Chevailer, musim gugur
Richard masuk ke dalam ruang kerja ayahnya dengan tatapan tenang. Ia masih memakai jas hitam yang kusut dan matanya merah; namun ia enggan menangis. Tidak walaupun pemakaman ibunya baru dilakukan beberapa jam yang lalu dan sudah selayaknya ia berduka. Mendongak tegas, ia kemudian menatap sang ayah yang duduk di kursi kebesarannya, memakai pakaian berduka yang sama dengannya dan tengah memandang keluar jendela.
"Katakan padaku," ucap Richard setelah hening yang panjang. "Apa dia mati bersama selingkuhannya?"
"Kau tidak seharusnya berkata begitu," ucap ayahnya.
"Tidak, jangan mengajariku Yang Mulia Raja. Ia bahkan sudah mati untukku sejak lama."
Raja itu mendesah lelah, ia kemudian berbalik untuk menatap sang putra yang masih berdiri kukuh. Menatapnya dengan begitu tenang tanpa emosi. "Richard, kau tahu ibum-,"
"Ya. Aku tahu," potong Richard cepat. "Aku tahu sejak lama. Ia keluar untuk menemui selingkuhannya dan anak-anaknya bersama pria itu. Aku tahu dia keluar menikmati liburan bersama keluarganya, sementara aku menagisi kepergiannya." Richard memberi senyum sudut dan mendengus. "Aku tahu semuanya Yang Mulia, aku bukan orang bodoh. Aku hanya ingin tahu, apa dia mati dalam kecelakaan ini bersama selingkuhannya atau tidak? Itu saja."
Raja itu menunduk, menatap Richard lelah. Ia tahu putranya itu kini sudah dewasa, bukan lagi anak-anak yang bisa ia bohongi seperti dulu. Ia tahu, dan ia menyesal. Karena harus menipu putranya selama ini. Membuatnya tumbuh dengan kekecewaan dan dendam.
"Ya," Raja itu menjawab. "Dia mati bersama keluarganya."
"Wah. Kejutan," ucap Richard datar. "Apa ada yang selamat?"
Raja itu berdeham sesaat, mencoba menghindari tatapan Richard. "Tidak. Mereka mati, semuanya."
"Akhir yang tragis untuk sebuah keluarga kecil yang bahagia."
"Richard, kau tidak bisa menyalahkan ibumu."
"Aku tidak pernah menyalahkannya. Karena aku sudah bilang ibuku sudah matisejak lama. Aku hanya merasa berduka karena ia dan keluarga bahagianya mati dengan cara tragis. Itu saja."
Melempar senyum dingin Richard kemudian berbalik pergi dan berjalan menuju pintu. Membawa tapak langkahnya yang beku sebelum berhenti, menoleh sedikut dan berbisik dengan kebencian yang menetes.
"Kau tahu Yang Mulia, kau begitu bodoh karena mencintai seorang wanita sepertinya. Aku juga berduka atas kebodohanmu itu."
Kemudian tatkala pintu ruangan itu tertutup keras dan meninggalkan hening serta duka panjang sang Raja desau menguar di udara.
"Maafkan aku nak, tapi hanya itu yang boleh kau tahu."
°°°
Redd terbangun saat merasakan hembusan nafas panas di tekuknya, ia mengerjab dan membuka mata. Menyadari bahwa ia sudah berada di atas ranjang, dengan Richard dibelakangnya dan lengan yang memeluknya begitu erat. Wanita itu berguling terlentang kemudian; berhadapan dengan kanopi ranjang yang berbentuk kerucut dan memberi kesan tua. Kanopi itu berwarna ungu dengan sulaman bulan perak; serta sesuatu yang mungkin adalah burung, karena dalam pandangan Redd itu lebih mirip seperti pistol yang gagangnya bengkok. Redd kemudian berguling lagi ke samping, menatap jendela yang sudah terbuka dan tirai tipis yang berkibar lembut; bersinar keemasan tertimpa cahaya matahari.
Redd menduga dalam hati bahwa sekarang sudah pukul sembilan atau sepuluh dan dilihat dari jendela yang sudah dibuka, ia lebih yakin jika sudah ada beberapa orang yang masuk dan artinya pintu sudah dibuka. Maka wanita memutuskan untuk mandi ,sudah hendak bangkit dari ranjang saat tangan yang sedari tadi melingkari perutnya erat menahannya tetap diam.
