Almiera Shofia Prameswary
Hari ini aku akan memberikan yang terbaik, aku ingin membuktikan bahwa aku mampu dan layak menjadi pendampingnya serta pantas untuk dipanggil 'Bunda'.
Setelah selesai membeli semua bahan masakan, aku memacu kendaraan dengan kecepatan sedikit berbeda dari biasanya, tak sabar ingin menunjukan apa yang ku bisa sebagai seorang wanita. Tiba di pintu gerbang komplek aku mendapati mobil Ana telah terparkir tepat di depan rumahnya dan pemiliknya tengah duduk memangku Syafina.
"Sabar, hanya tinggal selangkah lagi."
Aku menarik nafas berusaha tenang agar bisa mengendalikan emosi dari rasa cemburu, aku tak mau semunya berantakan hanya karena aku tak bisa mengontrol emosi.
Aku keluar dari mobil dengan penuh percaya diri, aku yakin kali ini takkan bisa memberinya ruang untuk mendekatinya lagi.
"Tante."
Melihat kedatanganku, Syafina terlihat meronta dan memaksa segera turun dari pangkuannya lalu dengan kaki kecilnya ia berlari membawa serta kebahagiaannya padaku. Ku bentangkan kedua tangan untuk menyambutnya, lalu aku menangkap dan mengangkatnya sebelum akhirnya ia berada dalam gendongan.
"Ini baru langkah pertama," gumamku dalam hati seraya sedikit melirik ke arah wanita yang nampak terkejut di sana.
Angga yang telah berdiri diambang pintu hanya menatap kami dengan tersenyum, senyum yang selalu membuatku luluh, atau mungkin bukan aku saja yang merasa begitu. Aku menghampiri mereka dengan menggendong Syafina dan setelah jarak antara aku dengannya sudah cukup dekat.
Cup.
Tanpa ragu sedikitpun aku memberikan kecupan itu padanya setelah sebelumnya bertegur sapa ramah pada Ana. Sejenak Angga terdiam, ku rasa ia takkan menyangka bahwa aku akan melakukan hal itu di depan Ana, tapi sepertinya ia tak masalah dengan apa yang ku lakukan walau mungkin sedikit keterlaluan, tapi biarlah itu semua menjadi pertanda untuknya bahwa 'hot daddy' kini telah menjadi milikku. Mungkin hanya butuh selangkah lagi saja untuk mempermanenkan statusnya.
Aku bergegas masuk setelah sebelumnya meminta tolong pada Angga untuk mengambil barang belanjaan di dalam mobil. Hari yang telah beranjak sore membuatku harus cepat melakukannya, membuat menu masakan yang menjadi favorit mereka berdua, beruntungnya aku bisa mengobrol dengan Syafina sehingga aku bisa tahu tentang apa yang ia sukai atau tidak.
Setelah selesai mengambil barang belanjaan dan menaruhnya di atas meja, Angga segera kembali ke depan untuk menemui Ana, tapi tak lama setelah itu terdengar suara mobil yang sepertinya pergi meninggalkan komplek perumahan. Aku berharap yang pergi itu adalah Ana dan ternyata harapanku menjadi kenyataan setelah melihat Angga telah kembali untuk menemaniku.
Angga membantuku memasak, statusnya sebagai 'hot daddy' pasti membuatnya mengerti bahwa pekerjaan rumah itu tak semudah seperti apa yang terlihat.
Selesai memasak dan menyiapkan hidangan di atas meja, aku dan Syafina bersiap di balik meja makan, hanya tinggal menunggu Angga kembali dari tugasnya menyalakan lampu dirumahku, ia pergi sudah sedari tadi namun hingga saat ini belum juga kembali, sesuatu yang menurutku terlalu lama hanya untuk sekedar menyalakan lampu saja. Setelah Angga kembali aku baru mengerti alasan kenapa ia cukup lama berada di sana. Melihat foto keluarga menjadi alasannya, foto keluarga yang sejak dua tahun lalu terpajang di salah satu dinding ruang tamu. Ukurannya yang cukup besar serta foto keluarga yang tampak hangat sepertinya menarik perhatiannya untuk berlama-lama berada di sana, atau mungkin ia menatap wajah muda ku dulu? Ah mungkin saja.
