Ting.
Ting.
Ting.
Ting.
Ting.
Gadis dengan piyama cokelat tua itu berdecak kesal. Ponselnya sedari tadi berbunyi dengan beruntun. Tak perlu melihat juga ia akan tahu siapa pelakunya.
Dengan malas ia meraih ponsel di atas nakas dan menyalakan benda pipih canggih itu.
Dario Kampret : Lia!!
Dario Kampret : Lia ish!!
Dario Kampret : Gue mah sabar di kacangin mulu.
Dario Kampret : Emilia Cantik Alfaro!
Dario Kampret : Emilia Tapi Alfaro!
Dario Kampret : Emilia Galak Alfaro!
Emilia mengangkat alis saat membacanya. Rupanya cowok childish itu moodyan. Kadang pakai lo-gue, kadang pakai aku-kamu. Dan sekarang apa? Ia menyelipkan nama tengah Emilia dengan seenaknya, Cantik-Tapi-Galak.
Sialan.
Emilia Alfaro : Upin Ipin makan bekicot.
Emilia Alfaro : Bacot!
Dario Kampret : Kebiasaan!
Dario Kampret : Aku telpon ya.
Going back to corner where I,
first saw you.
Gonna camp in my sleeping bag,
I'm not gonna move.
Dario Kampret is calling ...
Menghela napas, Emilia mengangkatnya.
"Pa?"
"LIA!!" terdengar pekikan girang di sebrang sana.
Emilia memutat bola matanya. "Bacot amat sih!"
Tiba-tiba sesuatu pikiran terlintas di pikiran Emilia. "Hm ... Ri,"
"Apa?"
"Gue pengen pasang tatto burung elang di leher, kira-kira gimana?"
Dario tak langsung menjawab, Emilia mengernyit dan melihat ponselnya. "Halo?"
"Ngapain pasang tatto? Biar apa?"
"Biar lo marah," balasnya. Dario menggeram. "Lo pasang tatto, gue juga pasang tatto yang dapet dari permen karet. Gambar naga!"
Emilia malah tertawa mendengarnya. "Sok atuh, silahkeun. I don't even care, dude."
"Kamu tuh ya!" Dario menggeram. "Bandel banget, heran aku!"
"Bodo amat!"
Tut-
Dengan sepihak, Emilia mematikan sambungan teleponnya.
***
Memakai celana pendek di atas lutut, kaos warna abu-abu pendek yang ia gulung dua lipat lagi, serta rambut di cepol asal, Emilia berjalan menuruni tangga rumahnya dengan bersiul.
"Abang!" ia berlari menyusul Emilio yang sudah berlalu menuju luar rumah. Emilio dengan malas menengok dan menatap adiknya yang kini cengengesan.
"Bang, jangan nyamain diri kayak Abang Rano, sih. Kalian tuh bukan keturunan patung arca, tau!"
Tak menjawab, Emilio kembali melanjutkan langkahnya untuk mengambil sepedanya yang ia letakkan di pelataran rumah dimana ada empat sepeda lain yang sama persis lengkap dengan besi penyangga yang sengaja untuk memakirkan sepeda.
Marchel sengaja membelinya karena mereka suka bersantai sore dengan sepeda.
"Mau kemana, Bang?"
"Kabur."
Emilia mendengkus, lantas ia menyusul Emilio yang sudah melajukan sepedanya dan mengajak satpam rumahnya mengobrol sebentar. Samar ia mendengar kembarannya itu pamit pada satpam yang di balas anggukan oleh lelaki tua itu sambil tersenyum ramah.
"Eh, neng cantik," sapa satpam itu. Emilia tersenyum tipis dan mengangguk, melajukan sepedannya menyusul Emilio.
Saat sepeda mereka sudah sejajar, Emilia bersuara, "Bang, gue gabut."
Emilio tak menjawab, matanya berpendar melihat sekeliling komplek perumahannya. Tak jarang ada ibu-ibu yang sedang menyiram tanaman menyapa mereka yang hanya di balas anggukan serta senyum tipis.
Tepat di area rumah-rumah kosong yang memang belum di huni, mereka mendengar suara permintaan tolong. Emilia dan Emilio langsung melajukan sepedanya dengan cepat dan terlihat ada seorang lelaki yang mencoba merampas tas wanita berpakaian rapih.
Emilia menatap santai. "Bantu gak, Bang?"
Emilio mengangkat bahunya, "Terserah." lalu melajukan sepedanya kembali dengan santai.
Emilia mendengkus, perampok itu sudah berhasil membawa lari tas wanita yang kini berteriak histeris sambil menangis. Tak sengaja matanya menangkap Emilia yang masih diam di atas sepedanya. Perempuan itu berlari ke arah Emilia. "Nak, tolong tas saya. Di sana ada beberapa dokumen penting, Nak. Tolong saya," lirihnya.
