Waktu itu adalah musim dingin saat usianya masih dua belas tahun. Saat itu Redd masih hidup di jalanan bersama Leen kecil. Ia tinggal di gang-gang dekat pasar. Ia ingat, saat itu ia baru tiga bulan berada di Chevailer dan itu adalah minggu-minggu pertama ia mulai mencuri makanan.
Musim dingin waktu itu bisa dibilang ekstrim. Badai memang tidak datang terlalu sering, tapi suhunya terus berada di bawah minus. Redd berusaha keras untuk membuat Leen tetap hangat dan tidak sakit, ia mencari selimut dan mantel sebanyak yang ia bisa di gudang pembuangan pakaian di seberang pasar. Kadang, saat suhu sudah terlalu dingin Redd akan menggendong Leen dalam selimut tebal dan membawanya ke pabrik keripik kentang; menerobos pagar rusak di belakang pabrik dan akan meringkuk di dekat cerobong asap pabrik yang akan tetap hangat hingga tengah malam. Sebelum kemudian ia pergi untuk mencari cerobong asap lain.
Redd sudah pernah bertemu dengan berbagai macam jenis gelandangan. Beberapa dari mereka adalah orang jahat, dan beberapa adalah orang baik. Salah satu yang bisa diingat oleh Redd adalah Tuan Bellamy, ia gelandangan yang kehilangan anak perempuannya karena kebakaran-dan Redd rasa itu adalah alasan kenapa dia begitu baik pada Redd-. Suatu hari Tuan Bellany mendatanginya dengan sekeresek roti, ia bilang ia akan tinggal di desa mulai sekarang bersama saudaranya daripada menggelandang di kota. Ia meminta Redd menyimpan roti itu, walau pada akhirnya Redd justru membagikan roti itu pada gelandangan yang lainnya.
Kasian? Iya, dia tidak tega.
Redd itu penyayang, ia punya dorongan untuk selalu melindungi dan peduli kepada makhluk jenis apapun. Bahkan yang jahat dan tidak diinginkan sekalipun. Ia tahu itu konyol, bahkan Bibi May bilang bahwa itu adalah sindrom kebaikan berlebih dan ia terkejut bahwa dorongan itu terjadi sangat besar pada Rihchard.
Semakin Richard berusaha untuk bersikap kuat dan acuh, semakin ia ingin memeluk pria itu. Semakin Richard mengacaukan segalanya karena keegoisannya, semakin ia ingin menolong pria itu. Semakin Richard menjauh darinya, semakin ia ingin menghampiri pria itu. Redd keheranan, tapi ia tidak ingin mencoba berhenti.
Ratu Chevailer itu terbangun di ranjangnya lagi, ia berbaring terlentang lagi dan memandang kanopi kerucut itu sekali lagi. Untuk kali ini ia keheranan, bagaimana ia bisa tertidur di kamar?
Samar-samar ia menginggat soal pondok, kaca, hujan dan sofa. Itu hanya membuat Redd menghela nafas setelahnya. Matanya bergulir saat ia mendengar suara pintu terbuka dan ia melihat Charlotte berdiri di sana dengan mantel berpergian warna perunggu membalut tubuhnya. Wanita itu mendekat padanya, dan Redd bangun untuk duduk di kepala ranjang demi kesopanan. Charlotte kemudian duduk di tepi ranjangnya, dan menyerahkan sebuah kotak beluduru biru di pangkuannya.
"Apa ini?" tanya Redd heran dengan suara serak.
"Buka saja," Charlotte menjawab dengan anggukan kepala.
Redd mengerutkan kening heran namun menurut untuk membuka kotaknya. Matanya kemudian berhadapan dengan sebuah kalung perak dengan liontin bunga matahari kecil.
Redd mendongak, "Apa ini?"
"Hadiah dariku."
"Untuk apa?"
"Untuk perpisahan."
Redd menatap Charlotte kaget, "Apa?"
"Aku harus segera pergi dari Arcene," jawab Charlotte tenang.
"Apa? Kenapa?" tanya Redd kaget.
"Yang Mulia," ucap Charlotte tenang. "Aku adalah putri seorang Duke. Ayahku Duke Of Elrt sudah tua dan ia bahkan kesulitan untuk berjalan dari kamarnya ke taman belakang, adikku Louis akan jadi perwira militer tahun ini. Jadi ia akan tinggal di sini mulai minggu ini, itu cukup menjadi alasan bagiku untuk pulang bukan?"
"Tapi kenapa mendadak?" tanpa sadar Redd merengek. "Aku akan kesepian."
Charlotte meraih tangannya, "Semuanya akan baik-baik saja. Yang Mulia adalah wanita yang kuat, lagipula Yang Mulia masih memiliki Fleur."
