan ia mendegar suara teriakan gerusuh sebelum air menyiram degan deras ke api itu.

Menyiram sisi tebing dan menyiram mobil yang hangus itu.

Menunjukkan sisi mobil yang hangus, dengan dua sosok di kursi belakang dan depan yang menghitam terbakar.

...


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C24
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login