Nada dering ponselnya menjerit keras. Membangunkannya kembali pada kenyataan pahit di mana saat ini Jalangnya tengah sekarat. Ponsel ini seakan menambah mimpi buruknya. Tidak cukup satu melainkan beribu-ribu mimpi buruk.
"Iya, ma." Digo menjawabnya asal.
"Kamu di mana?"
"Umm-emm, Digo di kantor." Bohongnya. Dia menatap Gea yang tengah di beri selang infus sana-sini. Di sisinya bunyi kardiograf terus saja memecah sepi yang membingkai.
"Tak biasanya kamu sampai menginap di kantor."
Digo berpikir sejenak sebelum menemukan alasan yang tepat yang dapat membungkam ibunya. "Digo banyak kerjaan, ma. Sebentar lagi kan Digo harus cuti buat pernikahan. Digo sebagai pimpinan punya tanggung jawab besar, kalo sampai assessment-assessment ini belum kelar?"
"Uhuh? Kedengarannya kamu berbohong."
"Sok tahu, mama." Dia menguap lebar. Rasanya hari ini dia hanya tertidur beberapa jam saja.
"Kata Karren, sepupu kamu, hari ini kamu tidak ke kantor."
"Karen, sialan." Umpatnya.
Ibunya tertawa. "sebenarnya kamu di mana? Jangan berbohong. Yang ada kamu bohong justru buat mama makin khawatir."
"Ada apa sih, ma. Kalo gak ada yang penting Digo beneran tutup, nih."
"Kamu baik-baik aja kan?"
"Baik. Sebenarnya mama ada apa? Gak mungkin mama sekhawatir itu. aku bukan anak kecil lagi, ma. Udah mau kepala tiga malah."
"Huss jangan ngomongin usia, ah. Mama berasa tua banget denger tuturan usiamu yang sekarang udah aki-aki."
"Ma…"
"Kamu udah siap kan tentang acara empat hari lagi?"
Digo tampak berpikir. Tangannya menggaruk-garuk dagu yang mulai ditumbuhi five o'clock shadow. "Acara apa, ma?"
"DIGO," bentak mamanya. "Jangan bercanda!"
Digo bergeming ditempat. Mengutak-atik rangkaian acara di menu kalender smartphonenya. Dia terperangah melihat font times new roman yang terketik di sana.
MY BEAUTIFUL WEDDING
Bahkan acara sepenting ini, Digo melupakannya. Ada apa dengan dirinya. Dia bertingkah seperti para remaja yang sedang patah hati. Demi Tuhan, saat ini dia sudah tua. Sudah tiga dua. Dan lagaknya malah sebegitunya melihat Gea yang terkapar. Apa dia sudah mulai memedulikan keberadaan gadis itu.
"Pernikahan." Lirihnya.
"Tuh 'kan. Kamu stress ya?" tanya ibunya prihatin. "Jujur aja sama mama. Mama benar-benar khawatir. Sebenarnya amsalah apa yang sedang menggerayangimu?"
"Bukan apa-apa, ma."
"Kamu, ya, dibilangin. Jangan lupa makan sama mandi. Jangan porsir tubuh kamu untuk kegiatan yang tidak menunjang manfaat…" Ibunya banyak memberi petuah ini itu padanya. Panjang sekali.
"Dan jangan hamilin anak orang. Ya aku paham." Digo bahkan sudah hapal petuah-petuah itu. Jika seumur hidupmu diberikan petuah itu-itu saja bagaimana kamu tidak akan mengingatnya.
"Anak ini. Kalo begitu mama tutup ya teleponnya."
Digo segera mematikan ponselnya. Layarnya kembali meredup.
Jangan lupa makan. Semenjak dia menginjakkan kaki di rumah sakit ini, rasanya makan bukan lagi sebuah prioritas. Tubuh dan otak juga bagai tak sinkron satu sama lain. Seharusnya dia merasakan kelaparan karena sedari kemarin perutnya belum di masuki apa-apa. Tapi dia malah fine-fine aja dengan keadaan seperti itu. Nafsu makannya menguap tiap kali dia menatap tubuh tak berdaya itu. Jangan lupa mandi. Sedari Gea menghilang sejak peristiwa dirinya memaksa Gea untuk aborsi, dia lupa kapan terakhir dia berganti baju. Walau mungkin tubuhnya sudah sangat lengket, dia tak begitu peduli. Terpenting Gea bisa diketemukan.
Emosinya sudah terkuras habis akhir-akhir ini. Dia begitu emosional. Dan penyebab utama yang memunculkan sisi lain dari sirinya adalah gadis ini. Gadis yang terbaring tak berdaya. Gadis yang detak jantungnya tengah dipantau−disokong dengan berbagai alat-alat dan kabel-kabel yang saling tumpang tindih−menopang hidupnya. Dia tertawa miris. Tidurnya bahkan tidak lebih dari satu jam. Dia begitu cemas. Cemas akan kehilangan Jalangnya.