Sekilas teringat kembali tentang hubunganku dengan Angga yang sebelumnya sempat kami bicarakan, lebih tepatnya aku mengutarakan niatku untuk segera menjadi pendaping hidupnya yang sah. Terkesan terburu-buru memang tapi usiaku yang telah matang sebagai seorang wanita memaksaku harus segera menentukan sikap demi masa depanku sendiri. Aku memang belum terlalu mengenal Angga serta masa lalunya, tapi hatiku mengatakan kalau ia adalah orang yang baik. Cerita yang ku dengar dari orang tua mendiang Viona pun secara tak langsung memberiku gambaran tentang bagaimana hubungan pernikahannya dulu dengan ibu kandung dari Syafina itu, kemudian kehidupan sehari-harinya bersama putri kecilnya selalu memperlihatkan hubungan penuh kasih sayang, berbekal semua itu aku berani memantapkan pilihan padanya.
Setelah selesai makan malam yang begitu menyenangkan itu, Angga melarangku untuk sekedar mencuci piring serta perlengkapan dapur yang kotor karena acara masak tadi, perhatian dari hal sederhana itu membuatku tersanjung, aku tak menyangka ternyata ia memperhatikanku.
Kemudian kami melanjutkan minum teh seraya menemani Syafina yang asik dengan hobinya. Istilah buah jatuh tak jauh dari pohonnya sepertinya berlaku untuknya. Gadis kecil itu mewarisi kecantikan dari mendiang ibunya serta memiliki jiwa seni yang mengalir dari sang ayah, mungkin suatu saat nanti aku akan merasa sangat bangga bisa merawat dan mendidiknya sampai ia bisa menjadi wanita yang sukses serta sempurna, dan tentunya yang ia panggil 'Bunda'.
Sambil menikmati teh hangat yang ia buatkan untukku, aku mulai membicarakan hal yang serius tentang apa yang telah kami bicarakan sebelumnya, berat memang memikirkan solusi masalah sepenting itu secara cepat, tapi usia ku dengannya sudah tak pantas lagi berhubungan hanya sebatas pacaran. Aku lega mendengar jawaban darinya, kali ini ia berani mengambil sikap, tak seperti sebelumnya yang terkesan selalu bersikap pasrah.
*****
Sesuai dengan apa yang ku rencanakan ketika acara makan malam bersama seminggu sebelumnya, bahwa hari ini aku pergi menemui kedua orang tuaku untuk membicarakan hubunganku dengan Angga. Jantungku berdebar tak karuan, aku khawatir semua berjalan tak seperti yang ku inginkan.
Sampai di kediaman papa dan mama, aku tak langsung keluar dari mobil, selama beberapa saat aku berusaha mempersiapkan mental agar apapun yang terjadi nanti takkan membuatku jatuh, semua keputusan papa dan mama akan aku ikuti, kecuali keputusan itu bukan yang terbaik untukku, setidaknya mungkin aku berhak untuk bernegosiasi demi memutuskan apa yang terbaik untuk masa depan.
Ku ketuk pintu rumah dengan perlahan agar mengurangi rasa gugupku yang belum siap sepenuhnya menghadapi pembicaraan nanti. Papa dan mama memang bukan orang yang keras, mereka mau dan bisa mendengarkan pendapat dari anak-anaknya tapi tetap saja rasa hormatku pada orang tua bukan berarti bisa bebas berbicara, sopan dan santun membatasi itu semua.
"Eh, anak kesayangan mama, tumben kamu ke sini gak ngabarin dulu?"
Mama begitu sumringah setelah membuka pintu dan ternyata yang datang adalah putri bungsunya. Aku dipeluk dan dicium serta begitu dimanja oleh mama karena memang ia begitu menyayangi anak-anaknya.
"Iya Ma, maaf gak sempet ngabarin."
"Masuk sayang, Papa ada di belakang, kakakmu lagi pergi sama suaminya."
Seakan tahu apa yang menjadi tujuanku, Mama langsung memberitahukan keberadaan papa.
Aku segera menemuinya di belakang, berbeda dengan cara Mama memperlakukanku, ia begitu bijaksana serta memperlakukanku layaknya orang dewasa.
