Pagi itu Edwin bangun dengan perasaan bahagia, karena semalam ia bermimpi Bula menerima lamarannya, dan hal tersebutlah yang membuatnya begitu bersemangat.
Hari ini ia berencana merealisasikan mimpinya, ia ingin benar-benar meminta gadis itu menjadi calon istrinya.
Niatnya diperkuat karena kedatangan Caca, ia tak mau Caca kembali berulah yang berakibat kandasnya hubungan mereka, jadi menikah adalah satu-satunya.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, ia menemani sarapan ayahnya, pak Broto yang melihat anaknya begitu bahagiapun tersenyum.
"Semangat bener kamu".
"Ya pa, hari ini aku mau melamar pacarku".
"Win...papa aja belum kenal gadis itu, memang restu papa begitu tidak penting?" pak Baroto berkata dengan serius, padahal jauh dalam hatinya ia ingin tertawa dan mensuport anaknya.
"Pa"Edwin begitu shock mendengar ucapan papanya, ia ingat bahwa pak Baroto juga menginginkan ia menemui seorang gadis untuk dijodohkan "maaf pa, aku ga bermaksut menyinggung papa, aku cuma" ia tak bisa melanjutkan ucapannya.
"Win...tunggulah sampai kamu menemui gadis yang ku pilih, setelah itu kalau kamu memang tidak menyukainya, silahkan kalau kamu akan melamar gadis itu" papa kembali berkata dengan serius.
Seketika kebahagiaan Edwin sirna begitu saja dengan kata-kata pak baroto, ia sudah menolak semampunya, akan tetapi entah mengapa papanya tak juga menyerah untuk menjodohkannya.
Sekarang ia hanya mampu menuruti papanya, namun ia tetap akan membeli sebuah cincin untuk Bila, seandainyapun ia tak bisa menikahi Bila, Edwin ingin memberi Bila sebuah hadiah.
Setelah menyelesaikan sarapannya Edwin bergegas ke kantor, dengan lesunya ketika meminta ijin pada papanya.
Sementara pak Baroto hanya tersenyum melihat tingkah anaknya yang sedang merasa kecewa dengan keputusannya.
Edwin memang sengaja berangkat siang ke kantor karna ia harus membeli cincin untuk Bila.
Setelah sampai di parkiran disebuah ruko ia segera memarkirkan mobilnya kemudian bergegas menuju toko perhiasan.
"Pagi pak, ada yang bisa kami bantu" sapa seorang pramu niaga.
"Ya mbak, saya mencari cincin yang sepesial orang yang seoesial tentunya".
"Oh ya silahkan pak".
Beberapa saat kemudian Edwin telah menemukan sebuah cincin dengan desain sederhana,dengan berhiaskan batu permata putih.
Setelah melakukan pembayaran ia segera pergi dari tempat tersebut untuk menuju kantor.
Bila sedang merapikan barang-barangnya ia mulai besok ia tak lagi bertugas dikantor lagi, ia diminta oleh Reivan mengurus butik, hanya sesekali saja ia ke kantor untuk memeriksa laporan.
Tiga sahabatnya yang selalu menemaninya memperhatikan Bila dengan muka sedih.
"Wah...kita ga bisa sama-sama lagi ya mbak Nisa" pak Hadi berkata dengan sedih.
"Iya, ga ada yang bening-bening lagi di ruangan kita ya pak Hadi" sahut pak Wijaya.
"Mbak Bila sering-sering ke kantor ya mbk".
"Ya elah bapak dan ibu yang terhormat, saya bukan mau keluar dari perusahaan, cuma pindah tempat, lagian kan seminggu dua atau tiga kali saya pasti ke sini, ngecek laporan-laporan, jadi ga gitu juga kali" Bila berusaha menghibur mereka.
"Iya sih, tapi ga tiap hari" pak Wijaya berkata penuh keputus asaan "kalau bos kecil ngambek obatnya jauh ya bu" ia bertanya pada bu Anis.
Bila hanya tersenyum mendengar kata-kata pak Wijaya, sambil melanjutkan aktifitasnya kemudian segera bergegas.
"Pak ini tetap meja saya, ga boleh buat ngrokok" Bila menunjuk pak Hadi.
"Ya bu bos" jawab pak Hadi singkat.
"Ingat konsep dulu laporannya sebelum dikerjakan oke, saya ga mau laporannya kembali berantakan seperti saat saya datang pertama kali, tetep konsisten".
"Baik bu Edwin" sahut pak Wijaya dengan nada menyindir.
Tanpa mereka ketahui candaan mereka sesungguhnya membuat bila merasakan perih, ia masih menanggung beban sebuah penjelasan pada Edwin untuk segera mengahiri hubungan mereka.
"Ya sudah sukses ya pak, bu" Bila menyalami mereka "saya ke butik dulu, sampai jumpa".
Beberapa waktu kemudian Edwin terlihat buru-buru masuk ke ruangan Bila namun ia tak menemukan gadis itu.
Di ruangan itu tinggal pak Hadi dan pak Wijaya yang sedang membuat laporan, Edwin lupa kalau mulai hari ini Bila hanya sesekali saja datang ke kantor itu, karena Reivan memintanya untuk mengurus butik.
"Pak Wi Bila kemana?".
"Bila.....?????" pak Wi dan pak Hadi saling berpandangan.
"Maaf Nisa" Edwin mengoreksi ucapannya.
"Mbak Nisa sudah ke butik mas" pak Hadi menjawab.
"Oh....makasih" ucap Edwin sambil pergi dari ruangannya.
Didepan ruangan tampak bu Anis sedang mengerjakan laporan, Edwin menghampirinya sambil berkata.
"Bu...Bila sudah lama perginya".
"Belum mas, mungkin kalian berpapasan di jalan, ada apa mas?" bu Anis bertanya karena melihat Edwin gusar.
"Bu Anis bisa ke ruangan saya, saya mau cerita" Edwin meminta dengan tulus.
"Bisa ayuk" bu Anis segera melaksanakan keinginan Edwin karena ia merasa pasti ada yang tidak beres diantara mereka.
Setelah sampai diruangan itu Edwin menceritakan semua pada bu Nisa, iapun minta masukan dan solusi atas masalahnya.
"Bu...tolong bu Anis bilang ke papa suruh batalin perjodohannya, aku ga mau bu".
"Nanti saya coba mas, tapi masa pak Baroto menjodohkan mas Edwin, bukankah ke dua kakak mas Edwin menikah dengan gadis pilihan mereka, dan papanya mas Edwin setahu saya ga pernah ikut campur" bu Nisa merasa agak heran dengan apa yang Edwin alami.
"Itulah bu, makanya saya juga merasa papa kok gitu amat sama saya".
"Ya kalau begitu, ibu pasti akan membantu semampu ibu".
Edwin mengucapkan terimakasih, kemudian bu Anis keluar dari ruangannya untuk melanjutkan pekerjaan.
Yoh...nah lo Galau tuh si Edwin.