Sudah hampir sebulan sejak aku bekerja sebagai guru di sekolah ini dan itu semua membuatku terasa jenuh.
Cukup melelahkan mengetahui bahwa pekerjaanku disini tidak hanya untuk mengajar tapi juga mengawasi teman-teman dan lingkungan sekitar Lux.
"Profesor Lee, itu bagus untuk bekerja keras dengan sungguh-sungguh. Tapi memaksakan diri itu tidak terlalu bagus."
Kata Profesor Han, salah satu guru di sini yang mengajar kelas Avaritia untuk mata pelajaran sejarah.
Menaruh secangkir kopi di meja ku, ia melepaskan kacamatanya dan duduk di hadapanku.
Melihat jam di komputer ku, aku yakin Lux seharusnya beberapa menit lagi keluar dari ruang OSIS untuk bertemu denganku.
"Jadi, apakah itu benar?"
"Apa maksudmu?"
"Tentang kau bertunangan dengan salah satu murid di sini?"
"Ya, jika kau ingin merasa jijik, silahkan. Aku tidak peduli."
Balasku acuh yang malah membuat ia tertawa. Tidak terlalu keras, tapi cukup terdengar bagi kami berdua.
"Santai aja, lah. Maksudku, aku juga pernah dalam posisimu, kau tau?"
Balasnya pelan yang membuatku mengernyitkan kening. Ia memperhatikan rasa bingung yang terlukiskan di wajahku dan mulai menjelaskan secara singkat.
"Singkat kata, begitulah bagaimana istriku juga dulu adalah salah satu murid ku saat aku menjadi guru baru di sini."
Mendengar pernyataannya yang cukup unik, aku merasa ingin tahu lebih dan bertanya jika bukan karena pintu ruang OSIS yang terbuka.
Menandakan bahwa aku harus pergi untuk mengantar ia pulang.
"Terima kasih atas kopinya, Profesor Han. Mungkin lain kali kita dapat berbincang lebih lama."
Tukas ku sebelum akhirnya meninggalkan ruang guru bersamanya dan berjalan menuju Lux yang terlihat agak pucat daripada biasanya.
Berlari kecil kearahnya, aku mengambil tasnya dan memegang bahunya. Sebelum akhirnya ia menyandarkan kepalanya di dada ku.
"Hey! Ada apa?"
"Hanya merasa lelah, Jeno. Tenang saja."
Bisik nya pelan dengan suara serak sebelum ia terbatuk-batuk. Mendorongnya sedikit dari diriku, aku menaruh tanganku di dahinya.
Tubuhnya terasa agak dingin dan itu membuatku terasa khawatir. Ia berkeringat dingin dan batuknya terlihat tidak akan berhenti untuk sementara waktu.
"Ayo, kita pulang."
Kataku dan ia tiba-tiba menarik ujung kemejaku. Menggeleng pelan, aku bertanya mengapa ia tidak ingin pulang.
"Aku tidak punya siapa-siapa di sana, Jen."
Tidak ingin ada orang lain mendengar, kami langsung berjalan menuju mobilku yang sudah diparkir didepan sekolah dan masuk untuk berbicara lebih leluasa.
"Besok Sabtu, apakah kau ada jadwal?"
"Gak, besok aku free, kok. Kenapa emangnya?"
"Kalau gitu kau mau nginap di rumahku? Pakaianmu yang ku beli masih ada, kok."
Ia mengangguk pelan sebelum aku memasangkan sabuk pengaman karena ia mulai merasa lelah.
Sambil menunggu lampu hijau dan terkena hujan di tengah macet jalan raya. Aku memperhatikan dengan saksama dirinya yang tengah tertidur lelap.
"Bahkan ditengah keributan seperti ini, kamu masih sanggup tidur."
Bisik ku sebelum menyelipkan beberapa helai rambut dari wajahnya dan mencium keningnya dengan pelan.
"Aku harap kamu tau bahwa aku sudah jatuh cinta denganmu pada pandangan pertama, Lux."
Aku kembali memfokuskan pandanganku ke jalan sambil memastikan bahwa aku tidak berkendara terlalu cepat supaya Lux tidak terbangun.
===
"Hmm..."
Aku membuka mataku dengan pelan saat merasa ada sesuatu diatas tubuhku. Sambil menguap kecil dan menggosok mataku sedikit, aku menyadari bahwa aku sudah tidak berasa di mobil lagi.
"Oh, udah bangun? Sorry, karena aku ya?"
"Gak kok! Memang aku udah bangun daritadi."
Kataku sambil membaringkan punggungku di sandaran kasur. Aku menatap Jeno yang tengah merapikan beberapa barang ku dan keluar dari kamar.
Tidak lama kemudia, ia datang untuk menaruh secangkir air dan beberapa butir obat di meja sampingku dengan sepiring potongan buah delima.
"Makasih."
"Sama-sama. Kamu bisa ganti baju dulu baru makan buah dan minum obat sebelum istirahat lagi."
Kata Jeno sebelum pergi lagi dari kamar.
Sambil menanggalkan dan mengganti seragamku dengan pakaian bersih yang sudah disiapkan Jeno, aku memperhatikan sekitar ruangan.
Kamarnya sangat luas, mungkin bisa ditempati sampai lima orang. Terutama karena ruang ini memiliki kamar mandi dan dapur kecil beserta kulkasnya sendiri.
Beberapa perabotan di kamar ini antara lain kasur ukuran Ace, dua lemari pakaian dan meja masing-masing di samping kasur.
Setelah mengganti pakaianku dan menaruhnya di keranjang pakaian kotor, aku memakan buah delima yang telah dipotong Jeno sebelum meminum obat.
Tidak lama setelah itu, aku mulai merasa mengantuk dan berbaring di atas kasur. Gawai ku berdering, menandakan ada pesan masuk.
'*Jika kamu perlu sesuatu, langsung hubungu nomor ini, tidak perlu sungkan.
Jeno*.'
Setelah membaca pesan singkat tersebut, aku merasa lumayan lega. Mengetahui ada seseorang yang dapat menjadi sandaran ku.
Setelah membalas pesan itu, aku pun mematikan lampu kamar dan segera tertidur pulas.