Climb sangat menginginkan cahaya matahari. Itu bukan sebuah kebohongan atau salah pengertian. Itu adalah
pemikiran yang lahir dari kebenaran yang sejati dari Climb.
Namun-
"Karena aku adalah seorang pria."
Climb tersenyum.
Benar sekali. Climb ingin selalu di sisinya. Matahari yang bersinar dengan terang di langit, seorang pria yang
tak pernah bisa berdiri di sampingnya. Meskipun begitu, dia ingin naik lebih tinggi agar dia bisa menjadi
perwujudan yang bisa lebih dekat dengan matahari, tak perduli apapun batasannya.
Dia tidak ingin berharap untuk selalu tetap menjadi seseorang yang harus mengangkat wajahnya untuk melihat
dia.
Ini adalah pemikiran sepele dari seorang anak laki-laki, tapi bagaimanapun sangat cocok untuk seorang anak
laki-laki.
Dia ingin menjadi seorang pria yang cocok dengan wanita yang sangat diinginkannya, meskipun mereka tak
pernah bisa bersama.
Pemikiran ini adalah mengapa dia mampu menahan kehidupan tanpa teman, latihan yang keras, dan
pelajarannya yang harus memotong waktu tidurnya.
Jika seseorang ingin menyebutnya orang bodoh dan menghinanya, maka biarkan saja mereka.
Mereka yang benar-benar tidak mencintai orang lain takkan pernah bisa mengerti perasaannya.
---
Sebas memicingkan matanya saat dia mengamati dengan tulus. Seakan jika dia mencoba untuk memahami
segudang makna dibalik jawaban pendek Climb. Dia lalu menganggukkan kepala puas.
"Aku sudah memutuskan bagaimana melatihmu dari balasanmu."
Dia menghentikan Climb saat dia mencoba untuk mengutarakan rasa terima kasihnya.
"Namun, maafkan aku harus bilang bahwa kamu tidak memiliki bakat. Melatihmu dengan sungguh-sungguh
akan memakan banyak waktu, waktu adalah yang tidak aku punya. Aku ingin melatihmu agar hasilnya bisa
terlihat jelas tapi... ini akan berat."
Climb menelan ludah. Kilauan di mata Sebas membuat punggungnya gemetar.Alasan dia tidak langsung merespon karena dia merasakan kekuatan di mata itu. Itu adalah kekuatan yang tidak
mungkin ada, kekuatan yang melebihi bahkan Gazef yang sedang serius.
"Aku akan bilang padamu dengan jujur, kamu mungkin bisa mati."
Itu bukan candaan.
Climb merasakan firasat bahwa dia berbicara yang sebenarnya. Dia tidak perduli apakah dia mati atau tidak.
Namun, itu hanya masalah jika itu adalah untuk Renner. Dia tidak ingin kehilangan nyawa hanya karena
masalah yang egois.
Itu bukan karena dia menjadi ketakutan. Tidak, mungkin itu adalah alasan yang sebenarnya.
Climb menelan air ludahnya lalu ragu-ragu. Keadaan sekitar didominasi oleh keheningan sesaat, cukup hening
sehingga bisa mendengar suara di kejauhan.
"Apakah kamu selamat atau tidak itu terserah padamu.. Jika kamu memiliki sesuatu yang kamu sayangi, sebuah
alasan untuk merangkak maju dan mempertahankan hidupmu, kamu akan baik-baik saja."
Bukankah dia akan mengajarinya martial art ?
Mesipun pertanyaan itu muncul di otaknya, itu bukan masalah saat ini. Memahami apa arti ucapan Sebas, dia
menerima itu dan memberikan balasan.
"Aku sudah siap. Aku serahkan pada anda."
"Apakah maksudmu kamu memiliki kepercayaan diri untuk tidak mati ?"
Climb menggelengkan kepala, bukan itu.
Itu karena di hatinya, Climb selalu membawanya sebagai alasan untuk bertahan hidup, meskipun dia harus
merangkak di lantai.
Sebas mengangguk dalam-dalam, seakan dia telah membaca apa yang ada di dalam hati Climb dengan melihat
ke matanya.
"Aku mengerti. Kalau begitu aku akan mulai latihannya disini."
"Disini ?"
"Ya, hanya akan memakan waktu beberapa menit. Tolong angkat senjatamu."
Apa yang coba dia lakukan ? Dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegelisahan dan kebingungan terhadap hal
yang tidak diketahui dan secercah samar harapan dan rasa ingin tahu, Climb menghunus pedangnya.Suara dari pedang yang bergeser dari sarungnya terdengar ke seluruh lorong sempit.
Sebas diam-diam menatap saat Climb mengambil sikap menengah.
"Kalau begitu aku akan mulai. Berkonsenstrasilah."
Dan pada langkah selanjutnya.
Dengan Sebas sebagai pusatnya, kelihatannya seakan pedang es keluar di segala penjuru.
Climb tidak bisa bicara lagi.
Sebuah pusaran nfasu membunuh berputar di sekeliling dengan Sebas sebagai pusatnya.
Energi yang sangat padat dan warnanya yang menjadi kelihatan menabraknya seperti ombak yang mengamuk,
membuat hatinya serasa seperti akan meledak dalam sekejap. Dia mengira bahwa dia mendengar sebuah suara
seperti teriakan jiwa saat dihancurkan. Kedengarannya seakan datang tepat dari sampingnya, sebuah tempat
yang jauh, atau mungkin dari mulutnya sendiri.
Saat dia digulung oleh arus hitam nafsu membunuh, Climb merasa kesadarannya menjadi putih. Ketakutannya
sangat besar bahwa otaknya akan melepaskan kesadarannya agar bisa mengabaikan situasi ini.
"...apakah hanya ini nilai dari seorang 'pria' ? Ini baru pemanasan."
Di dalam kesadaran Climb yang semakin hilang, suara kecewa Sebas terdengar sangat keras.
Arti dari kalimat ini masuk dalam-dalam jauh ke otak Climb, jauh lebih dalam dari pisau apapun. Itu sudah
cukup untuk membuat dia melupakan ketakutan untuk sesaat yang telah menabraknya dari depan.
Thump. Detak jantung semakin keras.
"Haaa!!"
Climb melepaskan udara nafas yang besar.
Matanya basah dengan air mata dan meskipun sudah sangat ketakutan sehingga ingin lari, dia menahannya.
Tangan yang menggenggam pedang itu gemetar dan pucuk dari pedang itu berguncang seakan sudah menjadi
gila. Getaran yang mengalir melalui sekujur tubuhnya menyebabkan kaos rantainya berbunyi dengan keras.
Namun, Climb menggeretakkan gigi-giginya yang gemetaran dan mencoba untuk bertahan dari Sebas yang haus
darah.Melihat penampilan yang tidak mengenakkan, Sebas menyeringai dan pelan-pelan membentuk sebuah tinju
dengan tangan kanannya yang tepat di depan mata Climb. Setelah beberapa kali berkedip, tinju yang seperti
bola itu sempurna.