Kali ini Dharmadipa benar-benar merasa terusik ketika Gurunya mengungkit soal Mega Sari "Guru… Kalau ini salah, dimana letak kesalahannya?!"
Hampir saja Kyai Pamenang berdiri dari duduknya mendengar pertanyaan Dharmadipa tersebut yang seolah menantangnya "Banyak! Pertama dengan keluyuran mengejarnya menunjukan bahwa kau bersikap sebagai seorang pria yang tak tahu malu dan tak tahu adat! Agama dan adat kita mengajarkan bahwa bukan begitu caranya kau mendekati seorang perempuan! Kedua, meskipun kalian telah bersaudara selama di padepokan ini, tapi kau belum tahu pribadinya, apakah ia cocok dengan pribadimu atau tidak! Ketiga, kau tentu tahu asal-usul Mega Sari bukan? Ia adalah putri dari Prabu Kertapati, raja dari negeri Mega Mendung yang wilayahnya sampai diatas tanah yang kita pijak ini! Ditambah sang Prabu tidak mempunyai anak laki-laki, maka suami Mega Sari lah yang kelak akan menjadi pengganti beliau menjadi penguasa diatas bumi Mega Mendung ini! Sekarang coba pikirkan apakah kau pantas menjadi pendamping Mega Sari?!"
Ucapan Kyai Pamenang yang terakhir ini sungguh menyinggung Dharmadipa yang harga dirinya tinggi, dadanya mulai sesak, namun ia mencoba masih menahan amarahnya sementara nasihat dari Kyai Pamenang meluncur lagi "Kau sedang berdiri di tepi jurang yang terjal, jika kau lengah kau akan tergelincir jatuh, dan tidak ada seorang pun yang bisa menolongmu!"
"Maaf Guru, saya mencintai gadis itu, setiap orang berhak untuk mencintai seorang lawan jenisnya!" sela Dharmadipa.
Mendengar pembatahan Dharmadipa, Kyai Pamenang berdiri dari duduknya "Astagfirullah… Dharmadipa mulai sekarang kau tidak kuizinkan meninggalkan padepokan ini! Lupakan gadis yang bernama Mega Sari itu!"
Dharmadipa memelototi gurunya mendengarnya, kini ia benar tidak bisa menahan dirinya lagi, Kyai Pamenang marah bukan main melihat Dharmadipa memelototi wajahnya "Dharmadipa tundukkan kepalamu! Tidak pantas kau memandangku dengan cara seperti itu!" bentaknya.
Dharmadipa tidak mengindahkannya, ia malah berbicara dengan suara lantang "Kali ini saya tidak bisa mengikuti perintahmu ayah Pamenang!"
Betapa kagetnya sang Kyai mendapati kelakuan anak angkatnya ini "Tunduk kataku!" bentaknya lagi.
"Tidak! Saya adalah Putra dari Prabu Wangsadipa dan Ratu Sekar Ningsih dari Parakan Muncang! Meskipun Negeri itu sudah hancur belasan tahun silam namun saya tetaplah seorang Pangeran! Jadi saya berhak untuk menikahi Mega Sari dan saya berhak untuk menolak tunduk padamu!" hardik Dharmadipa.
Kali ini Kyai Pamenang tidak bisa lagi menahan amarahnya, dia mememukul wajah Dharmadipa hingga bibir Dharmadipa sobek berdarah. Dharmadipa langsung berdiri di hadapan Kyai Pamenang "Kali ini saya tidak mau tunduk! Maaf Ayah Pamenang, bila Ayah menanggap saya salah mencintai Mega Sari, saya bersedia meninggalkan padepokan ini! Lagipula ayah sudah pilih kasih, ayah menurunkan jurus Menggoncang Langit Menjungkir Awan hanya pada Jaka, ayah tidak menurunkannya padaku! Permisi, saya akan pergi saat ini juga!"
Dharmadipa pun meninggalkan ruangan itu, pintu ruangan itu dibanting oleh Dharmadipa hingga jebol. Kyai Pamenang berkali-kali berisitigfar sambil meneglus dadanya "Astagfirullah… Dharmadipa…"
"Kakang, nampaknya Dharmadipa bersungguh-sungguh, aku belum pernah melihatnya berani melawan kita seperti ini" ujar Nyai Mantili dengan sedih.
Kyai Pamenang menoleh pada istrinya dengan tatapan kuyu "Persoalannya adalah sikap Dharmadipa, dan sinar matanya… Sinar matanya itu yang selalu aku cemaskan sejak ia kecil, pancaran yang berkobar-kobar bagaikan api, pancaran yang tidak mudah ditenangkan dan dipadamkan. Ia juga memiliki tanda rajah Cakra Bisma di keningnya, orang yang memiliki rajah itu sangat cepat marah, selalu mudah dikuasai hawa nafsu, kekuatannya menjadi sangat besar saat ia dikuasai hawa nafsu! Hhhhh… Dharmadipa kau tidak pernah tahu kalau bahaya besar sedang mengancammu didepanmu, kau tidak mampu melihatnya karena kau selalu diebelenggu hawa nafsu". (Cakra Bisma adalah tanda bulat merah di kening yang akan muncul pada saat orang tersebut marah, menurut kepercayaan orang Sunda, orang yang memiliki tanda rajah ini adalah orang yang mudah sekali marah dan pendendam, bahkan apabila marah orang ini bisa lupa segalanya dan akan mempunyai kekuatan yang luar biasa bagaikan orang kesurupan, menurut legenda, yang memiliki rajah ini adalah Prabu Sanjaya dan Pangeran Amuk Marugul).
