Baixar aplicativo
9.3% Marriage Contract (Fanfic) / Chapter 4: 4

Capítulo 4: 4

Enam Tahun Kemudian.

Hinata meneliti pohon ginkgo itu, mau atau tidaknya dia, pohon itu seolah memaksanya untuk terus diperhatikan olehnya. Dengan daun berwarna kuning serta oranye, pohon itu telah hidup sejak ratusan tahun silam. Berguguran setiap harinya tapi tak pernah gundul seperti sekumpulan beech yang menyeramkan.

Hinata telah bersumpah dalam bentuk apa pun telah membenci pohon itu, dan berpikir suatu hari nanti dia bisa menebangnya menjadi bongkahan-bongkahan kayu bakar, atau mati bersama pohon itu. Membantu orang-orang di Okutama yang seluruhnya memiliki Wangsa Hyuuga bebas untuk bernafas di kota yang lebih besar daripada sebuah daerah yang bahkan tidak terlihat seperti kota atau sebuah desa terpencil. Menikah dengan sesama golongan hanya karena menuruti tradisi penuh omong kosong.

Okutama sendiri kini telah dikelilingi banyak hutan lindung, setidaknya itu untuk beberapa tahun terakhir, ketika sedikit demi sedikit diperbaiki, dan mungkin bagian lerengnya bisa dijadikan sebagai taman yang bisa dikunjungi oleh siapa pun. Akhir-akhir ini perkembangan Okutama semakin maju, karena Kaisar jauh lebih memperhatikan, tentu saja karena kakeknya telah mengkat, dan Hiashi menyukai suatu perubahan demi menyelamatkan penduduk yang bahkan tidak ada seperempat dari penduduk Tokyo.

Dua tahun terakhir pun mulai banyak wajah-wajah baru berdatangan dari kota hanya untuk memberikan pelayanan khusus, tanpa tahu apa yang tersimpan di Okutama sendiri, bukan hanya tertutup, mereka melestarikan sesuatu yang katanya amat penting.

"Ayahmu sudah menyetujui, kau akan tinggal bersama Neji di apartemennya," lamunan Hinata buyar, ibunya bersuara kalem, di seberangnya tengah mencicipi teh yang baru saja disajikan.

Hinata memandangi ibunya kemudian, dia tidak seberapa minat kalau pada akhirnya Hyuuga mencampuri urusannya, dan itu tentang ayahnya yang diketahui olehnya, pria itu tidak benar-benar peduli padanya. "Aku akan cari tempat tinggal sendiri, kita sudah terlalu banyak merepotkan Neji, dia pasti tidak nyaman."

"Itu salah besar," sanggah ibunya. "Justru Neji yang memaksa kau perlu tinggal dengannya, karena itu lebih aman. Kota besar sangat mengerikan."

Jika saja dia tidak sedang berbincang-bincang dengan ibunya, Hinata dengan sukarela bakal bersikap tidak sopan. Namun bagi Hinata ibunya adalah orang yang paling mendukungnya—paling memprioritaskan dirinya dari segi mana pun di keluarga mereka sementara sang ayah malah terlihat enggan akan kehadirannya, membuat Hinata terus mendesak ibunya supaya dia diizinkan untuk pergi ke kota.

Gadis itu ingin memulai kehidupan mandirinya, dan ketika tidak diizinkan untuk keluar, Hinata mulai membanding-bandingkan kehidupan Keluarga Kaisar di mana mereka telah membiarkan anak-anak mereka mengambil pendidikan di luar sekolah istana.

Lagi-lagi, sebelum pergi, dia dihadapkan oleh ritual aneh beberapa hari yang lalu, mereka menyebutnya 'persetujuan pengantin laki-laki' padahal dia tidak sedang terikat dengan siapa pun.

Hinata sendiri bahkan tidak ingat sosok laki-laki muda yang terbang ke atas langit lalu memperlihatkan sosok wanita yang membuat pamannya goyah, sedangkan tidak lama dari itu Hinata terlempar masuk ke sebuah lubang hitam, membuat dirinya berakhir kembali tergeletak di pinggir pohon ginkgo. Bangun-bangun, segerombol para Shaman itu begitu senang akan kehadirannya, dan berteriak "kemakmuran" secara berulang kali, belum lagi jika diketahui pada saat itu dia mulai bisa berjalan seperti apa yang dia inginkan.

"Barang-barangmu sudah ibu siapkan, tidak perlu berkemas lagi."

"Tidak perlu," kata Hinata, membuat ibunya mencermati. "Aku sudah membereskan barang-barang berhargaku, semuanya berada di dalam satu koper. Aku tidak akan membawa semua baju-bajuku. Aku bisa membeli barang yang aku butuhkan ketika tiba di Tokyo. Maafkan aku, jika itu membuat ibu kecewa."

"Sama-sekali tidak. Kau sudah dewasa, berhak menata barang-barangmu sendiri."

Sejam kemudian, upacara minum teh berakhir, Hinata keluar dari ruang keluarga, dua pelayannya menghampirinya, mengikuti ke mana pun dia pergi. Tapi sebentar lagi, dua orang sialan yang terus mengaturnya ini-itu tidak akan ikut bersamanya ke Tokyo. Ia sedikit merasa lega—atau mungkin sangat begitu lega.

"Tinggalkan aku sendiri," dengan nada yang sangat mengintimidasi, Hinata memerintahkan dua pelayannya itu untuk berada di depan kamarnya daripada ikut masuk ke dalam kamar.

