Baixar aplicativo
26.66% Am I Normal? / Chapter 12: Sebuah Kebenaran

Capítulo 12: Sebuah Kebenaran

Haru baru saja keluar dari perpustakan yang berada di sekolahnya. Tadi, ia hanya menikmati waktu di perpustakaan seorang diri tanpa Daiki menemani yang katanya begitu sibuk dengan urusan di clubnya.

Haru memainkan ponselnya ketika berada di perjalanan, menuju ke belakang sekolah untuk bersantai seperti biasa saat ia tidak bergabung di lapangan. Ia saling berbalas pesan dengan Daiki, tetapi ia menyudahinya sebab Daiki begitu lama memberikan sebuah balasan.

Setibanya di tempat yang iatuju, ia segera merebahkan tubuhnya di rerumputan yang tumbuh di bawah pohon, dan menjadikan lengannya sebagai bantalan untuk kepalanya sembari mendengarkan musik di earphonenya.

Ia melihat ponselnya sekali lagi. Menunggu balasan pesan dari Daiki, tetapi masih saja belum ia terima. Ya, sudah tiga hari ia tidak bertemu dengan Daiki dan hanya berkomunikasi melalui ponsel. Jadi, wajar saja jika ia begitu ingin menemuinya.

Ia memejamkan kedua matanya. Memikirkan hal-hal yang sudah sejak lama tidak ia pikirkan.

Bagamana mereka nantinya sehabis kelulusan? Apakah akan tetap seperti sekarang ini? Terus ia pikirkan. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin frustasi juga rasanya.

Bayangan untuk kedepannya tidak tergambarkan di dalam pikirannya sama sekali. Akan tetapi, ia ingin terus bersamanya di masa yang akan datang jika berdasar atas keinginannya saat ini. Sebuah masalah adalah hal yang biasa, dan jika terus bersama, sebuah masalah bukanlah apa-apa. Pikirnya.

Ponselnya berdering di tengah pemikirannya saat ini, dan membuatnya segera membuka kedua matanya untuk melihat siapa yang mengganggu ketika ia memikirkan hal serius ini. Hah! Daiki!

"Hei! Kapan kau akan selesai dengan urusanmu?" Tanya Haru di telepon dengan posisi yang sudah terbangun.

"Tunggu aku di tempat yang sama saat pulang nanti..." Daiki mengabaikan pertanyaan yang diajukan oleh Haru.

"Huh...ya, baiklah" Balas Haru dengan Daiki yang segera mematikan telepon.

Haru pun kembali pada posisi sebelumnya. Merebahkan tubuhnya; membantali lengannya; dan juga kembali memikirkan hal-hal yang baru saja ia pikirkan.

Pemikiran ini muncul begitu saja. Datang seenaknya dan menghilang begitu saja. Bukanlah sesuatu yang bisa ia kendalikan seperti kedua tangannya.

Walau seberapa sering ia menggerutu kepada diri sendiri untuk tidak memikirkannya, perasaan dan pemikirannya adalah dua hal yang saling bertolak belakang.

Terlihat dari kejauhan, ada seseorang yang sedang menuju ke arahnya. Shino, yang perlahan mendekatinya, dan mengejutkan Haru ketika Shino menyentuh lengannya dengan tiba-tiba. Ia pun segera bangun.

"Mana Daiki?" Tanya Shino dengan mata yang berbinar.

"Hah?!…Kau kan teman seclubnya?" Haru sedikit kesal mendengar pertanyaan yang seperti mengejeknya itu.

"Jika hanya itu yang ingin kau tanyakan, sebaiknya kau pergi saja" Lanjutnya, lalu kembali berbaring.

"Hahaha…apa-apaan itu?…" Kata Shino sambil terus menertawainya.

"Kau pasti merasa kesal karena belakangan ini Daiki mengabaikanmu, kan?" Lanjutnya dengan nyengir.

"Diamlah! Bodoh!" Ketus Haru.

Shino tampak begitu menertawakan sikap kekesalan yang ditunjukkan oleh Haru. Namun, Haru tampak tak begitu mempedulikannya dengan menutupi wajahnya menggunakan lengan yang lainnya.

Shino terus saja menanyakan hal-hal mengenai Daiki saat ini, sedang Haru hanya menjawab apa yang perlu diberi jawaban. Tidak perlu terbuka untuk hal-hal pribadi. Pikirnya. Lagi pula, ia tahu bahwa saat ini Shino hanya ingin membuatnya kesal.