Redd mencebik tidak setuju, tapi Charlotte hanya memberikan sebuah tawa pelan dan tatapan keibuan yang selalu disukai Redd. "Anda akan baik-baik saja, anda memiliki Yang Mulia Raja."
"Tidak ada jaminan pria itu akan berada di pihakku," Redd berucap jengkel. "Istana itu dingin, dan tahta itu menakutkan. Bisa saja ia memfitnahku supaya dia bisa mengambil Ratu baru."
"Ratu baru?" Charlotte menaikkan sebelah alisnya, "Bagaimana bisa ada Ratu baru dan bagaimana bisa Raja tidak berada di pihak anda? Anda pikir keributan sore ini dibuat oleh siapa?"
"Apa?"
"Anda tidak tahu kan?" Charlotte tersenyum tampak sangat puas. "Anda dan Raja menghilang sepagian ini, dan kembali sore tadi dengan dramatis."
"Memangnya apa yang terjadi?" tanya Redd mulai panik. "Apa itu buruk?"
Charlotte tertawa, "Tidak tentu saja. Ia hanya menggendongmu yang tertidur ke istana, dan ... "
"Dan?"
"Apa kau benar-benar ingin tahu?"
Redd ragu sesaat saat mata Charlotte berkilat jahil. Tapi ia mengangguk karena merasa penasaran.
"Baik," Charlotte menarik nafas. "Yang Mulia Raja ... Mencium, mencium, mencium, mencium anda, mencium anda lagi dan mencium anda, dan mencium dan menci-umphh."
Redd menaruh telapak tanganya di atas bibir Charlotte dengan wajah merah padam. Ia mengulum bibirnya ke dalam dan menunduk saat tawa Charlotte bergema ke penjuru kamar.
Sial.
"Anda senang?" tanya Charlotte dengan intonasi jahil.
Redd mendelik, "Senang apanya" ia mencibir. "Itu memalukan."
"Tidak," Charlotte menyanggah setelah tawanya usai. "Itu hebat, anda mengubah Yang Mulia Raja." Mata Charlotte menatap kosong dan ia menghela nafas. Redd sendiri terdiam, saat merasakan perasaan sedih dari wanita di depannya. "Yang Mulia Raja menghadapi saat sulit dalam hidupnya, ia menghadapi banyak kebohongan dan penghianatan. Ia kehilangan kepercayaannya pada siapapun dan ia juga kehilangan hatinya setelahnya. Saat aku tahu dia menikah dengan anda, aku pikir itu hanya bualan. Wanita dan Richard, itu adalah dua hal yang aneh untuk aku sebutkan bersama. Entah apapun yang terjadi di antara kalian berdua, aku bersyukur bahwa kalian menikah. Karena itu berarti di sudut hati Richard, ia masih memiliki perasaan. Bahwa hatinya tidak mati. Karena aku selalu takut Richard akan berubah terlalu jauh, bahwa pada akhirnya aku hanya akan tidak mengenalinya."
Redd meraih tangan Charlotte dan meremasnya, mata sepupu Raja itu basah dan Redd tertegun dengan jiwa keibuan yang dimiliki Charlotte.
"Semuanya akan baik-baik saja," Redd berbisik. "Aku janji."
Charlotte tertawa parau dan menyapukan tangannya ke mata. "Maaf."
"Tidak apa-apa, tapi Charlotte," Redd berdeham. "Aku ingin tahu, apa kau bisa menceritakan tentang ibu Richard?"
Untuk sesaat Redd bisa melihat kilat kaget dalam mata Charlotte, sebelum kemudian berubah menjadi pandangan yang maklum. "Ya, kenapa?"
"Tadi," Redd ragu. "Richard membawaku ke pondok ibunya-"
"Apa?!"
"Ya," Redd mengabaikan ekspresi kaget Charlotte. "Ia membawaku ke sana, dan disanalah kami menghilang sepagian ini. Apa kau tahu, Richard marah dan melukai tangannya. Karena ia melihat pigura di sana, foto ibunya dan selingkuhannya."
Charlotte mematung selama persekian detik yang lama. Wajahnya menunjukkan ekpresi kaget yang ketara, dan untuk alasan yang tidak Redd ketahui ia merasa malu.
"Apa kau serius dia membawamu ke pondok?" tanya Charlotte begitu ia bisa mendapat fokusnya kembali.
"Ya. Dia membawaku kesana," Redd menggigit bibir. "Kenapa?"
"Yang Mulia, itu," Charlotte berhenti sejenak karena takjub. "Itu, sangat wow, aku tidak bisa berkata-kata."
"Apa kali ini itu adalah hal yang buruk?"
"Oh, berhentilah berkata bahwa ini dan itu buruk. Yang Mulia anda," ia terdiam sejenak. "Apa yang sebenarnya sudah kau lakukan pada Richard?"
"Aku?" Redd menelengkan kepala. "Menikahinya?"
"Lebih dari itu!" wanita itu menjerit tertahan.
"Anda mengubahnya, perlahan tapi pasti. Seakan anda dihadirkan untuk membuatnya hidup lagi." Charlotte menarik nafas. "Anda membawanya ke pondok"
"Secara harfiah dia yang membawaku ke sana," Redd memotong cepat.
"Apapun itu terserah," Charlotte mengibaskan tangan. "Richard bahkan tidak mau menginjak tempat itu ketika mendiang Raja memintanya ke sana sebagai permintaan terakhir, dia tidak mau ke sana ketika halaman depan pondok itu hancur karena badai. Tapi anda bisa membawanya ke sana, itu luar biasa!"
Boleh Redd menghidupkan kembang api sekarang?
Bukannya merasa arogan, tapi ia tidak bisa menahan dorongan aneh untuk tersenyum saat ia mendengar ucapan Charlotte. Dia satu-satunya orang yang bisa membawa Richard ke sana, bisa sebut saja hal ini sebagai 'Kemustahilan Dunia?'
"Apapun itu Redd," Charlotte meraih tangannya lagi. "Aku mau kau berjanji padaku."
"Hm? Apa?"
"Berjanjilah," Charlotte menatapnya dalam. "Kau tidak akan pernah meninggalkannya dan akan selalu percaya padanya, berjanjilah untuk selalu ada di sisinya. Ya?"
Redd terdiam di tempatnya.
"Charlotte, aku ..." jika aku mengiyakan aku akan membuat terlalu banyak janji. Aku tidak tahu apa aku bisa menempatinya. "Baiklah. Ya, aku berjanji."
...
Richard duduk diam di ruang kerjanya, fokus, konsentrasi dan ia bahkan tidak bergerak sedikitpun. Namun matanya terus membaca berbagai laporan dan tangannya sibuk dengan layar ipad dan berkas-berkas.
"Yang Mulia."
Panggilan itu membuat Richard mendongak, dan ia melihat Charles berdiri dengan seorang wanita bertubuh mungil dan pria berseragam militer di sisinya.
"Duke dan Ducces Of Elrt sudah tiba," ucap Charles pelan.
Richard tersenyum, "Apa kabar Louis?"
Louis-Duke Of Elrt-tersenyum sopan dan menunduk, "Saya baik Yang Mulia."
"Apa perjalananmu lancar? Aku berterimakasih atas kesedianmu menjadi pengiring pengantinku dan atas kemauanmu untuk menjadi seorang Perwira Militer Chevailer."
"Suatu kehormatan Yang Mulia."
"Aku tidak merepotkanmu bukan?"
"Tidak tentu saja," ia tersenyum. "Saya merasa begitu terhormat karena Yang Mulia memilih saya menjadi Perwira negara ini. Ini juga kebangaan besar bagi ayah saya."
"Tentu saja," Richard mendesah senang. "Bagaimana kabar ayahmu saat ini?"
"Beliau baik, namun menyusul kepindahan saya. Charlotte akan segera pulang untuk menjaga beliau di rumah."
"Aku merepotkan keluarga kalian terlalu banyak bukan?"
"Tentu tidak Yang Mulia," ucap Louis tegas. "Melayani kerajaan adalah hal paling terhormat yang diterima oleh keluarga kami."
"Kau pemuda yang baik Louis bahkan sejak kita kanak-kanak." ucap Richard sebelum matanya bergulir pada wanita di sebelah Louis. "Apa ini adalah istrimu?"
"Apa kabar Yang Mulia," ucap wanita itu sambil membungkuk anggun. "Saya Gwen."
"Gwen," Richard tersenyum, "Kau sepertinya seumuran dengan Redd. Aku yakin dia akan menyukaimu nanti."
Gwen tersenyum, "Terimakasih Yang Mulia."
"Yang Mulia," Charles berdiri dengan wajah tenang di ambang pintu. "Kita harus segera ke gedung parlemen."
Richard mengangguk, ia kemudian bangkit dan menatap Louis serta Gwen. "Maaf, karena aku harus pergi. Istirahatlah. Kita akan bertemu mungkin saat makan malam."
Richard kemudian berderap ke arah pintu dan keluar. Sementara dua orang pelayang menghapiri Gwen dan Louis untuk membawa mereka ke kamar tamu. Luois melangkah di ikuti Gwen, setelah sebelumnya mereka bertukar pandang penuh arti.
"Itu sambutan yang ramah sekali," bisik Louis dengan senyum tipis.
...