Galtain terkejut setelah mendengar penjelasan Fiyyin, "Ghoylan? Jadi kakakmu menyuruh mereka. Bukankah Jin Ghoylan terlalu beresiko? Untung saja kau cepat menariknya dari kubangan tanah berlumut. Jika tidak, Mungkin dia tidak akan bisa kembali lagi dari tidurnya."
Fiyyin mengangguk, "Ya, untunglah. Dan lagi aku terlambat mendapat sinyal tentang keberadaan gadis itu karena Ghoylan menutup rapat pintu gua miliknya. Hingga di sana, aku harus melakukan teleportasi lagi untuk masuk ke dalam gua." Fiyyin menghela napas dan berjalan ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya. "Sekarang aku benar-benar kehabisan tenaga, 4 kali mengeluarkan energi teleportasi hampir menguras seluruh tenagaku."
Galtain tersenyum dan ikut merebahkan tubuhnya.
"Wahhh... Hebat juga kau, Fiy. 4 kali melakukan teleportasi? Jika 1 kali lagi maka kau akan lenyap dari muka bumi ini. Hahaha..." ledek Galtain.
"(Berhenti mengejekku! Atau aku akan membunuhmu!)"
Kemudian Fiyyin berbalik dan menggenggam tangan Galtain. Mengisi sela-sela jarinya dan,
Sringgg!!
Cahaya biru terpancar dan berpendar di seluruh tubuh Fiyyin sebentar. Lalu cahaya itu hilang seiring Galtain melepas genggamannya paksa.Fiyyin kini sedikit lebih kuat setelah mengambil energi Galtain. Hanya butuh sekitar 7 jam lagi baginya untuk pulih total dan siap baginya untuk melanjutkan rencananya, mengumpulkan prajurit yang kurang dan menuju alam fana.
"Hei! Beraninya kau mencuri energiku. Aku akan membunuhmu hantu lemah!" teriak Galtain kesal dan mencekik leher Fiyyin. Fiyyin hanya tersenyum kecil dengan mata yang ia paksa terpejam, tak perduli dengan Galtain yang mencekiknya.
***
Zei menunduk dengan rasa bersalah setelah mendengar seluruh ucapan Nain. Kemana saja ia selama ini, sampai tidak tahu sesuatu yang besar menimpa Nain. Orang terdekatnya.
Zei memegang dadanya yang terasa sakit dengan rasa bersalah.
"Maafkan aku, Nai. Aku sungguh tidak berguna. Bahkan masalah sebesar ini aku tidak mengetahuinya. Maafkan aku, Nai. Aku sungguh tidak berguna,"
Nain menggeleng. Mendengar Zei meminta maaf membuatnya merasa tidak enak. Ia pikir reaksi Zei akan kecewa padanya dan mengomelinya, tapi Zei justru lebih mengkhawatirkannya.
"Ti-tidak, Zei. Ini bukan salahmu."
"Jika saja aku lebih perduli. Akhir-akhir ini aku kurang memperhatikanmu. Ini salahku. Maafkan aku, Nai. Aku tidak bisa melakukan tugas dari ayah dengan benar. Aku,"
Nain menghentikan Zei dan berujar. "Berhenti menyalahkan dirimu, Zei. Kau sudah menjagaku dengan baik. Bahkan aku masih tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi? Jadi berhenti menyalahkan dirimu." Nain mengambil tangan Zei dan menggenggamnya. Menatapnya nanar dan tersenyum.
"Aku baik-baik saja, Zei. Entah ini akan masuk akal bagimu atau tidak. Tapi, aku baik-baik saja. Pria itu... Selalu menolongku dan membuatku kehilangan rasa takut akan mimpi buruk itu. Setiap pagi aku tersenyum jika mengingatnya menolongku. Ia membuatku tidur dengan nyaman tanpa merasa khawatir lagi. Aku,"
Zei menghentikan ucapan Nain setelah mendengar Nain mengatakan seorang pria. Seketika hatinya terasa nyeri, tak sanggup mendengar Nain melanjutkan ucapannya. "Baiklah," Zei meraih kepala Nain dalam pelukannya. "Berhentilah membuatku khawatir, Nai. Aku tidak sanggup lagi mendengarmu. Mulai sekarang aku akan selalu di sisimu."
Nain mengangguk. Zei mengelus kepala Nain dan bergumam dalam hati.
(Apakah perhatianku tidak cukup?)
(Maafkan aku telah menyukaimu. Hatiku terasa sakit mendengar seseorang yang kau ceritakan. Maaf.)