"Mau kemana?"
Suara itu serak dan parau, khas orang baru bangun tidur dan Redd mengutuk otaknya yang menerima suara itu dalam gambaran yang nyeleneh.
"Bangun," ucap Redd pelan. "Aku lihat jendela sudah dibuka, berarti pintunya juga sudah dibuka. Jadi aku ingin bangun dan mandi."
"Nanti saja."
"Aku kegerahan Alexander."
Richard berdecak dan menyipit menatap Redd yang kini sudah duduk di ranjang. Tangannya meraih pinggang gadis itu dan menariknya hingga bergeser cepat ke arahnya. Pria itu kemudian menenggelamkan kepalanya ke sisi paha Redd, dan berguman. "Mandi nanti saja."
"Aku berkeringat," Redd mulai merengek.
Richard menggerang sebal, dengan enggan ia melepas tangannya dan menatap Redd. "Baiklah, pergilah."
Redd mengerutkan kening. "Kau merajuk ya?"
"Aku tidak."
Redd mencebik, bangkit dari ranjang untuk kemudian membungkuk untuk meraih jubah tidurnya; yang entah bagaimana sudah tergeletak di bawah dan memakainya. Tangannya meraih rambutnya dan mengikatnya ekor kuda berantakan. Matanya lantas melirik Richard di ranjang yang kembali tertidur, dengan posisi terlentang dan lengan yang menutupi matanya.
"Alexander," panggil Redd pelan.
Diam.
"Yang Mulia."
Hening.
"Yang Mulia Raja."
Masih diam.
"Demi Tuhan Alexander! Jangan mengacuhkanku!"
Redd berteriak marah dan menghentakkan kakinya kesal ke lantai. Membuat Richard sendiri mengerang sebal dan menyingkirkan lengannya; mau tidak mau menatap Redd tanpa minat. "Apa? Aku cuma mau tidur lagi?"
"Apa kau akan marah hanya karena hal itu?" ucap Redd kesal. "Jangan kekanakan."
Richard mendengus dan bangkit terduduk dengan cepat. Ia mengacak rambut hitamnya yang sudah berantakan dan persetan Redd rasa dia siap mati di tempat. Redd bersumpah. Ia tidak percaya bahwa semalam ia tidur dengan pria jenis ini.
Richard bertelanjang dada.
Tes. Tes.
Diulangi. Bertelanjang dada.
Redd tidak mau repot berpikir bagaimana pria itu bisa tidur dengan keadaan seperti itu, yang jelas. Ia seratus persen positif terpesona. Richard punya dada yang bidang dan pundak yang lebar. Bisep dan trisepnya terbentuk dengan bagus di tempat yang pas dan ada abs samar yang menghias perutnya. Lebih lagi ada jalur V line menggundang yang menukik tajam ke batas selimut.
Astaga. Itu sempurna, dan pemilik kesempurnaan itu adalah suaminya.
"Apa yang kau lihat?"
Pertanyaan bernada datar itu merusak lamunan Redd. Wanita itu berdeham dan mengalihkan padang. Berharap wajahnya tidak merah atau bahkan mulutnya mengelurkan air liur karena keterpesonaan sesaat tadi. "Tidak ada."
"Ah. Kau sedang jatuh cinta dengan tubuhku ya?" Richard bertannya dengan nada menggoda yang begitu jelas.
"Tidak," bantah Redd keras. "Percaya diri sekali kau!"
Richard tersenyum sudut sembari mengangkat bahu acuh dan bangkit dari ranjang. Redd mundur saat Raja Muda itu berdiri di hadapannya dan berusaha keras untuk tidak memanas saat pria itu meregangkan ototnya, yang Redd bersumpah; membuatnya ingin sekali menyentuhnya. Seolah tidak tahu, Richard kemudian berbalik memunggungi Redd dan membungkuk untuk meraih kemejanya yang semalam ia campakkan ke lantai.
