Di saat malam semakin larut, aku mendapati ucapan Elvian itu benar adanya. Seluruh kawasan hutan tergenang akibat mata air yang mendadak muncul di segala penjuru. Debit air yang dikeluarkan cukup deras hingga dapat menenggelamkan hutan ini sedalam dua meter dalam waktu singkat.
Untung saja saat ini aku sudah berada di atas pohon Hanarusa, yang cukup tinggi dan jauh dari air yang menggenang. Para Elvian menyebut pohon bonsai raksasa ini seperti itu. Entah dari mana sebutan itu berasal, setidaknya kini aku tahu nama yang tepat untuk menyebut pohon ini. Lalu untuk hutan ini, mereka menamakannya Hutan Suci Hanarusa. Sepertinya para Elvian mengkeramatkan hutan ini karena suatu hal yang tidak kumengerti.
"Setelah ini kita menuju ke pohon itu!" seru Elvian muda tertatih sembari menunjuk ke sebuah pohon Hanarusa yang berada di dekatku. "Kita harus memutar arah ke tempat yang lebih sepi."
"Oke," jawabku singkat. Kemudian menerjemahkannya menjadi bahasa Lurivia agar mudah dimengerti kedua temanku yang tidak berbahasa Elvian.
Dimas menggendong Elvian itu dengan hati-hati di punggungnya. Elvian itu baru saja sadar setelah dioperasi, jadi sangat tidak memungkinkan baginya untuk berjalan dengan kakinya sendiri.
Tujuan kami bertiga saat ini adalah rumah Elvian muda yang terletak di sebuah pohon Hanarusa yang tumbuh di pinggir kota. Pemuda itu menyarankan kami untuk bermalam di rumahnya.
Awalnya aku terkejut mendengarnya, karena jarang sekali ada Elvian yang mau menawarkan keramahan pada manusia. Tapi setelah ia berkata ingin membalas budi karena telah menyelamatkan nyawanya, barulah aku bisa mengerti niat baiknya.
Sepertinya aku harus sedikit merubah cara pandang tentang Elvian. Meskipun kebanyakan dari mereka memusuhi manusia, mereka masihlah makhluk yang memiliki rasa terima kasih dan hutang budi. Bukan makhluk tak berhati yang keji seperti binatang buas.
Kami berempat melintasi dahan-dahan Hanarusa yang sepi. Hanya ada beberapa bangunan kecil di sini, yang sepertinya adalah rumah-rumah yang tertutup rapat.
Dengan masih digendong oleh Dimas, Elvian itu menunjukkan pada kami jalan ke rumahnya melalui dahan-dahan yang saling bersilangan. Dia dan aku memang memiliki indera yang tajam, jadi kami berdua tahu jika ada yang orang yang mendekat. Aku pun harus mengaktifkan Indera Super guna menajamkan kelima inderaku dari biasanya.
Tidak beberapa lama kemudian, kami berempat tiba di sebuah bangunan kayu yang cukup besar dari yang lainnya. Mungkin ukurannya sekitar 7x8 meter. Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar, kami pun masuk ke dalam.
Bangunan ini memiliki dua buah kamar dan satu ruang tamu yang besar. Tidak ada kamar mandi, toilet, atau pun dapur. TemEpat ini tak ada ubahnya kamar kos dengan kamar mandi di luar seperti yang biasa ditemukan di Jakarta. Ruang tamu pun tak dilengkapi dengan sofa buat tamu untuk duduk, hanya karpet anyam besar yang digelar memenuhi ruangan. Barang-barang diletakkan rapi dalam laci kecil di pinggir ruangan, membuat ruang tamu itu terasa sangat lega.
"Aku baru pertama kali masuk ke dalam rumah Elvian. Apa memang sesederhana ini rumah para Elvian?" tanyaku yang melepas alas kaki dan menaruhnya di balik pintu depan.
"Aku tidak tahu standar rumah manusia seperti apa. Tapi memang seperti inilah rumah Elvian kebanyakan. Kalau kau ingin memiliki rumah yang lengkap dengan dapur dan kamar mandi, kau seharusnya pergi ke rumah orang yang berkecukupan," jawab Elvian muda itu. Ia baru saja dibaringkan di atas sebuah dipan di dalam kamar. Wajah merintihnya membuktikan bahwa ia masih belum pulih sepenuhnya.
"Lalu bagaimana kalian makan dan mandi?"
"Di kota ini ada beberapa bangunan besar bernama Vilos. Tempat itu menyediakan pemandian umum dan dapur umum yang buka 24 jam penuh. Orang-orang menengah ke bawah sepertiku biasanya pergi ke sana untuk makan dan mandi."
"Kenapa tidak membangun sendiri dapur dan kamar mandi di rumah?"
"Asal kau tahu saja, membangun dapur dan kamar mandi di kota yang berada di atas pohon tidak bisa sembarangan. Butuh izin serta pengawasan yang ketat dari beberapa Biro," jawabnya pelan sembari meringis kesakitan.
