Sebenarnya bagian ini udah lama selesai tapi revisinya memakan waktu lama haha. So langsung saja lah ya kan.
Oh ya jangan lupa terus support dengan meninggalkan jejak di cerita ini dan siap-siap terombang-ambing perasaannya ya haha (tertawa jahat).
update kapan? tunggu aja haha
Danke.
Happy reading!
_________
Jam sudah menunjukkan bahwa sekarang matahari sudah berada tepat diatas kepala. Dan sampai saat ini juga Aiden belum keluar dari dalam ruangan itu. Tak terhitung sudah berapa kali Lova bolak-balik hanya demi melihat kegiatan Aiden yang membuatnya penasaran. Tunggu. Tapi sejak kapan dia jadi kepo gini?. Ah tak usah dipikirkan sekarang, nanti saja dia pikirkan. Yang penting rasa penasaran nya terpuaskan haha.
Lova mengintip melalui sela pintu yang terbuka. Posisi Aiden masih tetap sama dan tak berubah sedikitpun cuman lukisan yang ia lukis telah berganti menjadi lukisan beberapa tangkai bunga mawar merah yang sedang mekar dengan indah. Lova mengerutkan dahinya bingung. Apa Aiden juga suka bunga mawar?. Berarti mereka memiliki kegemaran yang sama dong!. Hmm satu fakta baru lagi untuk Lova. Tanpa sadar dia malah tersipu malu tapi senang saat mengetahui fakta itu. Sungguh aneh tapi nyata.
"Mau sampai kapan kau mengintip disitu?." Tanya Aiden tiba-tiba sehingga membuat Lova tersungkur kedepan karena terkejut.
"Hahaha. Aku tidak sengaja melihatmu jadi.. Aku hanya penasaran kamu sedang melakukan apa. Hahaha ya itu!." Ucap Lova dengan suara tawa yang dibuat-buat disela-sela upaya nya untuk bangkit.
Aiden tetap menggoreskan kuas nya dengan tenang sedangkan Lova telah berdiri sambil menatap sekeliling ruangan yang dipenuhi lukisan.
Sebagian lukisannya telah tertempel di dinding sedangkan sebagian nya lagi tersusun rapi di dalam rak. Kalau dilihat-lihat. Lukisan yang dia buat berbagai macam tema. Mulai dari potret ibunya Aiden-Lana, seorang gadis kecil berambut hitam kecokelatan dengan berbagai macam pose, bunga mawar, dan satu lukisan seorang wanita cantik yang mirip dengan lukisan yang berada di ruangan Aiden di kantornya.
Kalian ingat kan kalau aku pernah ke kantor Aiden mengantar bekal makan siang untuknya?. Nah saat itu aku melihat lukisan itu tergantung di dinding ruangan kerja nya. Aku tidak tau dia siapa tapi yang jelas, pasti dia orang yang berarti untuk Aiden. Kalau dilihat-lihat sekilas wanita itu mirip juga dengan gadis kecil yang Aiden lukis. Bisa dilihat dari rambutnya yang mirip dan raut wajahnya yang memancarkan kecantikan alami.
Tidak salah lagi. Wanita itu adalah wanita yang Aiden cintai.
Tapi mengapa hati ini merasa tak rela?.
Bolehkah ia merasa... cemburu?.
Apa ini namanya cemburu?
Atau karena ia tak punya seseorang yang merindukan nya seperti Aiden yang menuangkan kerinduan nya untuk wanita itu dalam semua lukisan nya.
Tapi bolehkah kalau ia namakan perasaannya sekarang ini hanya sebagai rasa iri jika cemburu rasanya terlalu berlebihan?.
"Apa artinya masa depan untukmu jika masa depan mu yang sebenarnya telah lama pergi meninggalkan mu?." Tanya Aiden tiba-tiba pada Lova.
Lova menatap punggung Aiden yang tetap membelakanginya. Tangan kanan miliknya tetap menggoreskan kuas yang telah dicelupkan warna merah pada kanvas. Kedua mata nya yang tajam dan tegas tetap fokus pada kanvas yang tengah ia lukis.
Apa arti masa depan baginya saat masa depan yang sebenarnya telah lama meninggalkan dirinya.
Masa depan ya?. Rasanya.. Lova tidak punya hal secerah itu lagi dalam hidupnya.
Sudah sejak lama dia tidak memikirkan masa depan lagi. Yang ia lakukan kini hanyalah menjalani sisa hidupnya dengan baik sampai waktu nya di dunia ini berakhir. Baginya, masa depan miliknya telah lama mati.
"Tidak ada artinya." Jawab Lova.
"Tidak ada artinya?." Tanya Aiden yang telah menghentikan kegiatan nya lalu menatap Lova dengan tatapan tak mengerti.
"Apa menurutmu, masa depan yang cerah itu akan kamu dapatkan jika sesungguhnya kamu telah kehilangan alasan untuk mendapatkannya?." Tanya Lova kembali dengan muka sendu yang tak dapat diartikan maksudnya.
