Serangan itu melumpuhkan gerombolan besar kelelawar di depan pintu masuk. Tubuh mereka terpotong-potong beberapa bagian seperti robekan kertas. Darah berwarna merah gelap bercipratan di atas tanah.
Tidak ada lagi kelelawar yang berani masuk kemari. Suara kepakan sayap mereka terdengar sayup-sayup mulai menjauh. Mungkin karena menyadari kekuatan musuh yang lebih besar, kawanan kelelawar itu memutuskan untuk pergi.
Kami bertiga masih berdiam diri di tempat ini untuk beberapa menit. Khawatir bila itu hanya siasat belaka dan menyerang kami ketika lengah.
"Kalian baik-baik saja?" tanyaku pada Dimas dan Shella.
"Tidak masalah."
"Aku baik-baik saja!" jawab Shella. "Itu benar-benar luar biasa! Aku tidak tahu ternyata kau sehebat itu!"
"Itu bukan kekuatanku, melainkan tongkat ini." Aku mengangkat viglet di tanganku hingga kedua orang itu bisa melihatnya.
Baik Dimas dan Shella terlihat sangat terpukau denganku. Kemudian menatap viglet berwarna gading bercorak hitam pemberian Pangeran Keylan dengan kekaguman. Begitu pula denganku. Rasanya, jika menggunakan viglet biasa aku takkan bisa membuat gumpalan angin sebesar itu. Paling-paling hanya embusan angin saja. Namun dengan benda ini, keluaran energi Eszeku bisa berkali-kali lipat lebih besar.
Bila seorang amatir sepertiku bisa menghasilkan kekuatan yang besar, bagaimana dengan orang yang sudah berpengalaman mengendalikan kekuatan Esze? Almira misalnya. Aku yakin wanita itu bisa meluluhlantahkan isi kota jika ia mau. Sayangnya Almira tidak mau menggunakannya ketika kami berlatih. Sepertinya keputusannya tepat. Jika tidak, mungkin aku bisa terhempas oleh angin tornado yang mungkin tak sengaja ia ciptakan.
"Anggi!" panggil Shella lembut. Suaranya yang lirih begitu ringan hingga nyaris tak terdengar sama sekali.
"Iya, ada apa?"
"Coba lihat sebentar punggungmu!"
Awalnya aku merasa bingung, namun aku tetap melakukan apa yang ia minta. Aku membalikkan badan dan menghadapkan punggungku padanya.
"Ya ampun! Kau terluka! Ada bekas garis sepanjang lima belas senti, sepertinya menyakitkan," seru gadis itu.
"Ada satu kelelawar yang nyaris menggigitku tadi, untung aku berhasil menghalaunya sebelum ia benar-benar menancapkan taringnya ke tubuhku."
"Serahkan ini padaku! Aku harus membersihkan lukamu sebelum terjadi infeksi."
Shella menaruh tas punggung miliknya di atas tanah. Tangannya seakan mencari-cari sesuatu di dalam. Ia mengambil sepotong kain bersih dan sebotol kecil alkohol. Setelahnya, ia meneteskan cairan itu ke atas kain dan mulai menyapukannya pada sekitar lukaku. Efek dari luka yang terkena alkohol benar-benar perih. Namun masih bisa kutahan.
Ini masih awal perjalanan, terlalu cepat bagiku untuk mengerang kesakitan. Serangan kawanan Kelelawar Vampir Hitam memang tidak diduga. Walaupun kelompok ini bisa lolos dengan keberuntungan semata, hal itu takkan membuatku mundur.
Aku sudah memutuskan akan menjalaninya sampai akhir. Meskipun tidak tahu apakah aku akan bertahan hidup atau tidak.
*****
Terhitung sudah lima hari sejak lelaki itu pergi dari barak tentara di ibukota. Menempuh jarak ribuan kilometer dari Lurich ke Glafelden setidaknya butuh lebih dari sepuluh hari dengan kuda. Namun lelaki itu dan kelompoknya memangkasnya menjadi enam hari saja.
Ia terus melaju di atas kuda perangnya dalam kondisi dan cuaca apa pun, maupun itu panas terik ataupun badai. Dengan waktu istirahat yang relatif super singkat, pasti akan membuat siapa pun merasa letih. Namun tidak dengan lelaki itu. Terlatih sebagai pasukan elit, ia dan rekan-rekannya takkan merasa lelah hanya karena hal kecil seperti ini. Tatapannya begitu tajam memandang ke depan. Potongan rambut cepak hingga nyaris botak, menjadi karakteristik yang tak bisa dipisahkan darinya. Dia adalah Indra, alias 'Si Botak'.
