Meta memalingkan wajahnya, membuat Fabian langsung menyambar tubuhnya dan memeluknya dengan sangat erat.
"Jadilah cewek gue, Met. Gue cinta ama elo. Gue nggak bisa hidup tanpa elo, Met."
"Gue nggak mau!" teriak Meta. Berusaha keras melepaskan pelukan Fabian yang membuat dadanya terasa sesak. "Lepasin gue, Bi! Lepasin!" teriak Meta kesetanan. Dia tak pernah menyangka, jika Fabian akan senekat ini. Melampaui batas toleransi Meta dalam urusan bersabar.
"Lo harus jadi milik gue, Met! Gue cinta ama elo!" keras kepala Fabian.
Fabian hendak mencium bibir Meta, tapi Meta berusaha sekuat tenaga untuk meloka. Untuk kemudian dia ingin mencumbu leher Meta, tapi terhenti saat tahu jika sudah ada bekas-bekas kepemilikan di sana.
"Siapa...," kata Fabian sambil memandang mata Meta yang sudah tampak semakin bengis. "Siapa yang memberikan tanda sialan ini di leher elo, Met! Nggak ada yang boleh nyentuh elo selain gue!" tanya Fabian, dengan nada tinggi dan penuh amarah. Dia mengatakan hal itu. Emosinya tersulut, dan amarahnya sudah membuncah karena tubuh Meta telah dijamah oleh lelaki lain sebelum ia bisa memilikinya!
Bukk!!
Fabian langsung tersungkur, saat selangkangannya ditendang oleh Meta. Kemudian dengan napas terangah Meta mengambil tasnya, berkacak pinggang memandang Fabian dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Gue kasian ama elo, ya. Lo itu mapan, kaya, tampang lo oke. Tapi rendah banget cara lo buat dapetin cewek. Gue bener-bener kasihan ama elo, Bi,"
Setelah mengatakan itu Meta langsung berlari sekuat tenaga. Pergi menuju apartemen secepat mungkin adalah pilihan yang tepat saat ini. Sebab hatinya benar-benar sedang kacau sekarang. Meski dia tak berharap apa-apa dari Fabian, Meta tak menampik jika kebaikan Fabian waktu lalu telah meluluhkan sedikit hatinya. Tapi nyatanya, cowok yang Meta anggap sebagai cowok yang baik, yang merupakan idamannya, tak lebih seperti pecundang yang haus akan tubuh mulus perempuan.
Di sisi lain Yoga terus-terusan membuka dan menutup buku yang ada di tangannya. Untuk sesekali dia melihat jam tangan yang melingkar manis di tangannya, kemudian melihat pintu apartemen yang masih tertutup rapat di sana. Lagi, Yoga menghela napas panjang. Meski sekarang dia begitu tenang duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya, tetap saja gerak-gerik aneh terbaca jelas dari matanya.
Namun saat knop pintu bergerak, Yoga buru-buru fokus dengan bukunya kembali. Sampai ia melihat Meta masuk dengan wajah merah padam, langkah terburu menusu lemari es. Mengambil sebotol air dingin dan meneguknya sampai habis. Kemudian, Meta duduk di sebelahnya, menenggelamkan wajahnya di atas meja.
"Kenapa?" tanya Yoga, dengan nada yang begitu tenang. Meski batinnya benar-benar penasaran.
Apa Fabian dan Meta sudah pacaran? Itu adalah pertanyaan yang terus saja ingin ia lontarkan saat ini juga.
���Nggak usah tanya," jawab Meta yang masih ingin menyembunyikan wajah cantiknya. Bahkan detakan jantungnya masih belum teratur benar. Dia masih butuh beberapa waktu lagi untuk bisa benar-benar menenangkan pikiran, hati, dan kewarasannya saat ini.
"Sudah ketemu Fabian?"
"Sudah."
"Sudah bicara berdua?"
"Sudah."
Lagi Yoga terdiam, mendengar jawaban singkat-singkat yang dilontarkan oleh Meta. Itu benar-benar semakin membuatnya penasaran.
"Kalian pacaran, ya?" tanya Yoga pada akhirnya, yang berhasil membuat Meta langsung mengambil posisi duduk, memandang Yoga dengan tatapan melotot.
Yoga spontan memundurkan punggungnya karena kaget, melihat ekspresi Meta yang benar-benar di luar dugaannya. Ekspresi marah, dan seram. Seperti hendak memakan Yoga saat ini juga.
"Kami nggak pacaran dan nggak akan pernah!" jawab Meta dengan nada tinggi.
Yoga tersenyum simpul mendengar pertanyaan itu, kemudian dia tak mengatakan apa pun lagi. Selain kembali fokus dengan buku yang ada di tangannya.