"Anggi, jangan ajak bicara dia!" omel Shella yang tengah mengganti perban Elvian itu dengan yang baru.
Aku jadi merasa tak enak membuatnya harus berbicara sebanyak itu. Karena itulah aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi padanya.
Jadi begitu, ya? Tidak seperti di Glafelden, membangun dapur dan kamar mandi di Kota Arnest membutuhkan pengawasan dari banyak pihak. Hal itu tentu saja membuat biayanya membengkak. Untuk orang yang kurang berkecukupan, mungkin akan lebih baik jika mereka pergi ke Vilos dari pada harus membangunnya sendiri.
Mungkin itu juga yang terjadi di Kota Ruvia. Seingatku memang ada beberapa bangunan di dalam batang pohon yang terlihat besar, namun aku tak tahu apa itu.
Setelah dipikir-pikir masuk akal juga. Hal itu menjelaskan mengapa rumah-rumah bangsawan Elvian di Ruvia terletak di permukaan tanah. Membangun dapur dan kamar mandi di atas tanah lebih mudah dari pada di atas pohon
"Memangnya apa yang kalian bicarakan, sih? Kok kelihatannya seru sekali," tanya Dimas yang ikut nimbrung setelah membantuku meletakkan barang bawaan di sudut ruang tamu.
"Bukan hal yang penting sih, cuma sesuatu hal tentang kota ini," balasku yang kini menyandarkan punggung pada dinding kayu.
"Bukankah itu hal yang menarik?" balas Dimas dengan mata yang berbinar.
"Aku juga ingin tahu," sambung Shella di dalam kamar yang sama antusiasnya.
Tampaknya aku lupa kalau kedua temanku ini sangat tertarik dengan kehidupan Elvian. Akhirnya aku pun menceritakan lagi pada mereka apa yang kubicarakan pada mereka dengan bahasa Lurivia. Dimas langsung melongok keluar jendela yang berada di dekatnya, dan berusaha menemukan bangunan yang kusebut dari arah kota.
"Jangan mengeluarkan kepala seperti itu dan memancing perhatian orang, Bodoh! Kau mau keberadaan kita diketahui oleh Elvian yang lain?" pekikku dengan gusar.
"Cerewet, aku cuma melihat sebentar!" protesnya dengan nada tinggi.
Kutahan mati-matian mulutku yang ingin melontarkan kata-kata makian. Karena jika kuteruskan pasti akan terjadi pertengkaran. Jika itu terjadi, aku melakukan langgaran yang kusebutkan sebelumnya.
"Hei, kau manusia bertelinga lancip!" Terdengar suara lirih dari dalam kamar, Elvian itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu padaku.
Aku bangkit dan berjalan mendekat ke ambang pintu. Di dalam kamar, aku mendapati Shella yang baru saja selesai mengganti perban dan mengoleskan ramuan herbal pada Elvian muda itu.
"Ada apa?" jawabku pelan. "Tidakkah seharusnya kau istirahat terlebih dahulu?"
"Tidak perlu. Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Sebelumnya kau berkata kalian mencari sesuatu di kota ini. Boleh kutahu apa itu?"
Aku termenung sejenak, mencoba memilih kata untuk dilontarkan. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah informasi yang tak penting keluar dari mulutku.
Setelah berpikir sesaat, aku memikirkan sebuah alasan bagus. "Tujuanku kemari untuk mencari sebuah tanaman langka yang dapat menyembuhkan penyakit apa pun. Aku diberi tahu informasi bahwa bunga itu hanya tumbuh di sekitar hutan ini saja."
"Tanaman apa itu?" tanya Elvian itu penuh rasa ingin tahu.
"Bunga Reloka Cincin Jingga," kilahku seraya tersenyum pahit. Meski sebenarnya aku tak tahu tanaman itu ada atau tidak.
"Memangnya siapa yang sakit?"
Aku terdiam sejenak, kemudian menelan ludah demi membasahi tenggorokanku yang kering. "Ayah angkat kami. Awalnya, kami bertiga adalah anak yatim-piatu yang telantar. Ayah memungut kami dari jalanan dan menjadikan kami anak angkatnya.
"Dia adalah pria yang baik. Makanya saat ia jatuh sakit, kami berusaha keras untuk mendapatkan obatnya. Dokter yang paling hebat di kota kami mengatakan, ayah terkena penyakit yang langka. Oleh karena itu, obatnya juga hanya bisa didapatkan dari bahan yang langka pula. Karena itulah kami ... nekat kemari apa pun resikonya," jelasku lirih sembari menundukkan kepala.
Dalam pikiran, kucoba membayangkan sosok 'Ayah' menjadi nyata. Di mana benar ia sedang sakit keras yang sangat langka. Kuposisikan diriku dalam dunia fana menjadi anak yang berusaha keras mencari obat untuk ayahnya.
Kulakukan ini supaya aku bisa merasakan sedihnya seorang anak melihat orang tuanya sakit parah. Buliran air mata mulai mengalir dari pelupuk mataku, membuat akting guna menyempurnakan alasanku.