"Tunggu," Redd terkesiap. Matanya mengamati lamat-lamat sebuah gambar yang berada di sisi kiri punggung Richard, dekat dengan pundaknya. Sebuah gambar singa bermahkota yang mencengkeram bulu yang terbakar; dimana serpihan bulu itu kemudian berubah menjadi sebuah burung. "Kau punya tato?"
Raja itu berbalik dan memasang wajah tanpa ekspresi, "Ya."
"Bagaimana bisa?" tanya Redd tidak percaya. "Maksudku, kau kan Raja?"
"Aku punya masa remaja yang panjang Mansen," jawab Richard acuh. "Ini hanya salah satu dari sekian banyak."
Redd mengerutkan kening, tidak menyembunyikan sama sekali kekagumannya pada tato di punggung Raja itu. "Itu indah."
"Kau orang pertama yang mengatakannya," ucap Richard.
"Aku sungguhan, itu sempurna. Aku sering berpikir untuk punya kekasih yang bertato di punggung. Kadang kala aku pikir itu akan jadi tambahan keren saat dia bertelanjang dada."
"Kau," Richard diam. "Serius?"
"Apa aku terlihat bercanda?" Redd mencebik dan menimang-nimang kalimatnya. "Itu, kau tahu ... seksi."
Redd mengedik dan terkikik. Sama sekali tidak sadar bahwa ada seseorang yangterusik dengan kalimatnya barusan.
"Kau tidak jadi mandi?"
Pertanyaan Richard yang tiba-tiba saja berubah membuat Redd mengerjab bingung. "Apa?"
Richard berdecak tidak sabar dan meraih wanita itu dalam gendongannya. Membuat Redd terkejut dan memberontak hebohl; memukul dada telanjang Raja itu dan memekik kala Richard menendang pintu kamar mandi lantas menurunkannya dalam bathup.
"Sebaiknya kau perhatikan dirimu nona muda," bisik Richard. "Kita tidak berada dalan keadaan yang baik. Asal kau tahu, aku bisa merobek bajumu dalam satu tarikan dan membuatmu tidak bisa menolakku setelahnya," Richard menarik nafas berat. "Aku masih ingin memberimu saat pertama yang menyenangkan dalam lembut. Tolong jangan mengujiku."
Lantas Raja Muda itu berlalu begitu saja setelah selesai berkata, membanting pintu tertutup dan setelahnya membawa suasana hening yang menyesakkan. Redd masih mencoba untuk mencerna apa yang baru saja terjadi, dan lebih banyak ia gagal melakukannya.
"Apa barusan aku salah bicara lagi?" bisik Redd pelan. "Astaga," ia mendesah panjang saat kesadaran mulai menghantamnya. "Ini karena aku," wajah Redd memerah seketika. Ia menggerakkan kakinya gemas dan menaruh tangannya di kedua pipinya yang terasa memanas.
Wanita itu menggigit bibirnya malu dan melirik ke pintu. Melihatnya dengan jelas bahwa dibalik pintu yang berkaca buram transparan itu ada sosok yang duduk bersandar. Dari sini Redd bahkan bisa melihat bahwa bahu sosok itu naik turun dengan cepat, tanda bahwa ia tengah mengatur nafas dengan susah payah.
Sejujurnya Redd bukannya tidak mau atau tidak merasakan sesuatu bersama pria itu. Bagaimanapun Redd adalah wanita normal, dia punya gairah walaupun itu tidak seliar Richard; dan jelas ia lebih baik dalam hal pengendalian diri. Sejak awal wanita itu menghargai Richard yang mau menahan dirinya, walau sepertinya sulit dan lebih lagi pria itu memberi jaminan melalui kontrak mereka untuk tidak melakukan kontak fisik secara berlebihan; yang kemudian jika boleh ditambahkan, kadang pria itu langgar sendiri.
Redd menghargainya, tapi ia tahu seorang pria punya batas kesabaran.
Redd menelan ludahnya keras, "Alexander."
Pria itu masih diam.
"Alexander, jangan mengacuhkanku."
"Jangan menguji aku Redd," bahkan dari suaranya pun semua orang akan tahu. Pria itu tengah menahan dirinya.
Redd mengulum pipinya ke dalam. "Apa kau baik-baik saja? Apa kau tidak akan mandi juga?"
Hening.