"Kapten! Gerbang kota Glafelden sudah terlihat!" serunya pada seorang pria yang berada tepat di belakang kudanya.
"Bagus! Beri tanda pada penjaga untuk membuka gerbangnya!"
"Baik!" Segera setelah diperintahkan, dari atas kuda Indra mengangkat tinggi-tinggi gonfalon dengan lambang Keluarga Kerajaan Lurivia.
Bendera dengan lambang Burung Api dengan dua tombak yang saling menyilang, ini adalah lambang kehormatan bagi siapa pun yang telah diberi titah langsung oleh keluarga kerajaan. Setiap orang di kerajaan ini yang melihat bendera ini, harus berlutut dan memberi hormat. Karena itulah para penjaga yang biasanya bermalas-malasan, kelabakan hanya untuk memberi hormat. Mereka segera membuka pintu gerbang tanpa inspeksi terlebih dahulu. Karena mereka tahu, pasukan berkuda ini bukan sembarang pasukan tentara kerajaan.
Pasukan berkuda yang melintas di atas jalan berbatu pusat kota, menjadi tontonan menarik bagi para penduduk. Karena jarang sekali penduduk kota Glafelden bisa mendapat kesempatan untuk melihat sepasukan tentara elit lengkap dengan kudanya. Pasukan yang ada di kota kecil ini hanyalah penjaga dan petugas patroli saja, mereka bertanggung jawab atas keamanan kota. Sementara pasukan tentara selalu ditempatkan di Lurich dan kota-kota besar, dan hanya ditugaskan ke daerah lain jika menerima misi tertentu.
Sudah jelas para penduduk mengetahui ada sesuatu yang tidak beres dengan kota mereka. Tapi karena ibukota belum memberi kabar apa pun sampai hari ini, mereka masih bisa menganggap situasi ini aman dan tak perlu dikhawatirkan. Penduduk kota kembali ke aktivitasnya masing-masing setelah peleton berkuda itu lenyap dari pandangan.
"Kita sudah sampai, Kapten Gufiy!" ujar salah satu kesatria ketika mereka berada tepat di depan gerbang kantor wali kota Glafelden. "Sebelumnya aku sudah meminta wali kota untuk membantu kita dalam investigasi. Akomodasi selama kita berada di sini juga sudah disiapkan."
"Kerja yang bagus, Erik!" jawab Kapten Gufiy. Pria itu menjentikkan jarinya selagi menunjuk Erik.
Setelah pelayan membukakan gerbang, mereka masuk dan turun dari atas kuda. Sementara para pelayan menarik kuda-kuda mereka ke kandang kuda yang berada di belakang halaman.
Kapten Gufiy memimpin pasukannya bertemu wali kota yang menyambut mereka di pintu masuk. Badan wali kota yang sedikit bungkuk, terlihat kontras dengan tubuh tinggi Kapten Gufiy. Keduanya saling berjabat tangan dan berbasa-basi sebentar, ritual yang sangat wajib ketika bertemu seseorang setelah sekian lama.
Pasukan elit itu tiba di kantor wali kota pada senja hari, waktu yang tepat saat makan malam siap untuk dihidangkan. Wali kota menjamu mereka dengan makanan yang sangat mewah, seperti sapi bakar madu atau stik iga panggang. Sebenarnya tak ada keharusan untuk menjamu tamu dengan makanan yang mewah. Namun karena tradisi 'Buatlah tamu merasa nyaman' di kerajaan ini, wali kota merasa perlu harus menghidangkan sajian yang lezat. Apalagi pasukan ini berasal dari ibukota dan membawa surat perintah dari kerajaan.
Setelah makan malam, semua pasukan ditugaskan untuk menyelidiki keberadaan 'Anggi si Gadis Ras Campuran', yang menjadi target mereka. Semua informasi yang pasukan ini miliki tentang Anggi tidak banyak. Hanya sekedar seorang Haier-Elvian wanita bernama Anggi. Informasi tentang ciri-cirinya pun tak terlalu spesifik, hanya gadis muda berambut panjang. Orang seperti itu di kota ini sangat banyak. Mereka sepertinya harus bekerja keras untuk menemukan gadis itu.