Dimas dan Shella yang mendengar isakanku sempat kebingungan, namun kuberi isyarat tangan agar tidak ikut campur dan merusak akting yang kubangun.
"Hei, kau tidak apa-apa?" tanya Elvian itu dengan khawatir.
Aku mengusap air mata yang jatuh ke pipi. Setelah mataku tak lagi basah, kudongakkan kepala dan memandang ke arahnya. "Tidak apa-apa, kok. Maaf jika aku terlalu emosional."
"Tidak, mungkin aku yang seharusnya minta maaf karena sudah menyerang kalian tanpa bertanya dahulu."
"Tidak hanya kamu, aku juga salah." Kulangkahkan kaki mendekat ke arahnya dan duduk di samping dipan. Tanganku mencoba menyentuh bekas luka yang kutorehkan pada dadanya. "Maaf sudah membuatmu hampir meninggal."
Elvian itu menghela napas dalam dan tersenyum tipis, baru kali ini aku melihat senyumnya. "Tapi kalian sudah menyelamatkanku, kan? Kurasa tidak perlu minta maaf lagi."
Setelah itu aku tak membalas apa pun lagi, mataku tertuju pada bekas luka yang masih lekat dengan noda darah yang merembes melalui perban. Aku terdiam sesaat. Ketika itulah aku mendapati Elvian itu tengah menatapku lamat-lamat.
Kulempar tatapan penuh tanda tanya dengan memiringkan sedikit kepala.
"A-Anu… kau ini sebenarnya apa? Penampilanmu tampak seperti manusia, tapi kau memiliki telinga panjang dan mahir berbahasa Elvian."
"Aku manusia. Ayahku berkata aku ini terlahir spesial. Karena aku memiliki telinga dan lidah seperti Elvian," kilahku yang ingin menutupi rasku sebenarnya.
Bahasa Elvian merupakan bahasa yang tidak mudah dikuasai oleh manusia. Sebab Bahasa Elvian memiliki kata dan pengucapan rumit yang tidak bisa diucapkan oleh lidah manusia. Mungkin manusia bisa mempelajari Bahasa Elvian kata demi kata. Namun tidak dengan kefasihan pengucapannya.
Karena itulah siapa pun pasti terkejut denganku yang dapat menguasai Bahasa Elvian dengan lancar. Yah, ini juga berkat kemampuanku sebagai Haier-Elvian. Kalau tidak, mungkin aku sama cadelnya dengan manusia lain.
"Hei, manusia! Aku belum tahu namamu dari tadi," seru Elvian muda itu, mengagetkanku dari lamunan.
"Ah betul juga! Perkenalkan, namaku Anggi!" balasku seraya mengulurkan tangan, kemudian dibalas jabat tangan olehnya. "Gadis yang menyelamatkan nyawamu adalah Shella, lalu satu-satunya pria dari kami adalah Dimas."
"Sampaikan terima kasihku pada Shella dan Dimas kalau begitu."
"Baik, akan kusampaikan." Aku paham, maksudnya adalah menyampaikan rasa terima kasihnya pada Shella dalam Bahasa Lurivia. "Oh iya, ngomong-ngomong kau belum menyebutkan namamu!"
"Kau benar, maafkan aku! Namaku Elzhar-Kri, panggil saja Elzhar."
Untuk sesaat aku tertegun, entah mengapa namanya mengingatkanku pada sesuatu.
Kaum Elvian mempunyai aturan tertentu dalam sistem nama mereka. Umumnya nama mereka terdiri dari dua kata, kata pertama adalah nama mereka dan kata kedua adalah nama keluarga. Ketika Elzhar mengungkapkan nama lengkapnya aku merasa tidak asing dengan nama keluarga itu.
Tapi… di mana aku pernah mendengarnya, ya?
Kalau kuingat lagi nama marga Pangeran Keylan adalah Zell. Sementara pelayannya Airi, bermarga Yur. Untuk Elvian lainnya, aku tidak tahu nama lengkap mereka. Tapi untuk nama 'Kri' aku yakin sekali pernah mendengarnya. Kira-kira, di mana aku pernah mengenal Elvian bermarga 'Kri'?
Ah, iya! Bodohnya aku sampai lupa dengan kawan sendiri! Memangnya aku kenal dengan banyak Elvian di dunia ini? Aku langsung menepuk jidatku dengan keras beberapa kali.
"Anggi, kau kenapa?" tanya Elzhar dengan keheranan.
"Maaf, aku tiba-tiba teringat dengan teman Elvian-ku yang bermarga sama denganmu. Saat tinggal di kota manusia, ia menggunakan nama samaran. Tapi kalau tidak salah ingat, nama aslinya adalah Elywien-Kri."
Begitu kuucapkan nama itu, Elzhar mendadak tersentak. Mulutnya terbuka lebar serta matanya melotot tak percaya. Sekarang aku yang kebingungan dengan tingkahnya.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.
"K-Kau … kenal dengan kakakku?"