"Alexander?"
"Mandi saja Mansen, astaga!"
"Tapi, aku butuh bantuan."
"Apa?" sahut Richard cepat.
"Apa kau bisa," Redd diam. "Membantuku menggosok punggung?"
Wanita itu menahan senyum. Well, peraturan memang sudah dibuat, tapi menggoda suami sendiri, bukan masalah kan?
Pintu kamar mandi terbuka dengan kecepatan yang tidak disangka, dan Redd mendongak hanya untuk menemukan Richard yang berdiri di depan pintu. Menatapnya dengan mata gelap yang berkilat oleh gairah. Tampak nyata dan mengancam disaat bersamaan. "Katakan sekali lagi," bisik Richard berat dan serak.
Redd tersenyum. "Apa kau mau membantuku menggosok punggung? Aku agak kesulitan."
"Persetan," umpat pria itu sebelum berjalan cepat ke arah Redd dan menaruh tanganya di ketiak Redd. Menarik wanita itu bangkit dan menciumnya serakah.
Redd mengerang dan secara otomatis menaruh tangannya di bahu Richard sebagai pegangan. Wanita itu memejamkan mata erat dan tersengal saat lidah Raja Muda itu menginvasi mulutnya. Sungguhan itu adalah jenis godaan yang begitu kuat, dan Redd tidak bisa mengimbanginya sama sekali.
Lengan Raja Muda itu melingkarinya posesif, sebelum kemudian melepas ciumannya. Menatap Redd tepat pada matanya. "Kenapa kau melakukannya?" tanya pria itu berat. "Katakan Redd."
"Entahlah," jawab Redd sambil memainkan tangannya di dada Richard. "Aku juga tidak tahu."
Richard mendengus. "Serius. Kau sedang menggodaku ya?"
"Memangnya tidak boleh?"
"Tidak," Richard menjawab cepat. "Karena aku tidak bisa menyentuhmu."
Redd terkekeh, "Siapa bilang? Suami boleh menyentuh istrinya." Redd memiringkan kepala, "Kan?"
"Redd," pria itu mendesah kesal.
Dengan cepat Richard menggendong Redd ke luar kamar mandi, lantas kemudian menjatuhkan Redd diranjang dan mengukungnya, menggunakan siku-sikunya sebagai penahan untuk tidak menimpa Redd di sana dan merapatkan diri.
"Apa kau tahu," Raja Muda itu berbisik. "Aku kehilangan pengendalian diriku sekarang."
"Oh. Ya?"
Richard memandangnya tajam saat telapak kaki Redd mengusap betis dan paha Richard pelan. Memberinya serangan yang tidak terduga. "Kau harusnya tidak melakukannya," bisik Richard.
"Tapi aku ingin."
"Tapi aku ingin memberimu saat pertama yang lembut Mansen."
Redd mengerutkan kening, "Memangnya jika kita lakukan sekarang ini akan jadi hal yang tidak menyenangkan?"
"Oh. Tidak, tentu tidak. Aku hanya tidak menjamin bisa menahan diri untuk tidak menghancurkanmu."
Redd menaikkan sebelah alis. "Wah. Anda sangat jujur Yang Mulia."
Richard mendengus, "Apa itu pujian?"
"Tidak juga," jawab Redd kalem. "Jadi, kau terima tawaranku untuk menggosok punggung dan melakukan hal menyenangkan di kamar mandi atau tidak? Jika tidak kau bisa menyingkir sekarang."
"Aku akan tetap akan menggosok punggungmu," jawab Richard cepat. "Tapi aku menolak tawaran hal menyenangkannya, aku tidak mau melukaimu. Lagipula akan lebih baik jika kita mulai mengenal satu sama lain terlebh dahulu."
"Sekarang kau bersikap seperti pria sejati."
"Aku memang Mansen," Richard mendengus.
"Sekarang kita mandi dan setelahnya kita mulai agenda kita hari ini."
"Agenda?" tanya Redd bingung.
"Ya. Agenda, ageda untuk kita lebih mengenal satu sama lain dan memulai semuanya dari awal," Richard memiringkan kepala. "Seperti suami istri sebelum mereka menikah ya, kan?"
...
©Galaxypuss2020