Aiden kehilangan kata-katanya. Raut sedih itu. Tatapan sendu itu. Entah kenapa Aiden membenci semuanya. Tidak mungkin. Tidak mungkin kan aku mulai peduli pada Lova?. Tolong katakan ini tidak benar. Tidak. Ini hanyalah bentuk simpati ku padanya. Tidak lebih. Hanya simpati.
Lova kembali tersenyum cerah seolah yang ia katakan barusan bukanlah apa-apa. Sedangkan Aiden masih menatap Lova dengan tatapan tajam dan dahi yang masih berkerut. Lova memutuskan untuk menghiraukan Aiden dan berjalan menuju sisi kanan agar dapat melihat lukisan yang Aiden lukis dengan lebih jelas.
"Aku baru tau kalau kamu memiliki hobby melukis." Ucap Lova penuh minat saat mengamati lukisan mommy Aiden, Lana.
"Aku tak pernah memperlihatkan nya pada orang lain." Jawab Aiden yang kembali melukis dengan serius.
Tidak pernah memperlihatkan nya pada orang asing ya?. Berarti aku salah satu dari sekian banyak orang asing di dalam hidupmu. Batin Lova sedih.
"Kalau boleh tau. Sejak umur berapa kamu mulai melukis?." Tanya Lova yang tengah sibuk mengamati lukisan setangkai bunga mawar yang seolah dapat menetesi warna merah nya kebawah. Mungkin bunga mawar itu terluka dan berdarah oleh karena itu Aiden membuatnya seperti itu. Oke ini agak sedikit aneh tapi bayangan Lova memang seperti itu.
"Hmm.. mungkin sejak aku berumur 10 tahun." Jawab Aiden sedikit berpikir.
"Wah!.. Kamu sungguh berbakat! Melukis itu sangat susah loh!." Ucap Lova bersemangat dengan nada bangga.
"Itu hanya perasaanmu saja." Jawab Aiden sedikit tersipu malu.
"Aku serius!. Aku saja tidak bisa menggambar persegi dengan sejajar. "
Aiden tanpa sadar tertawa dengan lepas dan itu sukses membuat Lova terpesona dengan pancaran aura yang Aiden keluarkan. Sungguh sangat tampan dan berkharisma. Rasanya ketampanan nya naik bertingkat-tingkat. Apa boleh kalau Lova menganggap dirinya sebagai wanita paling beruntung di dunia ini?. Bagaimana tidak beruntung jika Tuhan saja saat ini mengijinkan dirinya melihat mahakarya Tuhan yang hampir mendekati sempurna. Lova tidak mengada-ada. Sungguh. Aiden itu sungguh mengagumkan terlepas dari sikap nya yang brengsek atau perkataan nya yang dapat menyayat seseorang layaknya sebuah pisau.
Aiden tersenyum menatap Lova sambil menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah mengerti akan wanita yang bernama Lova. Kadang wanita itu bersikap misterius uang menimbulkan banyak tanda tanya tapi juga kadang wanita itu bersikap seperti anak kecil yang polos seperti sekarang. Kadang ia bingung akan semua itu tapi kini dia menyadari bahwa semua itu yang membuat Lova semakin menarik dimatanya.
"Semua orang dapat menggambar persegi dengan sejajar kalau menggunakan penggaris. Aku juga tidak dapat menggambar persegi dengan sejajar kalau tidak menggunakan penggaris." Ucap Aiden sambil terkekeh dan itu sukses membuat Lova ikut tersenyum.
"Menggambar hal seperti itu dengan melukis itu berbeda."
"Melukis itu melibatkan perasaan pelukisnya. Maka dari itu saat kau melihat karya nya kau dapat merasakan suatu perasaan yang tersirat di dalamnya. Seperti suatu pesan yang ingin pelukis nya sampaikan tapi kau hanya dapat melihatnya lewat setiap goresan yang ada di dalam lukisan yang ia buat."
Lova hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti lalu kembali menatap lukisan bunga mawar yang tergantung di dinding lalu berpindah ke sebelahnya. Sebuah lukisan seorang gadis kecil berkepang dua yang tengah menanam bunga mawar di depan sebuah pot? Lova tersenyum geli. Anak itu sangat menggemaskan. Tunggu! Dimana ya.. dia pernah melihat rumah yang penuh dengan berbagai macam jenis bunga seperti yang ada di dalam lukisan ini. Ah iya!.. Rumah keluarganya dulu yang berada di California!. Ibunya dan dirinya suka menanam bunga terutama bunga mawar.
Lova menatap lukisan itu dengan sedih. Betapa ia merindukan masa-masa terindah dalam hidupnya sebelum neraka kehidupan semakin menarik dirinya lebih dalam.
Semakin melihat lukisan ini rasanya seperti semakin merasakan sebuah perasaan.