"Senpai!" Panggil Ko dari kejauhan.

Ko pun mendekat dan bergabung bersama mereka berdua. Baru saja Shino menanyakan orang yang baru saja memanggil "senpai" kepadanya, tetapi Ko langsung saja memperkenalkan diri kepada Shino, dan membuatnya menganggukkan kepala.

"Kudengar kau sudah berkencan dengan wanita itu ya, senpai?--" Tanya Ko dengan mimik wajah yang tampak puas mendengar kabar itu.

Haru begitu terkejut dan segera terbangun dari sikap bermalas-malasannya, lalu segera menutup mulut Ko saat itu juga agar tidak melanjutkan perkataannya.

Perkataan itu lantas saja membuat Shino keheranan. Terlihat jelas pada raut wajahnya saat ia menatap Haru.

Haru mengencani seorang wanita? Pertanyaan yang tergambarkan pada wajahnya saat ini.

"Hah! Aku tidak menyangka kau melakukannya! Bagaimana dengan—" Segera perkataan Shino dipotong oleh Haru, "aaargh…Shino!"

Haru menatap Shino dengan tatapan yang begitu tajam, sehingga segera menyadarkannya untuk tidak mengatakan hal yang tidak seharusnya ia katakan seenaknya saja. Menyebalkan. Melupakan sebuah kesepakatan benar-benar sesuatu yang gila.

"Eeeh?…jadi kalian sedang menyembunyikan sesuatu, ya?" Tanya Ko dan berharap mereka akan memberitahukannya.

Tentu saja mereka tidak memberitahukan hal yang sebenarnya kepada Ko. Sangat mustahil. Bahkan, dengan kompaknya, mereka berdua mengarang sebuah alur cerita yang membuat Ko begitu percaya.

Niatannya ingin bersantai untuk menunggu jam masuk, tetapi malah kedatangan Shino yang mengganggu; ditambah Ko yang ikut bergabung. Tunggu! Waktu bersantainya tidaklah begitu buruk, dan sepertinya ia harus berterima kasih kepada mereka berdua sebab meramaikan waktunya yang suntuk. Ya, walau ia berlagak seolah menggerutu.

*****

Haru menunggu Daiki di gerbang sekolahya. Tidak butuh waktu lama sebab Daiki pun tiba di gerbang dengan segera. Akhirnya, ia bisa tepat waktu hari ini. Pikirnya.

Haru menyapa Daiki setibanya di gerbang dengan wajahnya yang tampak begitu kelelahan. Namun, Daiki malah mengabaikannya dengan sikap dinginnya yang berbeda dari sebelumnya, lalu mulai berjalan mendahului Haru.

Di perjalanan, mereka tetap pada keadaan yang sama. Tidak saling berbicara. Daiki sering melakukannya, tetapi tidak baginya. Mungkin, saat ini Daiki sedang menunggunya untuk membicarakan sesuatu, tetapi asal ia tahu saja, mencari topik pembicaraan yang menarik sesulit jika diberi tugas geometri, sedang kamu tidak mengetahui rumusannya. Apakah Daiki tidak pernah memikirkan hal itu?

"Hmm...Daiki?..Aku sudah putuskan..." Kata Haru sambil terus melanjutkan langkahnya.

"Apa?" Tanya Daiki dengan nada suaranya yang datar.

Haru pun mulai berbicara; menjelaskan padanya bahwa ia tidak ingin berkencan dengan Kanna untuk kedua kalinya, dan memutuskan untuk jujur kepada wanita itu bahwa ia menyukai orang lain. Menurutnya, hal itu adalah hal yang begitu ia paksakan jika ia terus melakukannya.

Ia tidak ingin menyenangkan wanita itu dengan sesuatu yang palsu. Sesuatu yang buruk dari hal yang menyakitkan selain berterus terang. Akan lebih baik jika ia mengetahui perasaannya kepada orang lain saat ini daripada harus tersenyum dalam sebuah kepalsuan saat bersamanya. Hal itu akan lebih menyakitkan jika ia mengetahui kebenarannya.

Daiki hanya terdiam mendengar semua penjelasan dari Haru atau mungkin hanya celoteh tak bermutu baginya.

Sebenarnya, hal yang begitu menyebalkan saat berbicara dengan seorang Daiki adalah sikap yang terus mengabaikannya ketika ia membutuhkan umpan balik darinya. Padahal, sudah sejauh ini kedekatan mereka, dan tidak ada salahnya untuk saling terbuka. Apa hanya harapan belaka? Daiki tidak pernah mengerti dengan hal yang ia rasakan.

"Haru…?" Panggil Daiki dengan menghentikan langkahnya.

Haru menatap Daiki, tetapi ia kembali terdiam; bersikap seperti sebelumnya. Menyebalkan. Daiki membuat rasa ingin tahunya sudah pada batasnya.

"Temui aku di lapangan basket jam 8 malam nanti" Lanjutnya, kemudian kembali melangkah.

"Hahaha…aku tau, kau pasti ingin mengajakku bermain lagi, kan?" Tanya Haru sambil terbahak.

"Lihat saja, malam ini aku akan mengalahkanmu..." Lanjutnya dengan berlagak sombong.

Ia hanya berpura-pura mengatakan hal itu; berpura-pura menertawakan hal itu. Padahal, ia sendiri menyadari kegelisahan yang ia rasakan saat Daiki menyatakan hal yang membuatnya begitu terganggu.

Bersikap aneh membuat Haru yang saat ini sedang berada di sampingnya merasa gelisah. Ia benar-benar tidak menyukainya.

"Haru...aku duluan..." Kata Daiki dengan langkah kakinya yang dipercepat.

Haru tidak memberi balasan atas perkataannya, dan membiarkannya melakukan apa yang baru saja dikatakannya. Percuma saja menahan seorang yang keras kepala sepertinya.

Mengapa ia sering kali menimbulkan banyak pertanyaan di kepalanya? Bisakah sehari saja Daiki tidak membuatnya gelisah?

Baiklah! Pukul 8 malam nanti. Ia mencatat waktu pada ponselnya dan tidak lupa mengaktifkan pengingat waktu agar ia bisa tepat waktu. Semoga kencannya menyenangkan malam nanti. Pikirnya. Biasa, orang yang dimabuk asmara, pemikirannya sedikit gila.

*****

Hampir pukul 8 malam. Haru tiba lebih dulu pada tempat dimana mereka akan bertemu. Lapangan basket. Untuk mengisi waktu saat menunggu, ia memasukkan bola ke jaring beberapa kali; berlagak seolah ada lawan, tetapi untuk beberapa saat saja.

Saat ini sedang gerimis. Sudah hampir sejam ia menunggu Daiki, tetapi ia tak kunjung datang hingga saat ini. Entah mengapa Haru enggan menghubunginya. Tangannya begitu berat untuk mengambil ponsel yang berada pada saku celana jogger yang dikenakannya.

Ia pun menjatuhkan bolanya, lalu berbalik hendak berteduh pada tempat teduhan yang tidak jauh dari lapangan, dan hah! Daiki sudah berada di hadapannya!

"Dari mana saja kau?!" Tanya Haru dengan kesal.

"Maafkan aku" Kata Daiki, lalu menarik napas dalam-dalam.

Haru baru saja ingin mengungkap kekesalannya sebab dibuat menunggu terlalu lama, tetapi ia mengurungkan niatnya. Sepertinya, dengan Daiki meminta maaf saja sudah meluluhkan rasa kesalnya. Namun, ia tidak ingin menunjukkan kelemahan itu, dan tetap memasang mimik kekesalan pada wajahnya.

Hujan pun turun dengan derasnya. Mereka berdua segera berlari menuju tempat teduhan yang berada di sebelah lapangan. Pakaian mereka agak basah sebab hujan memang cukup deras saat itu.

Haru menyalahkan Daiki. Katanya, jika saja ia bisa datang tepat waktu, mereka tidak akan terjebak hujan seperti sekarang ini. Mengomel seakan ia tidak pernah membuat Daiki menunggu.

Daiki meminta maaf sekali lagi, dan membuat Haru merasa bahwa ada yang aneh dengan sikapnya malam ini. Biasanya, ia tidak akan pernah membiarkan dirinya diomeli seperti ini. Tampak berbeda.

Keheningan pun terjadi. Mereka sibuk pada pemikiran di kepala mereka masing-masing. Haru yang sedang memikirkan sikap Daiki yang aneh, dan Daiki pada pemikiran yang tidak diketahui oleh Haru.

"Haru...? Sebaiknya kau menerima wanita itu..." Perkataan Daiki memecah keheningan diantara mereka, dan segera membuat Haru menoleh kearahnya dengan perasaan terkejut.

Suaranya terdengar samar-samar di telinga Haru sebab hujan, tetapi kata per katanya masih cukup jelas saat ia mengatakannya.

Mengapa Daiki mengatakan hal seperti itu? Pertanyaan yang ingin ia ajukan padanya, tetapi bibirnya tidak bisa merangkai sebuah kalimat saat ini.

"Kau harus menerimanya…" Lanjutnya yang saat itu juga menatap Haru.

"Apa?! Apa kau gila?!" Kali ini rasa kesal membuat Haru berbicara.

Ia benar-benar telah dibuat kesal dengan sikap maupun perkataannya saat ini. Ia pun mengepalkan kedua tangannya, lalu meninju batang pohon yang berada di samping tempat mereka berada, dan membuatnya terluka. Perih? Tidak seberapa rasanya. Rasa kesal membuatnnya kebal terhadap rasa sakit di tangannya.

"Apa yang kau katakan?!" Lanjutnya menanyai Daiki dengan berusaha mengontrol dirinya.

Haru menegaskan padanya untuk tidak seharusnya berkata seperti itu sebab hal itu sangatlah mengganggu. Tidak perlu membahas mengenai seorang wanita atau siapapun itu karena ia sudah memutuskan untuk tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun selain dengannya.

Cukup melelahkan untuk mengatakan bahwa ia begitu mencintanya; sudah cukup untuk mengatakan hal yang sama berulang kali. Daiki sudah memahaminya, tetapi entah karena ia bodoh atau begitu naif hingga tidak ingin mengakuinya.

"...Dia begitu menyukaimu, dan kau harus menerimanya..." Tutur Daiki, lalu memalingkan pandangannya.

"Kenapa kau begitu keras kepala?!" Balas Haru yang tetap berusaha menahan emosinya.

Baru kali ini, ia merasakan sebuah amarah yang cukup luar biasa. Ia tidak pernah menyangka jika yang membuatnya seperti ini adalah Daiki. Orang yang begitu penting dalam hidupnya.

Ia benar-benar serasa ingin meluapkan emosi di dalam dirinya. Serasa ingin berteriak; Memaki; dan membentak seseorang yang menimbulkan perasaan ini. Namun, rasa cintanya mampu menahan hal buruk itu terjadi hingga ia tak sampai hati.

"Daiki…apa hubungan kita selama ini?...Sebaiknya, kau jujur padaku dan dirimu sendiri" Haru menghela napas untuk menenangkan dirinya.

Ia sudah lama ingin menanyakan hal itu, tetapi kecemasan terhadap suatu hal buruk, membuatnya enggan untuk mengatakannya walau hal itu mengganggunya.

Daiki hanya terdiam setelah mendengar pertanyaan yang ia ajukan sembari menundukkan kepalanya. Tangannya dikepal sebegitu kuat seolah ada yang ingin meledak dari dalam dirinya. Namun, sikapnya malah membuat Haru semakin kesal, dan memaksanya untuk mengungkap suatu kebenaran yang membuat Daiki akhirnya berbicara.

"Teman! Tidak lebih!" Tegas Daiki saat itu.

"Itulah kebenarannya!…Singkirkan pemikiran bodohmu itu!" Lanjutnya dengan wajahnya yang semakin memerah.

"Berhentilah berpikir kalau aku juga menyukaimu!" Tegasnya kembali.

Haru sedikit tertawa mendengar pernyataan itu. Kebenaran yang dianggapnya palsu. Daiki membual mengenai sebuah kebenaran. Pikirnya. Namun, sekali lagi Daiki menegaskan bahwa ia hanya mengganggap Haru sebagai seorang teman saja.

Mendengar hal itu, membuat Haru semakin menggila. Ia segera meraih wajah Daiki lalu menciumnya hingga membuat Daiki terkejut, lalu segera mendorongnya, tetapi ia kembali melakukannya. Perlakuan itu tidak akan menghentikan apa yang selama ini ingin ia lakukan.

"Pembohong! Kau bohong! Aku bisa merasakannya!" Kata Haru. Kali ini, ia membentaknya.

"Aku berkata jujur!" Tegas Daiki sambil menyentuh bibir bawahnya yang sedikit sakit.

Daiki berusaha keras untuk meyakinkannya mengenai sebuah kebenaran yang ia maksud. Namun, Haru belum bisa menerima. Hatinya tidak bisa menerima. Ada perasaan di hatinya mengatakan bahwa perkataan itu hanyalah sebuah kebohongan belaka.

"Jadi…waktu itu…kenapa?…kenapa kau menci—" Perkataan Haru segera dipotong oleh Daiki.