(Batasan ini, aku akan segera mengakhirinya.)
Zei melepaskan pelukannya dan berdiri, "Baiklah. Untuk masalah ini, aku akan segera mencari tahu penyebabnya." Zei kembali mengusap puncak kepala Nain. "Istirahatlah. Aku akan membuat keterangan izin untukmu di sekolah. Aku akan segera kembali,"
Nain mengguk dan merebahkan tubuhnya perlahan. Zei tersenyum dan membenarkan selimut untuk Nain sebelum akhirnya meninggalkannya.
Nain tersenyum lembut menatap Zei yang seiring meninggalkannya. Mengingat Zei begitu memperhatikannya.
"(Benar, aku akan berusaha menghapus perasaanku padamu Zei dan terus mendapatkan perhatian seperti ini)."
Zei menghentikan langkahnya dan menoleh sebentar.
Kenapa, aku baru menyadarinya?
***
Kini Fiyyin tengah tersenyum lebar bersama Galtain di depan singgasana Raja. Fiyyin telah berhasil melakukan tugasnya dengan mengumpulkan prajurit perang. Sementara Galtain berhasil mendapatkan izin untuk tinggal di alam fana bersama Fiyyin untuk sementara waktu.
"Terima kasih, ayah. Kami akan segera kembali." ucap Fiyyin dan Galtain bersamaan sambil membungkuk sesaat.
Hartis tersenyum dan mengangguk, "Baiklah. Kalian boleh pergi, tapi ingatlah untuk kembali saat kerajaan Jalis membutuhkan kalian."
Fiyyin dan Galtain mengangguk. Kembali menunduk hormat dan akhirnya meninggalkan istana.
Tak butuh waktu lama, mereka sampai di alam fana. Berdiri tepat di depan rumah Nain. Menatap kiri dan kanan bergantian.
"Jadi di sini rumah gadis itu?" tanya Galtain.
"Menurutmu?" jawab Fiyyin sambil menatap sekitar. Memperhatikan hantu di sekitarnya yang tertunduk dengan kehadiran mereka mengenakan baju istana. Fiyyin mulai risih dan berjalan masuk meninggalkan Galtain.
Fiyyin menatap sekitar rumah dan tersenyum tipis. "Kita akan tinggal di sini!" Seketika seluruh hantu penghuni rumah itu menghilang seperti asap setelah mendengar ucapan Fiyyin yang secara tidak langsung menyuruh mereka pergi.
Fiyyin tersenyum kecil melihat mereka semua telah pergi dalam sekejap. Kemudian menatap sofa dan berbaring di sana.
Galtain masih di luar rumah, menatap sekitar sejanak kemudian bergidik ngeri ketika pandangannya tertuju pada sosok menyeramkan. "Tunggu aku! Aku tidak tahan melihat wajah mereka yang menyeramkan." Galtain berlari masuk.
Galtain menatap sekitar rumah dengan heran karena tak ada satu pun hantu penghuni rumah ini. Beralih menatap Fiyyin yang tengah berbaring di sofa dan menanyakannya. "Apa kau mengusir semua hantu di rumah ini?"
"Entahlah." Fiyyin berbalik dan menutup wajahnya dengan bantal sofa. Fiyyin malas menjelaskannya. Karena Galtain sudah tahu alasan mengapa tidak ada satu pun hantu di rumah ini namun ia masih bertanya.
Galtain kesal melihat Fiyyin tak menjawabnya dengan jelas. Akhirnya ia ikut berbaring di sofa sebelah dan mengalihkan pandangannya.
"Ahh... Sungguh melelahkan bicara dengan rumput bergoyang." ucap Galtain dan menutup matanya.
(Menyebalkan!)
Fiyyin diam. Seolah tidak mendengar ucapan Galtain melalui telepati dan tertidur hingga pulas. Galtain melirik Fiyyin yang mengacuhkannya.
"(Bagaimana bisa dia bergaul dengan manusia jika tidak ingin bicara basa-basi!)"
2 jam berlalu.
Nain tengah sibuk dengan memasak makan malam mengingat Zei akan datang sepulang sekolah. Hingga selesai, ia mulai meletakkan makanan yang sudah siap di atas meja makan dan menatanya dengan rapi.
Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu terdengar. Nain menoleh saat mendengar Zei memanggil namanya.
"Nai," teriak Zei dari balik pintu.
"Sebentar, Zei." jawab Nain sambil tersenyum lalu berjalan untuk membuka pintu.