Namun bukan berarti mereka takkan menemukannya. Sebagai pasukan elit terlatih mereka sudah diajarkan bagaimana mengendus bau seseorang. Hal seperti kekurangan informasi hanya menghambat prosesnya, tidak menghentikannya.
Hal itu tentu dapat diketahui jelas oleh Indra dan Erik. Sebagai teman dari Anggi yang berasal dari dunia yang sama, mereka takkan sampai hati bila harus menjual temannya sendiri. Bahkan Indra telah mengirimkan surat peringatan pada Shella di kota ini beberapa hari sebelumnya. Keduanya terpaksa harus mengkhianati pasukan demi seorang teman.
Malam ini mereka diperintahkan untuk mengumpulkan informasi, keduanya sangat tahu pasti cepat atau lambat salah satu dari pasukan akan mendapat informasi tentang Anggi. Karena itulah mereka memutuskan untuk mencari keberadaan Anggi lebih cepat dari pasukan elit lainnya.
Kedua orang itu sudah sampai di klinik Saantya, tapi tidak menemukan keberadaan Shella. Semua orang di tempat itu mengaku tak mengetahui ke mana gadis itu pergi. Surat yang ditinggalkannya hanya mengatakan bahwa ia akan pergi bersama Anggi entah ke mana. Bahkan si kembar Vian dan Vani pun baru mengetahui bila Anggi telah meninggalkan kota.
"Sepertinya aku tahu ke mana ia pergi, Kak Indra!" ujar Vani, saat ditemui di restoran tempatnya bekerja.
Kemudian ia menceritakan secara singkat informasi tentang Kristal Roh Indemnius yang baru saja Anggi temukan. Hal itu adalah sesuatu yang baru di telinga Indra dan Erik. Maka wajar bila mereka sama-sama memasang wajah serius dan tidak percaya.
"Rasanya sulit untuk dipercaya! Tapi jika benar begitu, mereka sedang mengarah ke wilayah Elvian saat ini!" Indra menggaruk-garukkan kepala belakangnya walaupun tidak gatal. Ia merasa bingung dengan semua hal yang baru saja masuk ke dalam otaknya.
"Entahlah, aku tidak tahu ke mana pastinya. Mungkin kau harus menanyakannya pada Pak Tua Grussel!"
Indra semakin menggaruk-garukkan kepalanya lebih cepat. Merasa malas bergerak ketika telinga miliknya mendengar nama pria tua itu. Dahulu saat ia tinggal di markas pemburu itu, Grussel selalu saja meneriaki dan memberinya pekerjaan yang lebih banyak karena tubuh besarnya. Tak ayal, pria itu merasa sebal kepada Grussel.
Namun mau bagaimana lagi? Ia harus menemuinya jika ingin mengetahui keberadaan Anggi serta tujuan gadis itu.
Akhirnya Indra dan Erik pergi menemui Grussel di markas pemburu. Awalnya Grussel mengejek keduanya yang mengenakan baju zirah dan embel-embel ksatria kerajaan lengkap dengan kuda perang yang menjadi tunggangan mereka berdua. Tapi Grussel mau memberi tahu semua informasi yang mereka berdua butuhkan.
"Kota Arnest," kata Indra sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Kita harus segera pergi menyusul mereka!"
"Apa kau yakin?!" seru Erik tertahan. "Kalau kau melakukannya, itu berarti kau telah mengkhianati pasukan kita!"
Indra berhenti sejenak, matanya memandang tajam pada temannya. "Sejak kita menutup mulut dan menyembunyikan informasi tentang Anggi dari mereka, kita sudah berkhianat. Apa bedanya jika kita berkhianat dulu atau sekarang?"
Erik nyengir. "Memang seperti itulah kau. Wajah boleh sangar, tapi tetap peduli dengan teman sendiri."
"Apa kau mengatakan untuk meninggalkan temanmu sendiri?"
"Tentu saja tidak." Erik naik ke atas kuda memacunya untuk berjalan. Setelah beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh ke belakang. "Kenapa kau masih di situ? Apa kata-katamu tadi cuma bualan?"
Setelah didorong oleh teman dekatnya, Indra segera naik ke atas kuda dan mengejarnya. Ketika berpamitan dengan Grussel, pria tua itu memberi keduanya beberapa bekal makanan untuk perjalanan. Seperti kata pepatah, jangan nilai buku dari sampulnya. Siapa tahu orang yang berwajah garang seperti Indra dan Grussel ternyata memiliki kebaikan dan kepedulian pada sesama di dalam hati?