Baixar aplicativo
76.19% Istri Kecil CEO Tampan & Dingin / Chapter 64: Bab 64

Capítulo 64: Bab 64

Tuan Arjun tersenyum menyeringai. Ia sama sekali tidak takut dengan kepungan orang-orang jahat itu.

"Kamu tebak, berapa banyak korbanku nanti?" bisik tuan Arjun pada Rendi.

Rendi mengerti dengan ucapan tuan Arjun hanya bisa diam sembari tersenyum.

"Mereka semua akan tamat hari ini."

"Serang mereka!!"

Rendi dan tuan Arjun maju dengan berani. Menantang duel mereka semua dengan tangan kosong.

Bugghhhh.. Bugghhhh.. Bugghhhh.. Bugghhhh..

Hantaman demi hantaman, pukulan, tolakan kubu tuan Arjun berhasil menembus musuh. Walau kalah jumlah, menghadapi pengawal amatiran seperti itu bukanlah suatu masalah lagi.

Doooorrrr..

"Arrgghhhh.." tuan Arjun memekik saat lengannya tertembak.

Dari kejauhan tuan Arjun bisa melihat dengan jelas Bima yang mengacungkan pistol kearahnya.

"Ups, maaf kakak sepupu. Tembakanku meleset." kata Bima dengan acuh.

Darah mengalir di lengan tuan Arjun. Menatap tajam ke arah Bima yang cengengesan menganggap enteng keberadaan kubu tuan Arjun.

"Brengsek." Rendi hendak menyerang. Namun urung karena di tahan oleh tuan Arjun.

"Jangan gegabah. Selamatkan dulu papa mertuaku. Kamu pergilah. Biar di sini aku yang urus."

"Tapi tuan."

"Cepat!!"

"Baik tuan."

Rendi segera membawa pak Ferdi pergi menjauh dari sana.

"Hey.." pengawal Bima berteriak.

"Sudahlah tidak apa, itu hanya tikus yang sudah mau mati. Aku yakin, jika dia tidak akan bisa bertahan dalam satu jam."

"Tuan benar, pak tua itu sudah menelan racun yang ku beri tadi siang."

Tuan Arjun berang, begitu marah dengan apa yang meraka ucapkan.

"Beraninya kalian!!"

Tuan Arjun berlari kearah Bima. Dan lagi Bima kembali mengacungkan pistolnya kearah tuan Arjun.

Namun bukannya takut, tuan Arjun justru berlari lebih kencang kearah Bima.

Doooorrrr..

----

Praaaang..

Dinda tidak sengaja menjatuhkan gelas di meja "Kenapa bisa terjatuh." gumam Dinda.

Daniar berlari saat mendengar suara aneh dari kamar Dinda.

"Ya allah, kenapa bisa pecah?"

"Gak tau tuh, jatuh sendiri."

"Awas jangan kemana-mana, pecahannya sangat tajam."

Daniar segera pergi untuk mengambil sapu, dan bergegas membersihkannya.

"Makannya lain kali hati-hati. Mikirin apa sih? Sampai nggak fokus gitu."

"Gak mikirin apa-apa kok."

Dinda bangkit dari tempat ia duduk, berjalan ke arah kamar mandi karena hasrat buang air kecil.

"Aww.." Dinda menjerit.

"Ada apa?" Daniar panik.

Dinda menjatuhkan diri karena kakinya terasa sangat nyeri.

"Kakiku menginjak bekingnya." rengek Dinda.

"Mana, kemari biar ku obati."

Dinda memegangi dadanya, entah mengapa dadanya kini merasa sesak. Pikirannya kacau.

"Apa Arjun baik-baik saja?" kata Dinda di dalam hati.

----

Gubraaaakkkk..

Tuan Arjun tersungkur penuh darah. Dia tertembak di paha kirinya juga. Menatap lurus ke depan, kemudian bangkit kembali. Luka itu bukan apa-apa baginya. Di banding dengan luka yang diterima ayah mertuanya, dan juga rasa sakit di hati istri kecilnya dan keluarganya. Luka itu tidak bisa di bandingkan.

Gubraaaakkkk..

Bukan tuan Arjun, kini Bima yang tersungkur. Sebab dia satu langkah lebih maju di banding dengannya. Sebelum ia melesatkan peluru kearahnya, tuan Arjun terlebih dahulu menembakkan pistolnya tepat di perut Bima.

"Aargggghh.." Bima berteriak. Meringkuk merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. Darah yang mengalir sudah begitu banyak.

Para kacung Bima tidak ada satupun yang tersisa karena turut menjadi target buruan tuan Arjun dengan dua pistol di tangannya.

Tuan Arjun jongkok di depan Bima. Mengelap cipratan darah di wajahnya kemudian menjilatnya.

"Kamu tau, sudah terlalu lama aku tidak sesenang ini. Darah kalian serasa manis." kata tuan Arjun dengan senyum menyeringai.