Kerinduan yang mendalam untuk seseorang yang tak dapat lagi diungkap kan dalam kata-kata.
Penyesalan dan kesedihan.
Kesendirian.
Kemarahan.
Dan rasa sakit.
Lova menyentuh dadanya yang mendadak terasa sakit.
Kenapa aku merasakan rasa sakit yang teramat dalam?.
Dia kembali menatap lukisan gadis tersebut dengan seksama dan tiba-tiba sekelebat ingatan masa kecilnya muncul. Lova memegang kepalanya yang terasa sakit dan berdenging hebat. Ingatan masa kecil yang ingin ia lupakan kembali berputar seperti kaset yang di replay dengan sangat cepat. Lova kembali menatap lukisan itu.
Ada apa ini?. Kenapa dia merasa pernah mengalami hal yang terlukis disitu?.
Tawa anak perempuan dan anak laki-laki terus menari-nari di dalam kepalanya. Suara anak laki-laki yang memanggilnya Rose?. Willi?. Siapa dia?.
Tapi kenapa harus sekarang?. Kenapa?
Lova kembali memegang dadanya. Rasanya hampa dan sangat sesak. Seperti kehilangan seseorang yang sangat penting namun kau tidak dapat mengingat nya. Tapi ingatanmu terus memaksa muncul seolah berkata kalau kau tak boleh sedikitpun melupakan nya.
Terlupakan.
Tergantikan.
Dan hilang.
Bukankah semua tentang dirinya mengandung kata-kata itu?.
Air matanya jatuh begitu saja saat satu persatu ingatan masa kecilnya mengalir dengan deras. Ia benci pada ingatan masa lalu nya yang kembali mengingatkan nya pada kejadian yang paling dia benci seumur hidupnya. Dia benci sekali. Dia berharap dapat menghapus semua kenangan masa lalunya. Dia sangat ingin menghapusnya. Sangat ingin.
Mommy..
Jangan tinggalkan Lova.
Daddy..
Jangan tinggalkan Lova.
Brother Jo...
Jangan tinggalkan Lova.
Willi...
Jangan tinggalkan Lova.
Lova tidak ingin sendirian.
Tuhan
Apa kau mendengar permintaan kecil ini? Jika kau mendengarnya tolong pertimbangkan.
Please.
Lova memegang kembali dadanya yang terasa sesak. Perasaan yang tidak ingin ia rasakan kembali lagi. Dia benci perasaan ini. Dia benci.
Perasaan ini kembali menyadarkan nya bahwa dia telah sendirian di dunia ini. Tidak ada siapa-siapa lagi.
Hanya ada dirinya. Sendiri.
"Kau kenapa?." Tanya Aiden dengan nada panik.
Aiden segera mendekap Lova yang masih nampak kesakitan. Keringat mulai telihat membanjiri kening Lova dan air mata Lova tidak berhenti mengalir. Aiden bertambah panik karena dia tidak pernah melihat Lova yang tiba-tiba linglung dan ketakutan seperti sekarang. Ada apa dengannya?.
"Lova?? Apa kau dengar aku?? Lova dengarkan aku! Tatap aku! Hey tatap aku!." Teriak Aiden sambil menyentuh wajah Lova yang dingin.
"Sakit." Jawab Lova lemah sambil menatap kedua mata Aiden dengan tatapan sendu.
"Apa yang sakit? Dimana yang sakit?." Tanya Aiden sembari mengecek tubuh Lova.
"Jawab aku! Lova!." Teriak Aiden sembari menyentuh wajah Lova yang sudah basah.
"Tidak ada." Jawab Lova berusaha tenang lalu memejamkan matanya
"Bagaimana bisa kau bilang tidak ada hah?! Muka mu sudah pucat seperti hantu begitu! Kenapa kau tidak bilang kalau sakit? Apa perlu aku cek kalau kau sakit atau tidak seriap harinya hah?? Lova jawab!."
Lova tak merespon ataupun bergeming.
"Arrghh!!." Teriak Aiden frustasi ditengah kepanikannya.
"Ayo kita ke kamar." Ucap Aiden panik sambil menggendong Lova ala bridal style.
Aiden berlari menuju tangga dengan wajah panik. Jika Lova sampai kenapa-kenapa maka hidupnya akan tamat jika mommy tau. Wanita itu pasti akan menuduhnya macam-macam dan menerornya setiap hari sampai dia melihat kepala anaknya sendiri meledak. Kacau sekali.
"Bibi Edora! Bibi Edora!!." Teriak Aiden panik.
"Iya Den." Jawab Bibi Edora tak kalah panik saat melihat Aiden menggendong Lova yang tak sadarkan diri.
"Panggil dokter keluarga sekarang juga!. Dalam lima menit dia harus ada disini atau aku akan memenggal kepalanya!!."
"Baik tuan." Jawab Bibi Edora dengan ketakutan.
____________
To be continuous