Dharmadipa memacu kudanya bagaikan kesetanan, meninggalkan padepokan Sirna Raga, matanya melotot menyala-nyala, nafasnya tersenggal-senggal, tanda lingkaran merah di keningnya terlihat jelas, dadanya sesak, hatinya panas membara, ia berkuda meninggalkan padepokan tanpa tujuan dengan pikiran yang kosong dan mata gelap, seluruh tubuhnya hanya digerakan oleh hawa nafsunya saja yang memberinya kekuatan tapi tak bisa ia kendalikan.
Tiba-tiba ia menghentikan kudanya ketika di hadapannya telah berdiri seorang tua berpakaian dan bersorban putih. Rambut, kumis, janggut, dan alisnya yang panjang lebat telah memutih semuanya, orang tua itu tak lain adalah ayah angkat sekaligus Gurunya sendiri yakni Kyai Pamenang. "Mau ke mana Dharmadipa?" tanyanya dengan suara pelan dan halus, orang tua itu menatap muridnya dengan tatapan yang lebut tidak seperti di balairiung tadi.
Dharmadipa terkejut bukan main bagaikan melihat hantu mendapati sosok ayah angkatnya tiba-tiba sudah berada di hadapannya! Tapi pemuda berambut gondrong yang bentuk tulang alisnya menonjol dan tulang rahang kokoh itu segera menindih rasa kagetnya. Rasa kagetnya berganti menjadi amarah yang meluap-luap membuat seluruh tubuhnya panas, "Saya hanya tidak ingin kebebasan saya direnggut oleh siapa saja, termasuk kebebasan saya mencintai Mega Sari! Saya punya hak untuk memperoleh sesuatu yang saya inginkan!"
Kyai Pamenang menatap lembut Dharmadipa dengan penuh kasih sayang "Dharmadipa kamu tersesat! Kembalilah sebagai murid yang benar dan anak yang berbakti! Ingatlah pada Gusti Allah anakku, Istighfarlah! Percayalah pada orang tua dan gurumu ini, tindakanmu hanya akan menyengsarakan dirimu sendiri, akan membawamu ke lobang yang gelap, ketika kau menyadarinya kau hanya bisa menyesali semua telah terjadi tanpa bisa meminta tolong pada siapapun termasuk aku, ibumu, dan saudara-saudarimu!" tegurnya dengan lembut.
Dharmadipa malah menatap gurunya dengan tatapan yang menantangnya "Saya akan tanggung sendiri segala akibatnya! Saya tidak butuh siapapun termasuk Guru! Saya hanya membutuhkan Mega Sari!"
Entah untuk keberapa kalinya semenjak ia menghadapi Dharmadipa, Kyai Pamenang membaca Istighfar, kesabarannya benar-benar telah diuji oleh sikap anak angkatnya yang sangat keras kepala dan pemberang tersebut "Dharmadipa… Baiklah, kalau kau berani membantah, kau akan berhadapan dengan gurumu, dengan ayahmu ini!"
"Saya tidak mau kembali! Saya tidak mau dibelenggu seperti seekor kuda yang hanya harus patuh pada majikannya! Selama ini saya selalu diatur! Saya tidak pernah menjadi seorang Dharmadipa! Saya melihat kebaikan atau keburukan hanya dari pandangan Guru! Walaupun guru selalu berdalih bahwa apa yang guru lakukan semuanya berdasarkan agama! Berdasarkan Kitab Suci! Tapi ini sungguh tidak adil karena saya tidak diizinkan untuk menentukan benar dan salah menurut saya sendiri! Padahal saya adalah seorang Pangeran yang seharusnya kelak menjadi seorang raja yang dapat mengatur sebuah negeri berdasarkan cara pandangnya sendiri! Sekarang saya tuntut hak saya, kebebasan saya! Untuk melihat apa saja berdasarkan pendapat saya sendiri! Untuk menentukan langkah saya sendiri!" ceorocos Dharmadipa dengan nada memaki gurunya.
"Astagfirullah…" Kyai Pamenang menggeleng-gelengkan kepalanya mendapati penolakan dan makian dari muridnya, dari anak angkatnya sendiri yang sangat ia kasihi, hanya bisa menghela nafas, sungguh sedih hatinya mendapati perlakuan durhaka dari anak angkatnya ini.
Dharmadipa malah makin berani, dia menunjuk dengan jari telunjuknya pada wajah gurunya "Kenapa Ayah selalu memaksakan pandangan ayah kepada saya?!"
Kyai Pamenang menghela nafas berat, helahaan nafasnya yang berat terdengar jelas "Karena aku yang lebih dulu melihat dunia ini dengan segala kebusukannya daripada kamu, adalah kewajibanku sebagai orang tua, dan gurumu, bahkan sebagai orang yang lebih tua untuk menunjukan mana jalan yang baik ditempuh dan mana yang tidak, hal ini aku lakukan semata-mata karena aku menyayangimu Dharmadipa…"
Mendengar itu, Dharmadipa malah mencibir gurunya "Huuhhh! Guru sering mengajariku tentang sifat takabur, tapi tanpa disadari guru telah melakukan sendiri ketakaburan itu! Merasa paling tahu tentang hidup! Itu juga takabur!"
Dharmadipa lalu membusungkan dadanya, giginya bergemulutakan menahan amarahnya, matanya melotot "Saya akan tetap mencari Mega Sari, saya akan tetap mengucapkan rasa suka saya padanya, saya akan tetap mengejar cintanya! Apapun akibatnya! Kalau saya terjerumus kedalam sumur gelap yang paling dalam sekalipun, saya puas! Karena telah melakukan sebuah pilihan sendiri! Tanpa paksaan orang lain!"