Rumah tradisional yang terlihat membosankan, membuat Hinata ingin cepat-cepat pergi ke kota dan merasakan kehidupan di tempat modern yang sesungguhnya, dengan bermacam bangunan kontemporer yang menghias di setiap mata memandang. Bukan seperti di sini, yang isinya hanya bangunan kayu, kayu, dan kayu.

Kamar yang diset seperti kamar putri kerajaan zaman lampau membuat Hinata muak, apalagi balkon yang lagi-lagi menatap ke arah ginkgo meski dia memiliki taman sendiri yang dipenuhi oleh rerumputan hijau dan pagar bambu, juga kumpulan ikan koi yang satu demi satu mati karena dibunuhnya, semua itu makin membuat dirinya muak. Hinata menyukai panahan, dan dia menjadikan ikan-ikan tersebut sebagai objeknya jika dia mengalami kekesalan. Satu demi satu mati meninggalkan rasa lega begitu mendalam pada diri gadis itu.

Keesokan harinya, Hinata berangkat pergi ke Tokyo dengan perjalanan kurang lebih dua jam untuk sampai di sana. Meski dia telah pergi dari Okutama, ia masih belum merasakan kebebasan. Akan ada setidaknya satu pelayan yang mendampinginya karena keperluan, juga Neji yang lebih dulu mendapatkan kebebasannya beberapa tahun silam.

Dan kini, ketika mobilnya melaju pelan memecah keheningan di pagi hari, Hinata meneliti hutan yang dilewatinya telah menyimpan misteri dan sesuatu yang mengerikan di dalamnya. Di saat dia melewati setiap pohon beech yang gundul, seseorang tengah duduk di atas ranting atau malah bersembunyi di balik pohon. Hantu-hantu sialan itu tidak akan kubiarkan ikut, Hinata membatin penuh kesal.

Anugerah untuk melihat mereka akan sangat mengganggunya. Ia kemudian mengenakan kacamata hitam, lalu terlelap sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Padahal dia bukan golongan cabang bahkan seorang Shaman, tapi anugerah itu didapatkan oleh Hinata ketika dia kembali dari tempat tinggal para Dewa dan makhluk-makhluk aneh setengah siluman. Ia juga bisa mengusir roh ataupun mensucikan mereka. Kalau teman-teman barunya tahu kelebihannya apakah tidak masalah?

Tidak. Hinata bahkan telah mengira dia tidak akan punya teman nanti di tempat barunya, serta dia sendiri tidak pernah berharap untuk itu.

Di tengah perjalanan itu Hinata berkelana di alam mimpi. Dengan sepatu pantofel warna putih, gaun brokat putih yang indah, ia mengabsen jalan di tengah hutan yang dipenuhi pohon beech. Ia mungkin bakal dibuat kesal kalau ini bagian dari kisah nyatanya.

Hinata berhenti melangkah, ia memandangi setiap dahan-dahan gundul itu dengan wajah datar bahkan perasaan datar, toh karena dia tidak bisa menoleh, tentu tidak bisa bergerak untuk pergi ke mana pun juga. Kemudian kabut putih mengelilingi dirinya.

"Aku akan terus berada di sisimu, karena kau tahu kalau aku tidak akan bisa kabur."

Hinata tertunduk.

"Yang kau lawan adalah Dewa. Kau masih merencanakan ingin kabur?"

"Pergilah, aku muak melihatmu," tetapi seseorang di belakang tidak kunjung pergi, masih berdiri di belakangnya sehingga masih dapat Hinata rasakan, sesuatu yang menusuk dingin ke tubuhnya. Ia kemudian menggigil. "Suatu hari, aku pasti akan membunuhmu."

"Entahlah, aku tidak yakin apakah aku bisa mati, kita lihat saja nanti."

Hinata kembali membuka matanya, kemudian terkejut ketika dia sudah sampai di perkotaan. Kacamatanya sampai jatuh dan membuat pelayan pribadi di sampingnya terkejut. "Yang Mulia—" sebelum wanita itu berhasil melanjutkan, Hinata keburu mengangkat tangannya.

"Mulai sekarang kau harus belajar untuk tidak memanggilku dengan slogan seperti itu," ucap Hinata dengan sangat tegas, dan berharap bahwa pelayan sialan itu tidak menambah beban pikirannya.

"Maafkan saya, tapi hal tersebut tidak diperbolehkan," Hinata menoleh dengan memandanginya benci.

"Aku tidak berniat membuat keributan atau masalah, jadi aku mohon kerja samanya." Katanya, kemudian meminta sang sopir untuk menurunkan kaca mobilnya, sehingga Hinata bisa mencium kebebasannya di Tokyo. Ia akan pergi ke mana pun tanpa pengawalan, juga pergi ke mana pun tanpa penuh dengan kegelapan, atau tempat-tempat pelosok yang mengerikan.

Mungkin Hinata tidak akan bisa mandi di air terjun yang jernih, tapi selama dia memiliki dunia baru, itu tidak akan pernah menjadi masalah. Tokyo tempat yang dia ingin tinggali. Tidak ada rumah besar tradisional yang menyebalkan, juga tidak ada ratusan pelayan sialan yang terus mencatat apa yang telah dilaluinya seharian ini—yang bakal disimpan sebagai catatan spiritual sebagai seorang pengantin dewa.


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C4
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login