DI PUNCAK Gunung Merapi.
Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir
serta hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah
panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk ling–
karan, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian
sebeleh utara panggung berbentuk lingkaran terdapat
sebuah podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah
pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di
pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang
bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu
tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan
cekung. Dialah Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi,
calon suami Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ
rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan dan
beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang
disegani! Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa
naik ke atas podium dan upacara perkawinan segera akan
dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang
pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon
besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila
upacara pernikahan selesai, para tamu akan dijamu
makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-per–
tandingan silat yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan
di atas panggung besar kayu jati!
Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling.
Dari sebuah bangunan keluarlah pengantin perempuan,
diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang memandang
kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji
kecantikan paras Permani! Dilihat kepada rupa memang
ada juga di antara para tamu yang merasa kurang
cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada
nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan
itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta?
Siapa yang tak kenal dengan Sokananta yang berilmu
tinggi?!
Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas
panggung di depan podium maka pengantin laki-laki pun
berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin
pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan
dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama
Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di masa itu Wara–
rayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin
upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di
bawah pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup
bahagia!
Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga mun–
cul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik Tunggul
serta Sokananta kelihatan gelisah. Permani yang berdiri
dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi
apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang
digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai
saat itu orang yang hendak menolongnya belum juga
kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlam–
bat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?!
Telah lewat sepeminum teh.
Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat
sangat membuat kulit muka Manik Tunggul merah laksana
saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung jawab
mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak
Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan
karena malu melainkan merasa terhina!
Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik
sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul
seorang berjubah biru.
Manik Tunggul tersirap kaget. Jubah biru adalah
pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah
manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik
batu karang itu?
Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini,
terkejutlah Manik Tunggul serta para hadirin. Langkah si
jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan
angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat,
maka tersiraplah darah Manik Tunggul dan semua orang.
Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi anehnya
jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik
Tunggul sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah
terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada
dan siapa pula manusia yang datang ini?!
Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah
liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakkan diikat dengan
robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di
tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut
runcing sedang di tangan kanannya menggenggam seba–
tang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat
di sekitar kawah gunung.
Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak
murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti
segera hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing
memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam
posisi mengurung si jubah biru.
Akan tetapi Permani begitu dia melihat si jubah biru ini,
meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan
rambut awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa
mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang
dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar
penginapan, bukan lain orang yang diharapkannya sebagai
tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit. Tapi apa-
apaan dia berbuat macam orang gila begini rupa?
Tiba-tiba si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar
212 keluarkan suara macam orang tua dan menggigil,
"Uh... uh... dinginnya! Dingin sekali!" Dan kedua
tangannya didekapkan di dada sedang geraham-geraham–
nya bergemeletukan persis macam orang kedinginan!
Di samping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam
yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang telinga
para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka
injak!
Semua orang heran campur terkejut!
Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana
manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?!
"Jubah biru!" bentak Manik Tunggul. "Manusia atau
setankah kau?!"
"Hai... aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak
merasa? Apakah kalian semua di sini tidak kedinginan?
Uh.. uh...!"
Semua orang saling pandang.
"Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana
kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?!" Kembali Manik
Tunggul buka suara keras.
Wiro Sableng dengan menahan geli di dalam hati pura-
pura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri.
Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di
tangan kanan dia berkata, "Anak-anakku... kalian semua
dengarlah!"
"Persetan manusia edan!" hardik Bogananta beringas.
"Kau kira kami ini apamu sampai memanggil kami anak-
anakmu?!"
Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan
tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan
Merapi itu.
"Kalian dengar dulu... jangan ganggu bicaraku. Siapa
yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan
dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa
di khayangan!" Lalu Wiro Sableng pura-pura menggigil
kedinginan lagi! "Dingin... uh... dingin sekali! Di dasar
kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main!
Uh...!"
"Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari
sini kutekuk batang lehermu!" ancam Manik Tunggul.
"Aku bukan manusia... bukan manusia!"
kata Wiro lantang keras hingga setiap orang yang mendengar
tergetar dadanya! "Aku adalah titisan dewa di khayangan!
Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada
dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian
tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang
kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa
di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua!
Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan
dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang
aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian..."
"Keparat pendusta!" bentak Manik Tunggul. "Kau kira
kami bisa dikelabui oleh orang gila macammu?!"
Wiro Sableng menyeringai dan keluarkan suara
mengekeh. Dalam hatinya dia memaki!
"Aku pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu...?!
Kau akan lihat... akan lihat!" kata Wiro pula dengan suara
keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang
terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang
duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali
gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun!
Di tepi kawah Wiro komat-kamitkan mulut. Dalam hati
dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di
tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan peca–
han kaca rias di putar-putarnya kian kemari! Kemudian
terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke
dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas.
"Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah
menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku
ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu
yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri
bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai
pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila!
Demi memandang mukaku, demi menjaga kesucian tem–
pat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap perlihat–
kanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka...!"
Wiro putar-putarkan kedua tangannya ke udara.
"Hukumlah mereka wahai dewa!"
seru Wiro lagi dan seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan.
Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh.
Maka mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu
yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh
berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan mereka
yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar
tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin
semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba
di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak
ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang
dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan
kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang!
"Tahan!" teriak Manik Tunggul seraya melompat ke
muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si
jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak
dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat
kemudian dia sudah berada di hadapan Wiro. Pakaiannya
berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang
keluar dari tangan sang Pendekar 212!
"Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara
padamu!" Berada sedemikian dekat Manik Tunggul melihat
bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si
jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat!
Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga.
Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia
biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa!
"Tahan!" teriak Manik Tunggul sekali lagi.
"Aku mau
bicara!"
Wiro tertawa mengekeh dan mendongak ke langit.
"Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah kemurkaanmu."
Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu
mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan
Manik Tunggul yang ada di sampingnya Wiro melangkah
kembali ke atas panggung di depan podium sambil tertawa
mengekeh-ngekeh!
"Masih untung, masih untung dewa mau mengampuni
kalian manusia-manusia sombong!" kata Wiro.
Dia melirik ke samping. Manik Tunggul berada di dekatnya.
Dan Wiro buka mulut kembali, "Itu baru sepersepuluh
dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti
kalian semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana
daun kering dan mampus!"
Wiro komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke
muka.
"Sekarang kalian dengar semua!" serunya
menggeledek. "Dewa telah mengampuni kalian orang-
orang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengam–
punan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung
Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan
dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun
lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini
dewa memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu
semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan
kepadaku!"
Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya
terkejut. Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta men–
delik memandang kepadanya. Cuma seorang yang keliha–
tan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain Permani.
Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang
menyamar itu.
"Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserah–
kan padaku...!" Wiro melangkah mendekati Permani.
Tapi baru satu langkah, Manik Tunggul sudah
memapasinya.
"Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau
tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau kau
maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku
ini!" Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti
melompat ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat!