Jalanan cukup ramai dengan kendaraan yang saling melaju menuju tujuan, maklum hari Minggu jadi banyak yg bergegas. Harsya menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang sembari mendengarkan alunan musik lembut dari pemutar musik. Aku bercerita tentang hal yang aku alami selama menjalankan praktek di rumah sakit dan di kost dan banyak hal lainnya yang ditanggapi Harsya dengan penuh perhatian.
Harsya juga bercerita banyak hal dan seperti biasa selalu membuatku tertawa dengan cerita-ceritanya. Perjalanan pulang hari ini begitu menyenangkan, bersama Harsya, sejenak aku bisa tidak berfikir tentang Ali.
Tak terasa kami telah sampai di tempat kosku. Harsya segera membantu membawa barang-barangku masuk ke dalam rumah. Tia segera menyambut kehadiran kami dengan senyum khasnya. Kami mengobrol sebentar sebelum Harsya pamit.
***
Hari masih pagi, kami sudah berkumpul di kampus, bis yang hendak kami tumpangi sudah standby di pelataran kampus. Hari ini kami akan berangkat ke desa Karanganom dalam rangka kegiatan PKMD atau pembangunan kesehatan masyarakat desa. Yaitu suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di desa dengan berbagai kegiatan. Kegiatan ini seperti KKN atau kuliah kerja nyata tapi khusus di bidang kesehatan.
Aku dan beberapa temanku sudah mulai masuk ke bis, masih kurang beberapa orang yang belum naik sebelum bis berangkat. Aku duduk bersebelahan dengan Tia tapi dia kemudian pamit untuk duduk bersama Dicky di kursi belakang sehingga kursi di sebelahku kosong.
Sepeninggal Tia, aku memasang headset di telingaku untuk mendengarkan musik, ku arahkan mataku ke luar jendela, mencari keberadaan Ali yang belum ada di dalam bis. Aku sendiri cukup kaget dengan kelakuanku, aku tak tahu kenapa aku meski keberadaan cowok yang selama ini selalu bersitegang dengamku.
Beberapa waktu kemudian aku melihat Ali menaiki bis, dia adalah orang terakhir yang menaiki kendaraan selain kru bis yang kami tumpangi. Ali mengedarkan senyumnya pada semua orang yang ada di dalam bis ini. Dia berjalan sembari membalas sapaan teman-teman kami hingga dia berhenti dua baris di depanku.
Sekilas aku melihat Ali masih berdiri di sebelah kursi yang diduduki Airin, Kursi di sebelah Airin tampak kosong, mungkin Ali akan duduk di sana. Airin tampak tersenyum menatap Ali sementara cowok itu tampak sibuk menelpon.
Aku segera mengalihkan tatapanku ke luar jendela, entah mengapa aku merasa hatiku sedikit nyeri melihat kedekatan Ali dan Airin. Aku mencoba berkonsentrasi pada lagu yang kudengar dan bersenandung pelan mengikutinya, berusaha melupakan kesedihan yang tiba-tiba muncul tanpa kusadari.
Setelah semua mahasiswa naik ke dalam bis, Pak Andi memberi pengarahan dan memimpin doa sebelum berangkat. Setelah berdoa, sopir segera menjalankan mobil meninggalkan pelataran kampus yang masih mulai ramai dengan kedatangan mahasiswa.
Aku masih menatap ke luar jendela saat merasa ada orang yang berdiri di sebelah kursiku. sepertinya dia sedang meletakkan sesuatu ke dalam bagasi di atasku. Aku mendongakkan wajahku untuk melihat wajah dari pemilik tubuh tegap yang berdiri di sebelahku itu. Jantungku langsung berdegup kencang saat menyadari siapa dia.
Setelah meletakkan bawaannya di bagasi di atasku, Ali dengan santai segera duduk di sebelahku tanpa mengatakan apapun atau tersenyum padaku. Untuk beberapa waktu kami saling menatap tanpa ekspresi. Aku segera mengalihkan pandanganku keluar jendela, menatap pemandangan di sepanjang sisi jalan. Tak ada percakapan di antara kami, aku tenggelam dalam lagu-lagu dari headsetku.
Hari ini Ali tak banyak bicara seperti biasanya meski sesekali dia ikut berceloteh menimpali candaan dari para penumpang yang lain. Suasana di dalam bis yang riuh rendah dengan berbagai gurauan yang membuat penumpang tertawa. Sebagian lagi menyanyi diiringi petikan gitar Arif dengan percaya diri walau ada yang bersuara fals.
Bis melaju tanpa hambatan yang berarti, suasana ceria itu terus berlangsung sepanjang perjalanan, Kalau saja tak ada ada Ali di sampingku mungkin aku juga akan bergabung bersama mereka dan ikut bernyanyi atau tertawa terbahak mendengar lelucon atau pengalaman kami yang lucu.
Saat bis mulai keluar dari jalan utama dan memasuki jalan kampung yang berkelok-kelok aku mulai merasa pusing, wajahku terlihat pucat. Aku memegang kepalaku yang berdenyut, aku berusaha menahan nyeri di perutku. Ini pasti gegara aku belum sempat makan tadi pagi.
"Kenapa, Zie?" tanya Ali lembut.
Aku hanya menggeleng kemudian menutup mataku dan mencoba berkonsentrasi pada musik lembut di telingaku. Sebenarnya aku cukup terkejut mendengar nada suaranya yang tak sedingin biasanya.
Ali berdiri meninggalkan kursinya membuatku sedikit lega meski di sisi lain hatiku aku merasa kecewa. Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan, aku sungguh merasa bingung dengan perasaanku. Aku merasa mulai berkeringat dingin, aku berusaha berdiri untuk meraih botol minumanku yang ada di dalam tas tapi aku aku justru merasa kepalaku makin pusing.
Aku tak tahu kapan Ali kembali ke posisinya, tiba-tiba saja dia sudah duduk di sampingku. Ali menyentuh bahuku dengan lembut membuatku membuka mata perlahan dan menemukan Ali tersenyum sembari menyodorkan sebungkus kecil roti dan sebotol minuman juga sebuah tablet parasetamol yang ia dapat entah dari siapa.
Ali segera menyuruhku untuk mengambilnya dan segera memakannya. Aku menggeleng tapi dia tak menyerah. Ali segera membuka botol minum itu kemudian menyodorkannya ke mulutku. Mukaku langsung merah padam apalagi beberapa orang mulai memperhatikan kami dan mulai menggoda kami. Karena tak mau jadi pusat perhatian, aku segera mengambil botol minuman dari tangan Ali dan mulai menyesapnya.
"Terimakasih," kataku dengan senyum yang kupaksakan.
"Tidak masalah," jawab Ali kembali ke mode cueknya.
Setelah menghabiskan sebungkus roti dan sebotol air mineral serta meminum obat yang diberikan Ali, aku kembali memejamkan mata. Setelah beberapa waktu rasa pusingku berangsur menghilang dan aku mulai tertidur.
***
Aku tertidur sepanjang sisa perjalanan dan terbangun saat seseorang menyentuh bahuku. Aku segera membuka mata dan aku baru sadar kalau bis berhenti di depan kantor kecamatan. Aku segera menoleh ke samping dan melihat cowok di sebelahku telah berdiri, tanpa sadar aku mendongak dan menemukan senyum tipisnya yang memukau.
Wajahku memanas saat tatapan kami bertemu sesaat, aku segera melempar tatapanku keluar jendela dan melihat anak-anak yang sudah keluar dari bis . Dadaku langsung terasa sesak berdebar dan jantungku berdegup kencang. Untuk sesaat aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku masih duduk membeku di tempatku.
"Ayo, Zie!" ajak Tia sambil menenteng tas yang berisi barang-barang bawaannya saat melihatku masih bengong di atas kursi yang aku duduki.
"Oke,"jawabku setelah aku kembali pada kesadaranku , aku tak melihat Ali ada di sampingku dan tak tahu kapan cowok itu turun dari bis. Aku segera mengumpulkan barang-barangku dan berdiri.
"Kamu turun duluan, Ya, aku menyusul," kataku pada Tia.
Aku berusaha mengambil tas tentengku dari bagasi yang ada di atas tempat dudukku. Beberapa orang yang lewat karena hendak turun dari bis mendesakku yang berdiri sehingga aku agak kesulitan mengambilnya. Setelah beberapa saat akhirnya aku bisa mengambilnya, aku berjalan keluar dari bis berdesakan dengan yang lain.
Aku melihat Ali berada di kerumunan bersama yang lain, dia tampak sedang berbincang dengan Arif. Ali hanya melihatku sekilas tanpa menghentikan perbincangannya dengan salah satu teman dekatnya. Tak lama kemudian Arif melihat ke arahku, Arif mendekat ke arahku, membantuku turun dari bis dan membawakan sebagian bawaanku sementara tampak cuek
Kami di sambut oleh Camat, kepala Puskesmas dan kepala desa, perangkat dan tokoh masyarakat desa Karanganom. Kami berkumpul di aula kecamatan yang berada di sayap kiri kantor kecamatan.
Acara dipandu langsung oleh ketua program studi Diploma tiga keperawatan kemudian sambutan-sambutan dari Camat dan kepala Puskesmas dan kepala desa. setelah itu dilakukan serah terima mahasiswa kepada kepala desa sekaligus pembagian kelompok. Desa Karanganom terdiri dari tujuh dusun karena itu kami dibagi tujuh kelompok.
Setelah itu kami menaiki bis lagi menuju desa Karanganom, kami sampai di depan sebuah bangunan yang sederhana. Di sana tampak sebagian masyarakat yang terdiri dari tokoh masyarakat dan kader desa yang menunggu kedatangan kami dengan antusias. Kami memasuki bangunan sederhana yang merupakan Balai Desa Karanganom yang tak begitu luas dan duduk di sana berbaur dan mulai berbincang dengan masyarakat yang ada di sana.
Acara penyambutan ditingkat desa berlangsung dengan singkat, Kepala desa memperkenalkan perangkat desa dan para tokoh masyarakat juga kader-kadernya kepada kami setelah sebelumnya kami memperkenalkan diri dan menyampaikan program yang akan kami lakukan.
Desa ini terdiri dari tujuh dusun, kami kemudian dibagi menjadi tujuh kelompok sesuai jumlah dusun yang ada. Kami juga diperkenalkan dengan para kepala dusun, beberapa dari mereka sudah cukup tua tapi terlihat masih enerjik.
Kemudian kami dikumpulkan berdasarkan kelompok, sesuai desa masing-masing, kebetulan aku mendapat dusun yang paling luas dengan jumlah penduduk terbanyak. Kelompokku mempunyai anggota paling banyak yaitu sembilan orang yang terdiri dari enam orang perempuan dan tiga orang laki-laki termasuk Ali. Awalnya aku sempat ingin bertukar tempat saat tahu aku kelompok dengan Ali tapi tak ada yang mau karena takut ketahuan dosen.
Kami bersembilan bersama beberapa beberapa kader desa diangkut menggunakan mobil bak terbuka milik penduduk. Jalanan yang kami lewati menembus ladang jagung milik penduduk yang lumayan luas menuju dusun, Sambi, butuh waktu setengah jam sampai di dusun itu melewati jalanan yang berbatu yang menghubungkan dusun-dusun di desa Karanganom. Selain mempunyai wilayah yang luas, dusun Sambi terletak di tempat yang paling tinggi, di atas dusun itu terdapat hutan lindung yang berada di punggung Gunung.
Di atas bak mobil kami bernyanyi dan bersenda gurau sepanjang jalan. Aku duduk sembari memegang lututku, menatap panorama indah yang terbentang sepanjang perjalanan. Ali duduk di sebelahhku membuatku merasa kurang nyaman karena debaran di dadaku bertambah kencang apalagi saat tanpa sengaja setiap kali mata kami bersitatap. Aku juga merasa darahku berdesir saat tanpa sengaja tubuh kami bersentuhaan karena jalanan batu yang bergelombang atau jalanan berbelok.
Aku hanya berharap tak ada yang memperhatikan kecanggungan di antara kami, aku berharap kami segera sampai di tujuan agar aku bisa melepas perasaan yang menggayuti hati dan otakku.
Mobil berhenti di depan rumah sederhana tapi cukup luas dan asri yang berada di tengah dusun, rumah itulah yang akan kami tempati selama dua minggu di dusun ini. Rumah itu milik mak Ijah, seorang janda yang tinggal bersama seorang pembantunya, anak-anaknya berada di kota dan hanya pulang pada saat lebaran saja. Halaman rumah ini cukup luas, di kiri dan kanan rumah terdapat kebun yang memisahkan rumah ini dengan rumah-rumah yang lain.
Kami segera turun dari mobil setelah berpamitan pada beberapa kader yang masih ada di atas bak terbuka dan mengucap salam sebelum memasuki rumah. Kami disambut Mak Ijah dan pembantunya dengan ramah. Setelah berbincang beberapa saat, Mak Ijah memerintahkan Pembantunya untuk menunjukkan kamar kami.
Ada beberapa kamar di rumah ini dan kami menempati kamar yang berbeda. Ali bersama Rendi dan menempati kamar yang ada di sebelah ruang tamu. Aku, Ria dan Ani menempati kamar di sebelah kanan ruang makan sementara Atikah, Airin dan Seri berada di sisi lainnya.
Setelah menata pakaianku ke dalam lemari aku segera merebahkan diri di atas kasur yang berisi kapuk randu untuk melepaskan penat selama perjalanan. Kuedarkan pandanganku melihat kamar yang cukup rapi dan bersih. Ani dan Ria telah keluar dari kamar setelah tadi meletakkan barang-barang mereka.
"Aku curiga sama Ali dan Zie, biasanya mereka selalu berjauhan seperti dua kutub yang sama, hari ini aku lihat mereka akur, aku tadi lihat Zie tidur nyenyak banget di bahu Ali," aku hampir saja terlelap saat mendengar Seri berkata entah kepada siapa.
What? Wajahku memerah mendengar ucapan Seri, benarkah aku tidur di bahu Ali? Aku merasa sangat malu sekaligus kesal, harusnya tadi aku berpindah tempat duduk saat Ali berada di sampingku. Aku melirik Ali yang hanya tersenyum dingin menanggapi ucapan Seri.
"Wah, aku gak nyadar kalau dari tadi mereka barengan," nada suara Airin terdengar iri.
"Gak perlu iri begitu, Rin. Kamu tahu sendiri bagaimana bencinya Ali sama Zie, begitu pula sebaliknya," sahut Ani menenangkan Airin.
"Terkadang perasaan benci juga berubah jadi cinta," sahut Ria
"Aku gak bisa bayangin kalau mereka saling jatuh cinta,"entah siapa yang berkata karena aku sudah tak tahan lagi menahan kantukku.
Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka aku sudah tak mendengar lagi celotehan anak-anak. Aku segera bangun dan berniat mencuci muka.
"Masih pusing?" tanya Ali saat kami berpapasan saat aku hendak menuju ke kamar mandi.
Aku menggeleng, menatapnya. Rasanya aneh melihatnya begitu lembut dan penuh perhatian
***
Você também pode gostar
Comentário de parágrafo
O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.
Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.
Entendi