"Bagaimana kau bisa ada disini?!" tanyaku terkejut.
Dia tidak menjawab dan tetap memijit punggungku dengan lembut.
Wajahnya tetap tenang seperti biasanya.
"Kau...!!"
Sebal sekali aku dengan sikapnya yang selalu cuek.
Kubalikkan badanku. Kukerahkan segenap tenagaku dan kutarik dengan kuat kedua lengannya.
Aryo terkejut dan terjerembab masuk kedalam bak mandiku. Aryo tersungkur diatas tubuhku. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menindih perutku.
"Margaret!" serunya terkejut "Kau benar-benar!"
Aku memajukan bibirku menggodanya.
Aryo semakin tampak seksi saat basah kuyup beserta pakaian lengkapnya seperti saat ini.
"Bagaimana jika aku tidak mampu menguasai tubuhku dan menindihmu."
"Memangnya kenapa?" ujarku dengan senyum menggoda. "Aku akan lebih suka jika kau benar-benar menindihku."
"Kau... Mmmppp"
Kututupi bibirnya dengan bibirku.
"Mandi berdua di sungai waktu lalu benar-benar jauh dari romantis. Kau sama sekali tidak asyik. Padahal aku berharap kita bercinta di sungai."
"Apa yang kau bicarakan..." katanya sambil berusaha bangkit dan melangkahkan kakinya keluar dari bak mandi.
Aku tersenyum melihatnya tampak kesal.
Baru sebelah kakinya melangkah, aku menarik kembali dia kedalam bak mandi.
"Masya'allah, Margaret!"
Wah, sepertinya dia benar-benar marah.
"Bagaimana jika aku terjatuh di perutmu? Itu akan membahayakan anak kita."
Dia terduduk dihadapanku.
"Luruskan kakimu!" perintahku.
"Apa lagi yang ingin kau lakukan?"
Aku bangkit dan membalikkan tubuhku lalu duduk dipangkuannya.
"Nah, sekarang kau bisa memijitku lagi." ujarku dengan santai.
Aryo dengan patuh kembali memijat pundakku dan punggungku.
"Kau jangan bergerak-gerak seperti itu!" hardiknya sambil menggerang. "Aarrghh... Margaret.. Kau sengaja!"
Aku tersenyum dan membalikkan wajahku.
"Kita bisa melakukannya disini."
"Tidak. Kita tidak akan melakukannya di kamar mandi. Itu tidak boleh."
"Tsk..." Aku berdecak kesal. "Berapa banyak lagi aturan yang perlu aku tahu?"
"Banyak sekali..." sahutnya kesal. "Margaret... Arrgh.. Cukup Margaret!
Dia menarikku keluar dari bak mandi. Membalutkan handuk di tubuhku dan membopongku kedalam kamar.
"Bagaimana kau tahu letak kamarku?" tanyaku sambil membantunya menutupkan pintu kamar dan menguncinya. "Kau seperti sudah mengenal rumah ini?"
Dia tidak menjawab. Dia meletakkanku diatas ranjang, sebelum kemudian dia melucuti pakaiannya sendiri yang benar-benar basah kuyup.
"Aku pinjam handukmu."
Dia melemparkan selimut kepadaku untuk menutupi tubuhku. Lalu dia membuka lemari besar di kamar itu.
Bagaimana mungkin ada pakaiannya disana?
Kapan dia menaruhnya? Rumah siapa ini?
Dia membawaku ke kamar. Kupikir akan mengajakku bercinta, kenapa dia malah berpakaian.
Ah, Aryo sialan! umpatku dalam hati.
Aku lepaskan selimut yang menutupi tubuhku dan berjalan kearahnya tanpa menggunakan apapun.
Dengan pose menggoda. Kukalungkan lenganku di lehernya.
"Margaret... Tubuhmu lelah. Kau butuh beristirahat. Perjalanan tadi pasti sangat berat untukmu." ujarnya sambil membelai lembut pipiku. "Duduk saja disana aku akan mengambilkan pakaian yang nyaman untukmu."
Aku menurut tapi dengan hati kesal.
"Apakah kedua istrimu yang lain juga sedang hamil?" tanyaku kesal.
"Hah?" Aryo tampak bingung sesaat. "Aku belum menyentuh mereka, bagaimana mereka bisa hamil. Kenapa? Kau cemburu?" tanyanya sambil tersenyum nakal kearahku.
Aku menampilkan wajah kesal.
"Apalah aku... Aku cuma istri ketiga dari seorang pria tampan yang populer diantara para wanita." kataku menyindir.
Aryo mendatangiku dengan membawa gaun tidur yang ringan.
"Seandainya penyihir cantik ini tidak berbuat curang dengan menyihir mataku agar hanya tertuju kepadanya, tentu aku sudah punya banyak anak sekarang" kekehnya, sambil memakaikan gaun tidurku. "Nah, selesai."
"Kau katakan aku penyihir." sahutku sambil melirik kesal kearahnya.
"Ya... Penyihir yang sangat hebat, bahkan aku tidak bisa menemukan cara untuk memusnahkan mantranya padaku." katanya serius dengan kedua tangan ditelangkupkan ke wajahku. Lalu dikecup ringan pipiku. "Mataku pasti sudah terkena mantranya, sampai tidak mampu melihat kecantikan wanita lain." sindirnya. "Dan ini...."
Aryo berjongkok dan mengelus perutku.
"... Ini... Karunia ini, akan merantaiku pada penyihir ini seumur hidupku."
Dia menengadah menatap jauh kedalam mataku hingga rasanya menembus hatiku. Tatapannya yang lembut dan kata-katanya yang terdengar indah ditelingaku membuat pandanganku tiba-tiba buram karena genangan air mata yang nyaris tumpah. Senyumnya yang sangat menawan. Membuatku semakin merasa yakin bahwa aku rela tidak kembali keduniaku asal bisa tetap bersamanya.
Aku hanya ingin hidup bahagia bersamanya. Sesederhana itu keinginanku. Tapi kenyataannya semua ini begitu sulit.
Kenapa harus ada Daniel? Kenapa harus ada kedua istrinya? Banyak orang-orang dipihakku yang menuduhku berselingkuh dari suamiku, sedang di pihak Aryo, mereka melaknatku karena telah menikahi dua pria sekaligus.
Aku membayangkan kita hidup jauh dari orang-orang itu di pondok cinta kita di tepi hutan, berdua saja bersama anak-anak kita nantinya... Hingga waktuku berakhir. Aku hanya ingin menikmati hidupku disini dengan tenang bersamanya.