Dia meraih tangan yang ditusuk benang infus itu. tangannya mengusap punggung jemari halus yang terbalut selang. "Bisa kamu jelaskan, bitch. Mengapa aku sebegitu khawatirnya saat ini."
Dia mengalihakan tangannya ke pipi gadis itu. membelainya lembut. "Aku takut sekali kau tewas, bitch. Harusnya aku bersyukur jika hal itu terjadi. Tapi aku malah takut."
Wajah itu kaku. Senyum manis yang biasa tersungging lenyap. Digo hanya bisa melihat senyum itu lewat kilas balik ingatannya. Dia tak kan pernah melupakannya. Senyum hangatnya. Senyum malu-malunya−setiap dia memandang tubuh telanjangnya, dia selalu saja bertingkah seperti perawan. Senyum nakalnya, gadis ini selalu saja menggodanya saat di bawah meja kerja. Senyum topengnya. Senyum-senyum itu begitu indah.
"Aku takut, bitch. Aku takut tidak bisa lagi melihat senyummu." Dia menelusuri bibir yang terasa kering pada permukaan tangannya. "Apakah aku boleh mencicipinya." Seperti orang gila, dia berbicara sendiri.
"Apa aku boleh mencicipi tubuhmu." Sekali lagi dia bertanya.
Dia mendekatkan bibirnya pada bibir wanita itu. bibir itu menekan bibir satunya. Menyurukannya agar bibir satunya menerima. "Kenapa bibirmu semakin hari semakin manis. Membuatku begitu candu." Racaunya disela-sela ciuman aneh itu. makin lama ciuman itu makin menuntut. Digo memberanikan diri untuk menjulurkan lidahnya, hendak bertukar saliva. Orang sinting. Bahkan jika perlu, dia akan merangkup tubuhnya gadis itu dengan tubuhnya. Dia akan memasukinya. Necrophilia. Kata itulah yang saat ini mencerminkan tindakannya.
Digo naik ke atas ranjang queen itu. dia akan segera menuntaskan rasa laparnya. I'm preying to you, bitch. Dia melihat keadaan Gea sejenak. Hanya sebentar sebelum kemudian dia melepas kemejanya. Membuangnya ke lantai asal. Dia begitu gila. Apa dia akan melakukannya juga di rumah sakit yang bahkan bisa saja terpergoki oleh dokter dan perawat yang berlalu lalang. Tapi dia tak begitu peduli. Sabuknya yang menambah sesak juga sudah terlepas. Dia melorotkan celananya melewati kakinya yang kini mengangkang di ranjang kecil itu. satu tangannya berpegangan pada besi ranjang di sisinya agar tubuhnya tidak ambruk menindih orang mati tersebut.
Dia melepas satu persatu kancing baju rumah sakit milik Gea. Tangannya begitu lihai dalam melancarkan aksinya. Dia mendecakkan lidah beberapa kali sambil memandangi payudara ranum yang tidak terbungkus apa pun. Dia ingin menyentuhnya. Salah satu anggota tubuh lain yang menjadi favoritnya untuk dinikmati kala bercinta dengan gadis itu. dia menyentuhnya. Meremasnya kuat. Rasanya bagian yang menonjol itu terasa penuh di tangannya.
BRAKKK.
Digo tak memedulikan suara-suara itu. dia berpikir kemungkinan itu hanya suara ranjang yang berderit. Dia tak peduli. Tak ingin peduli untuk saat ini. Dia kembali melakukan konfrontasi gilanya yang tertunda. Kembali dia hanyut dalam adegan semsual nan panas bersama Jalangnya.
"Maaf Pak." Suara itu seprti berputar dalam otaknya. Di sertai deheman untuk ketiga kali. Apa dia begitu gila membayangkan jika diruangan ini ternyata bukan hanya di isi oleh mereka berdua. "Maaf Pak, bisakah Anda menjauh."
Kali ini−untuk kali ini saja biarkan kepalanya menoleh. Dia ingin membunuh rasa penasaran itu. di ujung pintu seorang dokter yang selalu menangani Gea beserta susternya berdiri menatapnya. Dia terpaku. Apalgi melihat tangan dokter itu yang menutup mulutnya−yang Digo yakin tengah menahan tawanya−dengan raut wajah geli yang terpancar. Sementara disampingnya, seorang wanita tolol dengan mulut yang menganga terbuka dan mata yang tidak berkedip membuatnya semakin bertambah idiot. Mereka semua bergeming ditempatnya masing-masing.
"Bisakah Anda menyingkir."
Dokter itu mendekat dan tersenyum penuh arti.