"Tadi dia minta ketemu, terus bilang kalau aku harus jadi pacarnya. Apa-apaan itu...," cerita Meta. Yoga diam, tapi telinganya cukup aktif untuk mendengarkan. "Setelah apa yang dia lakuin kemarin, enak banget bilang kayak gitu. Aku bener-bener udah jijik ama dia," tambahnya.
Lagi Yoga tersenyum, kemudian dia menutup buku yang sedari tadi dibacanya. Kemudian menaruhnya di atas meja. Memandang Meta dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Fabian tidak seburuk yang kamu pikir. Mungkin benar jika dia benar-benar jatuh cinta denganmu," kata Yoga, mencoba memposisikan dirinya sebagai seorang sepupu, atau penengah yang memberikan pandangan netral kepada Meta.
"Kamu belain dia?" kata Meta dengan alis diangkat sebelah.
"Tidak. Tapi itu kenyataannya," jawab Yoga.
"Kamu mau aku sama dia?!" kata Meta lagi yang semakin tampak kesal. Dia benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa Yoga seolah menyuruhnya dengan Fabian. Terlebih, setelah apa yang keduanya lakukan selama ini?
"Jelas tidak mau,"
"Maksudnya?" tanya Meta tak paham.
"Kamu mau makan malam apa?" alih-alih mendapat jawaban, Meta malah mendapatkan pertanyaan lain dari Yoga. Seolah Yoga sengaja untuk tak menjawab pertanyaan Meta itu.
"Terserah, aku capek mau mandi, mau tidur," jawab Meta malas-malasan. Sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
Yoga meraih kepala Meta, kemudian meletakkan kepada Meta di bahunya. Perempuan itu tampak canggung dengan perlakuan Yoga, tapi dia tetap menurut saja.
"Lebih nyaman seperti ini, kan?" tanya Yoga. Meta tersenyum mendengar ucapannya.
Kemudian Yoga melirik ponselnya yang berdering, di tengah malam seperti ini. Dia melihat nama Fabian tertera jelas di sana, dan itu berhasil membuat Yoga menghela napas.
"Siapa?"
"Fabian."
"Mau apa dia telepon kamu malam-malam?"
"Minta penjelasan."
"Soal?"
Yoga terdiam sejenak, kemudian dia mendekatkan wajahnya pada Meta. Yang berhasil membuat Meta kikuk dibuatnya.
"Soal ciuman panas kita kemarin malam," jawab Yoga. Mengangkat telepon dari Fabian, kemudian meraih jaketnya dan beranjak dari duduknya. "Mungkin aku tidak pulang malam ini. Aku pergi dulu," katanya sambil lalu membuat Meta memandang kepergian Yoga dengan perasaan bersalah.
Padahal Meta masih ingin berbincang banyak dengan Yoga malam ini. Padahal dia benar-benar ingin tahu kenapa Yoga membelikannya kalung.
"Ga!" teriak Meta. Tapi saat Meta hendak berpaling dari pintu, tampak pintu itu kembali terbuka.
"Ada apa?" tanya Yoga.
Sebongkah senyuman tersungging di bibir Meta, kemudian dia berdiri sambil menggenggam erat kalungnya.
"Kenapa kamu beliin aku kalung ini?" tanyanya kemudian.
Wajah Yoga tampak memerah, kemudian dia memalingkan wajahnya sekilas sebelum menjawab pertanyaan Meta. Dia harus cepat membuat jawaban yang masuk akal, agar harga dirinya tidak jatuh sebagai seorang bos di depan perempuan satu itu.
"Tadi waktu di mall, ada salah satu pemilik toko perhiasan mengenaliku. Aku dipaksa untuk mengambil salah satu dari koleksi terbaiknya untuk kuberikan kepada orang yang tersayang. Padahal aku sudah menolak, tapi dipaksa."
"Diberikan gitu aja? Barang semahal ini?" selidik Meta.
"Memangnya kenapa? Toko perhiasan itu mendapatkan untung ratusan kali lipat karena aku telah mengunjungi tokonya. Jika dia memposting wajahku di sosial media, berapa ratus pengunjung yang ada di sana. Lagi pula, aku memberikannya padamu juga karena aku tidak punya alasan lain. Dari pada kubuang?"
Meta menyipitkan matanya mendengar penjelasan aneh dari Yoga. Tapi meski begitu dia mencoba percaya saja. Memang, penjelasan Yoga adalah yang masuk akal dibandingkan apa yang dikatakan oleh Kinan, dan Mbak Tanti kepadanya.
"Yaudah, sana pergi. Aku mau tidur," putus Meta. Beranjak dari duduknya setelah melihat kepergian Yoga.