"Masuklah, Zei. Aku sudah memasak untuk makan malam kita." Nain mempersilahkannya masuk sambil tersenyum. Zei tersenyum dan mengangguk.
"Wahh, benarkah." Ran muncul dari balik dinding dan menyambar masuk ke dalam rumah. Senyuman Nain memudar ketika melihat Ran datang bersama Zei. Kemudian segera ia membuang perasaan cemburunya. "(Tidak, Nai. Kau harus membuang perasaan ini secepat mungkin)."
"Kebetulan aku belum makan dari pulang sekolah." Ran berjalan menuju ruang makan.
Zei merasa tidak enak dengan perlakuan Ran. Tersenyum kikuk dan meminta maaf. "Maaf, Nai. Ran memang sedikit sembrono."
Nain tersadar dan tersenyum kembali, "Ahh... Tidak apa-apa, Zei. Aku memasak banyak, lebih baik jika makan bersama. Ayo!" Nain berjalan ke arah meja makan.
Zei tersenyum. Berjalan menyusul Nain dan menggengam tangan Nain. "Baiklah." Nain menatap tak percaya, tak biasanya Zei menggenggam tangannya seperti ini. Nain mencoba tidak salah paham, mungkin Zei hanya merasa tidak enak dengan perilaku Ran.
Tiba di meja makan. Ran dengan cepat mengambil makanannya sendiri. Sementara Nain ikut mengambil makanan kemudian memberikannya pada Zei.
Zei tersenyum dan mengusap kepala Nain, "Terima kasih, Nai. Kau masih selalu melakukannya sejak kecil."
Nain tersenyum dan lekas mengambil makanan untuk dirinya.
Ran menghentikan makannya. Menaruh sendoknya perlahan dan tersenyum melihat Nain dan Zei, "Benar-benar seperti saudara, ya?"
Nain membalas tersenyum. Zei tak menggubris. Menatap Nain sebentar dan beralih.
"Oh ya, Nai. Apa sekarang sudah merasa lebih baik?"
Nain menaruh makanannya yang baru siap ia ambil dan mengangguk. "Hmm. Melihat aku sudah memasak begini apa belum memastikan?" jawab Nain sambil tersenyum.
Zei menoleh bersama mulut penuh dengan makanan, "O-a adi agi, au uda memeisanya. Dan, (Oh ya. Soal tadi pagi, aku sudah memeriksanya. Dan,)" ucapan Zei terhenti dengan Nain yang menyelanya.
"Makanlah hingga selesai, Zei. Kita bicarakan nanti." Nain menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil. Ran hanya memperhatikan mereka sambil tersenyum kecil.
Setelah selesai makan. Ran menatap Nain dan tersenyum.
"Hmm.. Nain. Terima kasih atas makanannya. Masakanmu sungguh enak."
Nain tersenyum, "Sama-sama, Ran. Aku memang sudah terbiasa memasak sendiri sejak aku masih bersama ke dua orang tuaku. Jadi mungkin aku sudah terbiasa dengan bumbu-bumbu dapur."
Ran mengangguk, "Benar. Pantas saja Zei juga terlihat bersemangat memakan masakanmu." Ran melihat Zei sesaat. Zei tersenyum malu. Nain melirik Zei dan ikut tersenyum.
"Hmmm.. Soal kejadian sebelumnya, di sekolah, aku sungguh menyesal. Saat itu aku merasa seperti bukan diriku. Tanpa sadar aku melakukannya padamu. Aku sungguh minta maaf."
"Tidak apa-apa, Ran. Zei sudah menjelaskannya padaku. Kau melakukannya tanpa sadar jadi itu bukan salahmu."
Ran tersenyum. Nain kemudian berdiri, hendak membereskan meja makan. "Ah, aku akan bereskan ini. Lalu kita lanjut mengobrol."
Zei mengangguk dan berdiri. "Baiklah. Aku juga ingin ke ruang tamu dulu, ada sesuatu yang perlu di bereskan."
Ran ikut berdiri dan mengambil piringnya, "Aku akan membantu Nain." Zei mengangguk dan berlalu meninggalkan dapur.
Sesampainya di ruang tamu. Zei tersenyum sinis menatap sofa di dekatnya. Menyalakan tv kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Tertawa lepas menatap tv dan meloncat-loncatkan tubuhnya.
"Ahahaha...."
(Rasakan!
Beraninya mereka tertidur pulas di rumah Nain.)
Fiyyin terkejut. Menoleh dan bangkit. Menghalangi pandangan Zei sambil menatapnya kesal.
"Kau sengaja!"