Emilia menggeram dan mengangguk singkat. Ia menatap lurus ke arah perampok yang masih berlari itu. Dengan cepat ia mengayuh sepedanya dan saat sudah sejajar dengan perampok itu ia bersidekap sambil terus mengayuh sepedanya. Tanpa kedua tangan.
"Kenapa lari?"
Perampok itu tersentak dan napasnya pendek-pendek. Emilia tersenyum miring, "Lagi jamannya ya, lelaki pake tas wanita?"
Perampok itu menatapnya sinis. "Bukan urusan lo!"
"Jelas urusan gue. Lo operasi di bagian gue. Gue gak mau komplek gue di cap gak aman sama satu sampah kayak elo!"
Perampok itu berhenti dengan napas terengah. Emilia lantas memakirkan sepedanya di depan perampok itu. "Balikin."
"Gue gak mau!" ia bersikeras.
Emilia mengangkat alis. "IGD kayaknya masih muat buat nampung satu sampah kayak elo?"
"Gak usah sok iya lo, anak kemaren sore aja belagu!"
"Terus?" kedua tangannya bertumpu pada sepeda di belakangnya. "Lo anak kemaren pagi?"
"Halah, bacot lo!"
Perampok itu mencoba memukul perut Emilia tapi langsung di tahan oleh gadis itu, ia memelintir tangan sang perampok dan berbisik di samping wajahnya. "Lo bener gak bisa di alusin, ya?"
"Bangsat!" desisnya.
Emilia geram langsung menekan tangan perampok itu dan menendang bokongnya dengan kencang. Tas warna peach yang menjadi objek curian pun jatuh, sang perampok tak langsung memerdulikannya. Ini masalah harga diri.
"Siapa lo? Anak mana?"
"Lo gak perlu tau, anjing. Banci banget lo ngerampok di tempat sepi, perempuan lagi. Bajingan!"
"Urusanya sama lo apa? Yang gue rampok bukan lo!"
"Jelas masalah!" Emilia maju mendekat. "Dia minta tolong ke gue, dan sesama manusia harus saling menolong, bukan?" ia tersenyum miring.
Tak membalas perkataan Emilia. Perampok itu maju ingin memukul lagi wajahnya, Emilia mengelak ke sebelah kanan dan menendang kaki kiri sang perampok. Ia mengerang dan itu di manfaatkan Emilia untuk meraih kerah bajunya dan mencengkramnya erat.
"Lo boleh operasi, tapi jangan ngusik daerah gue, bangsat!"
Kini, perampok itu mengangguk dengan gemetar. Emilia melirik ke arah depan dan kembali berbisik, "Mau cabut ke rumah atau penjara?"
"Ru-rumah, i-iya rumah!" jawabnya tergesa.
Emilia menendang bokongnya lagi. "Lari pake kekuatan seribu bulan. Mereka belum liat elo! Cepet anjing!"
Perampok itu lari dengan tergesa sambil sedikit tertatih. Emilia terkekeh melihat itu, ia meraih tas wanita tadi dan menyampirkannya di sepedanya. Ia bersidekap melihat perempuan itu datang bersama beberapa warga.
"Goblok banget, mau ngerampok kagak ada modal. Seenggaknya pake motor kek, duh, dasar micin!" lirihnya.
Wanita itu tiba dengan napas terengah, raut paniknya tidak bisa di sembunyikan. Tapi saat melihat tasnya ada di stang sepeda Emilia, wajahnya langsung menampilkan kelegaan.
"Yaampun!" ia mengusap dada. "Makasih banget, Nak. Saya hampir pingsan tadi."
Emilia mengangguk dan menyerahkan tas kepada wanita itu. Para warga yang tadi datang bersama wanita itu perlahan pergi meninggalkan mereka berdua.
"Lain kali hati-hati, Bu!" Emilia berbicara seperti orang-orang pada umumnya. Wanita itu mengangguk, "Kamu tinggal di daerah sini?"
Emilia mengangguk. "Di blok A-2," jawabnya.
Wanita itu tersenyum. Ia merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa uang berwarna merah kepada Emilia yang langsung di tolak dengan halus olehnya. Padahal dalam hati menggerutu.
Padahal kan bisa buat beli camilan, sekalian keluar rumah gitu.
"Kagak usah, Bu. Uang di kasih Papap kemaren masih ada kembaliannya."
Wanita itu tertawa dan memaksa Emilia menerima uang itu dengan langsung menyelipkannya di tangan kanan Emilia. "Buat jajan kamu, beli cokelat sana."
Tak berkata apapun lagi, wanita itu berjalan setelah memberi sebuah senyuman tulus pada Emilia. Emilia melihat uang yang di berikan, "Rezeki gak boleh di tolak, kan?"
Dengan riang gadis itu kembali mengayuh sepedanya. Di dalam otaknya sudah terencana beberapa urusan, mulai dari mampir ke minimarket depan komplek dan membeli banyak camilan sampai menonton film dengan mengajak sepupunya. Salma.
Ngomong-ngomong. Emilia sedikit rindu pada sepupunya yang aneh itu.
***