"Haru!...Dengarkan baik-baik! Karena aku hanya mengatakan hal ini sekali!" Tegas Daiki yang menatap Haru dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Aku…aku hanya kasihan padamu...hanya itu alasanku ingin bersamamu..." Kali ini ia melembutkan suaranya.

"Haru...aku normal..." Lanjutnya.

Hah! Seketika itu juga, rasa sakit menguasai dirinya; mengalir bersama darahnya seakan menusuk-nusuk tiap syaraf yang dilalui rasa sakit itu, hingga memenuhi rongga dadanya; meretakkan rusuknya. Sakit sekali! Hal yang paling menyakitkan!

"Persetan dengan semua itu! Persetan denganmu!" Perkataan itu keluar begitu saja dari mulut Haru sembari menunjuk-nunjuk wajahnya.

Haru tidak berniat untuk melakukan apa-apa, tetapi kakinya sudah di luar kendalinya untuk berlari meninggalkan Daiki, tanpa mempedulikan hujan yang entah akan membuatnya sakit atau bahkan mati. Ia tidak peduli dengan diri sendiri.

Terdengar dari kejauhan, suara Daiki memanggilnya, dan menyuruhnya untuk berhenti. Ia tahu bahwa saat ini Daiki sedang mengejarnya. Akan tetapi, ia sama sekali tidak peduli, dan terus saja berlari.

Air matanya tersamarkan oleh guyuran hujan. Sangat menyebalkan menangisi seseorang yang berpura-pura padanya selama ini. Ia merapatkan rahangnya, dan mencoba untuk tidak menangisi hal ini, tetapi sudah di luar kendalinya.

"Hanya kasihan...aku normal.... Apa maksudnya mengatakan 'aku normal'?", ia pikir akan bisa menerima segala hal yang didengarnya setelah ia menanyakan suatu kepastian. Namun, jauh dari dugaannya. Begitu mudah memikirkannya daripada melakukannya. Perkataan yang begitu menyakiti perasaannya saat ini.

Haru berhenti pada suatu jembatan, lalu mengangkat wajahnya, dan membiarkannya terkena tiap tetes hujan yang begitu deras malam ini. Ia memejamkan kedua matanya, dan berusaha untuk tersenyum pada semua hal yang menyakitkan ini, tetapi sekali lagi serasa menyakiti diri sendiri.

Tiba-tiba saja Daiki menyambar tangannya, lalu menariknya menuju ke sebuah tempat perhentian bus untuk berteduh.

"Kau bodoh! Kenapa kau berhenti di tengah hujan seperti itu?!" Tanya Daiki dengan memarahinya.

Haru tersenyum mendengarnya, lalu menatap Daiki yang begitu perhatian padanya. Kepura-puraan. Pikirnya.

"Dan kalau pun aku mati, itu juga bukan urusanmu, kan?" Tanya Haru dengan tersenyum; berusaha menutupi kesedihannya.

Perkataan itu membuat Daiki semakin kesal, dan langsung memukul wajahnya. Tentunya, Haru juga dibuat kesal dengan perlakuan seperti itu, dan berkata untuk tidak mempedulikannya mulai detik ini.

"Tolong!...Jangan katakan itu…" Kata Daiki, lalu mendundukkan kepalanya sambil berusaha untuk tidak menangis.

"Hei…Daiki…? Apa aku normal?" Tanya Haru yang pada saat itu sudah mampu mengendalikan dirinya sambil berusaha untuk tersenyum.

"Jawab…" Lanjutnya dengan kedua tangannya yang mengangkat wajah Daiki agar ia bisa memandang wajah yang sudah hampir menangis itu.

Daiki segera memeluk tubuhnya tanpa memberi jawaban. Haru bisa mendengar rintihannya saat ini walau ia berusaha menyembunyikan suaranya. Namun, bukan hal seperti ini yang ia inginkan, melainkan sebuah jawaban dari pertanyaannya. Apakah aku normal?

Haru mendorongnya. Tidak diberi jawaban bukanlah suatu masalah. Bukan juga sesuatu yang penting. Daiki tidak perlu berpura-pura lagi untuk kedepannya sebab ia juga merasa cukup untuk meminta sebuah kebenaran.

Bagaimana untuk hari esok? Bagaimana untuk hari-hari berikutnya? Sepertinya, ia harus belajar untuk kembali pada kehidupan lamanya.

*****


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C12
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login