"Argghhhh sialan kau Arjun.. Sssshhhh ah.." Bima memekik kesakitan.

"Itu bukan apa-apa Bima. Luka itu saja belum sebanding dengan kelakuan biadab mu pada orang lain. Jadi, nikmati saja detik-detik terakhirmu. Minta ampun lah kamu pada orang yang kamu sakiti."

Bima memandang tuan Arjun "Ayahku pasti akan membalas mu Arjun!!"

"Benarkah? Kapan dia akan datang? Aku bahkan sudah membeli pistol impor untuk menyambut kedatangan si botak tua itu."

"Jangan kurang ajar.."

"Sssstttt jangan berisik, berbaring saja kamu dengan damai. Hitungan mundur mu akan segera di mulai."

"Apa yang ingin kamu lakukan? Sshh ah." Bima sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakit di perutnya. Dengan darah yang keluar begitu banyak.

"Apakah itu sakit?" tanya tuan Arjun.

"Aargghh awas kau.. Aku akan membalas mu nanti."

Tuan Arjun berdiri, dengan sengaja menginjak paha Bima dengan sangat keras.

"Aaaaarrgghhhh!!!!!! Sakit!!!!"

"Sayang sekali Bima, kamu mungkin tidak bisa membalas ku. Karena waktu hitung mundur kematian mu akan segera di mulai."

Tuan Arjun kembali mengacungkan pistolnya, lurus kearah kening Bima.

"Kamu mau apa!!" Bima meraih-raih lantai, mencoba untuk menyeret tubuhnya untuk meninggalkan tuan Arjun yang tetap tenang di tempatnya.

Tatapan mengerikan itu begitu membuat Bima pontang-panting. Dia juga begitu khawatir jika hari ini adalah hari terakhirnya.

"Dan ini semua adalah balasan dari korban yang kamu siksa dengan kejam Bima."

"Aaaa pergi kau.." Bima ingin menangis, tapi dia bahkan terlalu panik untuk menangis.

"Tiga.. Semoga nanti kamu mendapatkan tempat terbaik untukmu. Dua.. Semoga kamu masuk ke dasar terdalam neraka di akhirat.. Dan.."

"Ku mohon.. Lepaskan aku. Aku ini adik sepupu mas."

"Jadi kamu masih mengingat jika aku ini adalah kakakmu. Sebagai adik kamu cukup kurang ajar Bima."

"Tolong ampuni nyawaku mas."

"Kalau begitu larilah. Aku tidak akan mengejar mu."

Bima segera merayap di lantai, berusaha untuk kabur dari jeratan tuan Arjun yang bengis.

"Satu.. Ups waktumu habis."

Dooorrrr..

Bima benar-benar telah berakhir. Ia meregang nyawa karena luka tembak di bagian belakang kepalanya.

"Ini baru awal Gatot!! Kini giliranmu telah tiba." kata tuan Arjun sinis.

Tuan Arjun menarik kaki Bima, kemudian menyeretnya keluar.

"Tuan.." Rendi begitu khawatir saat melihat tuan Arjun keluar dengan darah di sekujur tubuhnya.

"Dimana papa mertuaku? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menyelamatkannya." tanya tuan Arjun.

"Dia sudah di kirim ke tempat dokter Raihan. Aku menebak jika pak Ferdi keracunan karena tubuhnya membiru."

"Apakah kamu juga sudah memastikan keamanannya?"

"Tentu saja tuan. Anak buah terbaik ada bersamanya."

"Baiklah, sekarang kirim anak buahmu untuk mengantar adik sepupuku ini ke Gatot."

Rendi menatap ngeri keadaan Bima yang mati mengenaskan di tangan tuan Arjun. Sepertinya peluru terakhir menembus dari belakang kepala sampai ke hidungnya.

"Baik tuan."

"Cepat lakukan apa yang di perintahkan tuan." perintah Rendi pada anak buahnya.

"Baik."

Rendi segera membantu tuan Arjun yang kesulitan berdiri. Darah di pahanya terus mengalir. Rendi berinisiatif untuk mengikatkan kain di paha tuan Arjun, setidaknya dengan begitu darah tidak banyak mengalir lagi.

----

"Ini sudah hampir petang, tapi mengapa Arjun belum juga kembali ya?" Dinda berharap cemas, menunggu kedatangan suaminya dari depan gerbang utama.

"Ayo kita kembali saja Dinda, di sini sudah mulai dingin." ajak Daniar.

"Kalau kamu mau kembali ya sudah sana kembali saja duluan. Aku sangat cemas pada suamiku."

"Nampaknya sekarang tuan benar-benar sudah menjadi suamimu ya Din."

Dinda menatap Daniar "Apa maksudmu? Memang dia suamiku kan? Apakah kamu lupa?"


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C64
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login