Papa mengajakku untuk berbicara serius ketika sebelumnya hanya sekedar mengobrol santai di belakang rumah. Aku dan kedua orang tuaku duduk berhadapan pada sofa yang berada di ruang tamu, dalam situasi seperti itu seketika jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Ada yang harus kami bicarakan, mungkin kamu sudah bisa mengira tentang apa yang akan Papa ucapkan, tapi Papa tekankan kalau ini semua demi kebaikan kamu. Usia kamu yang sekarang sudah lebih dari siap untuk berumah tangga, tapi sampai detik ini kamu belum pernah sekalipun memperkenalkan laki-laki atau calon yang sudah siap menjadi pendampingmu, oleh karena itu Papa memutuskan akan menjodohkan kamu dengan laki-laki yang telah Papa dan Mama pilih, tapi itu pun kalau kamu bisa menerimanya, kalau gak bisa berarti dalam waktu dekat kamu harus bisa bawa calon pilihan kamu sendiri."
Sudah ku duga akan seperti ini, pantas saja ketika aku berbicara dengan Mama melalui telefon beberapa bulan bahkan sampai beberapa hari yang lalu, Mama selalu saja menanyakan tentang apakah aku sudah memiliki pasangan atau belum, rupanya mereka telah merencanakan sesuatu.
"Pa, Ma, aku ke sini sebenernya pengen ngasih tahu Papa sama Mama kalau aku udah punya pilihan, aku sama dia sebenernya udah kenal lumayan lama, aku juga udah lumayan tahu tentang latar belakang dia dari orang yang deket sama dia, dan aku juga sering perhatiin kesehariannya, dan kesimpulannya aku rasa dia orang baik, tapi aku gak tahu Papa sama Mama bakal bisa menerima dia apa adanya apa enggak, soalnya mungkin kalau materi masuk dalam kriteria, dia jelas gak masuk dalam kategori itu."
Akhirnya, dengan tak berani sedikitpun menatap wajah mereka berdua, aku menceritakan yang menjadi tujuanku datang menemui mereka, hanya dengan cara itulah aku mampu menceritakan semuanya, namun mereka terdiam mendengar jawabanku tadi. Terdengar Papa menarik nafas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan sebelum memberikan jawaban.
"Ya sudah, bawa calonmu kemari, Papa akan menilainya sendiri, kalau dia memang baik untukmu, Papa restui, tapi kalau Papa merasa dia bukan orang yang tepat, kamu harus menikah dengan orang yang Papa pilih."
Keputusan telah dibuat, aku tak bisa membantah lagi apa yang menjadi kemauan mereka, satu-satunya harapanku saat ini hanyalah kalau ia mampu meyakinkan ke dua orang tuaku. Satu hal yang tak bisa ku ceritakan pada mereka hanyalah status Angga yang sebelumnya telah memiliki istri juga seorang anak, aku tak siap menghadapi keputusan mereka saat ini seandainya mereka mempertimbangkan hal itu untuk saat ini, biarlah Angga sendiri yang akan menceritakannya nanti agar mereka bisa melihat sendiri tekad atau keseriusan Angga untuk mempersuntingku.
Aku pulang dari kediaman orang tuaku dengan membawa sebuah harapan dan rasa takut, takut harapan tak sesuai kenyataan. Sampai di rumah waktu telah larut, aku tak segera turun dari mobil dan memilih untuk sejenak merebahkan diri di balik kemudi hingga tanpa ku sadari seseorang telah berdiri di samping mobil, ia mengetuk pelan bagian kaca pintu mobil, membuatku membuka mata, aku tersenyum melihatnya, senang rasanya ia menungguku kembali.
Perlahan aku keluar dari mobil, lalu tanpa bisa ku tahan lagi dengan semua yang sedang ku rasakan saat ini, aku memeluknya. Angga membalas pelukanku tanpa satu katapun terucap, ia memahami saat ini kalau aku sedang tak ingin bicara. Setelah merasa sanggup untuk bisa kembali berdiri, Angga mengantarku hingga masuk ke dalam rumah untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja, setelah itu ia beranjak bermaksud meninggalkaku agar aku bisa segera beristirahat namun aku mencegahnya. Ku genggam salah satu tangannnya, lalu kemudian...
"Mas, tunggu, dda yang pengen aku omongin."